FRAGMEN wayang wong "Arjunowiwoho" yang ditampilkan rombongan
Yogya adalah untuk memenuhi harapan Sri Sultan Hamengku Buwono.
Bekas Wakil Presiden RI ini telah mengirimkan saran, bahwa dalam
Festival Jakarta, baiknya menampilkan adegan kahayangan. Karena
adegan ini menampakkan "keagungan wayang wong Mentaraman". Saran
ini diterima baik. Lalu dipilihlah lakon "Perkawinan Arjuna"
itu.
Di jaman Hamengku Buwono VIII lakon itu memang termasuk kelas
satu. Tetapi dalam soal makan waktu juga kelas satu. Harus
disediakan dua hari dua malam. Terpaksalah: ini disingkat dengan
drastis untuk kepentingan Jakarta. "Kita tetap berusaha seperti
dulu, tapi kita padatkan supaya tidak bertele-tele," kata Ben
Suharto, seorang dosen ASTI Yogya yang bertindak sebagai Arjuna.
Walhasil, Arjuna versi Festival ini akan mengalahkan raksasa
Niwatakawaca dan dikawinkan dengan Sembadra dalam tempo hanya
dua jam -- mungkin juga kurang.
Di dalam lakon ini, yang dibawakan oleh rombongan Krido Mardowo
ini akan muncul juga penari F.B. Soeharto -- yang telah berusia
58 tahun. Ia menjadi Batara Brama. Ia seorang penari klasik,
yang dedikasinya sebagai penari termasuk aneh. Menurut
pengakuannya kepada Syahril Chili dari TEMPO, kalau ia sakit,
obatnya dibawa menari. Ia akan bisa segar kembali. Makanya ia
menganggap dunia tari sulit dipisahkan dari hidupnya.
"Saya ini orang biasa," kata Soeharto, "tapi bisa berjabatan
tangan dengan Ratu Inggeris, karena bisa menari." Ia pun dengan
bangga menyatakan sudah 3 kali tetirah ke luar negeri. Tahun
1954 ke RRT, 1957 ke Mesir dan Eropa Timur, 1964 ke Kamboja,
Filipina dan Jepang. Tapi soal honor tak mau disebutkan. Katanya
bukan masalah. "Yang penting," sambung Batara Brahma ini
selanjutnya, "di Kraton ini hanya sekedar mengabdikan menari
bikin awet muda." Dan, katanya pula "kalau seni ini turun kepada
saya, kenapa tidak saya kembangkan."
Leluhur Soeharto memang seniman dan abdi dalem. Tapi ia juga
sejenis tehnokrat yang memperoleh keahlian karena belajar
sendiri. Jelek-jelek orang ini ternyata pensiunan asisten dosen
Fakultas Tehnik UGM dalam mata kuliah geodesi. Tapi ayah dari 11
anak ini sama sekali tak punya gelar kesarjanaan. Ia hanya
menyimpan ijazah Sekolah Tehnik jaman Belanda, itupun jurusan
mesin dan listrik. Berkat pergaulannya dengan alat-alat untuk
cabang ilmu geodesi sel tak tahun 1951 ia ikut membimbing
mahasiswa -- sampai ia pensiun tahun L976. Sekarangpun di
samping menari ia masih jadi asisten geodesi di IKIP Yogya
sebagai tenaga honorer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini