Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pesta para petani

Rombongan krido mardowo dari yogya menampilkan lakon arjuno wiwoho untuk memenuhi harapan sri sultan hamengkubuwono. menampakkan keagungan wayang wong mentaraman karena menampilkan adegan kahayangan. (tr)

8 Juli 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FRAGMEN wayang wong "Arjunowiwoho" yang ditampilkan rombongan Yogya adalah untuk memenuhi harapan Sri Sultan Hamengku Buwono. Bekas Wakil Presiden RI ini telah mengirimkan saran, bahwa dalam Festival Jakarta, baiknya menampilkan adegan kahayangan. Karena adegan ini menampakkan "keagungan wayang wong Mentaraman". Saran ini diterima baik. Lalu dipilihlah lakon "Perkawinan Arjuna" itu. Di jaman Hamengku Buwono VIII lakon itu memang termasuk kelas satu. Tetapi dalam soal makan waktu juga kelas satu. Harus disediakan dua hari dua malam. Terpaksalah: ini disingkat dengan drastis untuk kepentingan Jakarta. "Kita tetap berusaha seperti dulu, tapi kita padatkan supaya tidak bertele-tele," kata Ben Suharto, seorang dosen ASTI Yogya yang bertindak sebagai Arjuna. Walhasil, Arjuna versi Festival ini akan mengalahkan raksasa Niwatakawaca dan dikawinkan dengan Sembadra dalam tempo hanya dua jam -- mungkin juga kurang. Di dalam lakon ini, yang dibawakan oleh rombongan Krido Mardowo ini akan muncul juga penari F.B. Soeharto -- yang telah berusia 58 tahun. Ia menjadi Batara Brama. Ia seorang penari klasik, yang dedikasinya sebagai penari termasuk aneh. Menurut pengakuannya kepada Syahril Chili dari TEMPO, kalau ia sakit, obatnya dibawa menari. Ia akan bisa segar kembali. Makanya ia menganggap dunia tari sulit dipisahkan dari hidupnya. "Saya ini orang biasa," kata Soeharto, "tapi bisa berjabatan tangan dengan Ratu Inggeris, karena bisa menari." Ia pun dengan bangga menyatakan sudah 3 kali tetirah ke luar negeri. Tahun 1954 ke RRT, 1957 ke Mesir dan Eropa Timur, 1964 ke Kamboja, Filipina dan Jepang. Tapi soal honor tak mau disebutkan. Katanya bukan masalah. "Yang penting," sambung Batara Brahma ini selanjutnya, "di Kraton ini hanya sekedar mengabdikan menari bikin awet muda." Dan, katanya pula "kalau seni ini turun kepada saya, kenapa tidak saya kembangkan." Leluhur Soeharto memang seniman dan abdi dalem. Tapi ia juga sejenis tehnokrat yang memperoleh keahlian karena belajar sendiri. Jelek-jelek orang ini ternyata pensiunan asisten dosen Fakultas Tehnik UGM dalam mata kuliah geodesi. Tapi ayah dari 11 anak ini sama sekali tak punya gelar kesarjanaan. Ia hanya menyimpan ijazah Sekolah Tehnik jaman Belanda, itupun jurusan mesin dan listrik. Berkat pergaulannya dengan alat-alat untuk cabang ilmu geodesi sel tak tahun 1951 ia ikut membimbing mahasiswa -- sampai ia pensiun tahun L976. Sekarangpun di samping menari ia masih jadi asisten geodesi di IKIP Yogya sebagai tenaga honorer.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus