JAKARTA pasang "bom" lagi. Tak kurang dari Bali, Yogyakarta,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Aceh, Maluku, Kalimantan
Selatan turut sibuk. "Festival Jakarta" dibuka tanggal 29 Juni
di Arena Terbuka Taman Fatahillah -- membangunkan teater
tradisionil daerah-daerah tadi untuk lebih dikenalkan pada
masyarakat ibukota. Kerepotan yang berlangsung hingga 9 Juli ini
dimeriahkan rombongan Wayang India yang kebetulan lewat.
"Tujuan Festival Jakarta bukanlah turisma," tulis Dewan Kesenian
Jakarta, pencetus ide festival, dalam sebuah selebaran. "Turisma
dalam hal ini akan menjadi hasil sampingan." Dijelaskan, kelak
festival diharapkan menjadi tempat pertemuan berbagai bentuk
kesenian tradisionil dari seluruh dunia. "Dengan demikian
festival bermanfaat baik bagi kehidupan kesenian sendiri maupun
untuk kehidupan pariwisata," demikian dinyatakan lagi.
Begitulah, dalam suasana meriah dan akrab, pembukaan Festival
Jakarta 78 berlangsung di bawah langit mendung. Gubernur Jakarta
yang dipanggil Babe Nolly dan Wakil Presiden RI Adam Malik,
sama-sama bawa nyonya, muncul dengan celana batik dan sarung.
Babe Nolly dengan kalemnya kasih sambutan, dan tentu saja
mengharapkan segala yang baik. Sementara Adam Malik, seperti
keberatan sarung, dengan lincahnya pasang senyum -- lalu menabuh
gendang, sebagai tanda festival dibuka.
Entah kenapa pembawa acara keseleo terus tatkala menyebut nama
Gubernur. Tapi kesalahan-kesalahan kecil ini terlupakan oleh
rasa syukur pada kerja keras para pawang, yang malam itu
berhasil mengamankan hujan. Upacara pembukaan di atas panggung
yang berharga Rp 5 juta itu, jadi sip dan mengesankan. Tiga
pasang ondel-ondel tiba-tiba menolak 4 buah daun jendela di
loteng Museum Fatahillah -- yang semula terkatup rapat. Dengan
wajah berwarna merah-putih, boneka khas Betawi itu menaburkan
mawar merah. Sementara di panggung para utusan dari daerah
menyelip di antaranya rombongan dari India, sibuk ajojing.
Bokir dan Nasir, dua pemain lenong yang tersohor sebagai pelawak
mendapat kehormatan sebagai "MC". Inilah yang membuat acara yang
dihadiri oleh pejabat-pejabat resmi, yang dibungkus oleh kemeja
batik urung jadi kering dan formil. Dengan enak saja, kedua
orang ini nyerocos menjalankan acara. Kadangkala salah ngomong,
tapi langsung dimaafkan dan dikasih tepuk tangan dengan serunya.
UNTUK apa sebetulnya keramaian yang membutuhkan Rp 60 juta ini
dijejalkan antara Ulang Tahun Jakarta dan Hari Ulang Tahun
Proklamasi? Asrul Sani, yang dikenal sebagai penyair, sutradara,
anggota DPR -- yang kini memegang pucuk pimpinan di Dewan
Kesenian Jakarta -- mencoba menerangkan. "Mulanya festival
adalah kehendak Dewan Kesenian Jakarta untuk meningkatkan mutu,
ragam dan program," ujarnya.
Asrul menceritakan bagaimana Taman Ismail Marzuki (TIM) pada
awalnya berusaha membuat pekan kesenian dua kali setahun. Sekali
untuk corak tradisionil, sekali untuk corak kontemporer. Setelah
dua tahun pertama, kedua corak itu digabung. Alasannya: kedua
corak tersebut sulit dicarikan garis perbedaan yang jelas.
Selanjutnya ditingkatkan jadi Festival Jakarta, supaya tidak
hanya disantap oleh orang Jakarta saja. Pendatang daerah dan
orang-orang luar negeri dikasih kesempatan mencicipi melalui
sebuah forum yang lebih spektakuler.
Asrul tak mengingkari bahwa kegiatan semacam ini mempunyai
kemungkinan untuk berubah menjadi etalase yang hanya menjadi
urusan bidang keparawisataan. "Risiko tetap ada. Tapi kalau kita
tak mau menghadapi risiko, kita toh tidak tumbuh," kata Asrul.
Ahli tari Sardono W. Kusumo, yang terlibat dalam festival
sebagai Penata Bidang Acara, juga ikut mengemukakan teorinya:
"Festival ini bukan hanya peristiwa teater, tetapi telah
diusahakan menjadi peristiwa kota. Diselenggarakan di beberapa
tempat dengan materi yang bervariasi dari klasik sampai ke seni
kerakyatan yang tradisionil," ujarnya.
Di samping teori itu, Sardono masih bisa menunjukkan, betapa
mutu dari isi acara sampai saat ini berhasil dijaga bobotnya. Ia
menjamin lewat tema tradisionil, seluruh grup yang hadir klasik
maupun kerakyatan mewakili grup terbaik di daerahnya. Sebelum
dikirim telah diadakan korespondensi dan peninjauan untuk
memeriksa utusan tersebut. Sebuah grup dari daerah Jambi
misalnya -- tepatnya Kerinci -- terpaksa dibatalkan. "Grup itu
setelah saya lihat, ternyata belum mampu mengangkat nilai-nilai
yang ada dengan baik. Dan kelihatannya pemainnya bukan dari
daerah Kerinci," kata Sardono.
Masih dalam rangka membuktikan betapa pentingnya arti Festival
ini yang diselenggarakan sementara beberapa pelosok tanah air
ini dihajar banjir pejabat pemerintah DKI Soedarmadji Damais 37
tahun, menegaskan: "Festival ini diselenggarakan sebagai
percobaan, untuk tiga hal. Memasyarakatkan kesenian, tukar
menukar bentuk kesenian antar daerah dan luar negeri, serta
memeriahkan HUT Jakarta dan RI." Dan karena kata "percobaan"
bukanlah perkataan basa-basi, ia dengan terus terang mengatakan
kemungkinan masa datangnya belum jelas. Ia menggantungkannya
pada penerimaan masyarakat sendiri.
Tapi sebagai Sekretaris Badan Penasehat Dinas Tata Bangunan dan
Pemugaran DKI, sudah jelas pula ia tahu ide apa yang ada pada
DKI sendiri untuk mendorong Dewan Kesenian Jakarta ini. Kata
Soedarmadji ("Adji") di tengah kesibukannya yang luar biasa:
"Ada keinginan pemerintah daerah agar tempat-tempat bersejarah
di Jakarta tidak sepi." Dan juga, Dinas Parawisata DKI berhasrat
"mengkoordinir objek-objek wisata di Jakarta dalam satu konsep
yang disebut Mandala Wisata."
Setelah dua alasan itu, ia sampai pada alasan ketiga yang agak
tumbuh dengan keinginan DKJ. Yakni menampung sikap atau kehendak
Dewan Kesenian Jakarta untuk memencarkan kesenian ke seluruh
pelosok.
Alasan yang terakhir ini kedengarannya boleh dianggap kemajuan.
Setelah beberapa lama Taman Ismail Marzuki berhasil merangsang
ledakan-ledakan pementasan, telah terjadi suatu pandangan yang
agak menyempit. Semuanya seperti terpenjara dalam tembok TIM.
Dan ini memang memerlukan pembongkaran, sehingga kegiatan
berserak kembali secara merata di seluruh kawasan Jakarta.
Seberapa banyak ide yang ada di kepala DKJ akan tetap melekat
dalam Festival masa yang akan datang, memang tidak dapat
diramalkan sekarang. Kini peristiwa ini digarap oleh sebuah
panitia dengan Ketua Umum Joop Ave, Nyonya Lila Tahir, yang
bertugas mengurus hubungan luar, sudah menjelaskan beberapa
kesulitan. Biaya Rp 60 juta yang dibutuhkan, misalnya, baru
separuhnya dapat dipastikan terkumpul. Dari DKI sendiri hanya
turun sekitar Rp 30 juta -- itupun nanti harus dipertanggung
jawabkan kepada DPRD. Ini ditutup dengan cara membuka kesempatan
(apalagi kalau bukan?) pada sponsor. Sponsor-sponsor ini
mudah-mudahan saja tetap bisa diatur berada di luar garis-garis
kriteria Festival dalam memilih peserta.
"Mudah-mudahan bobot bukan bobot etalase," kata Ramadhan KH,
sekretaris panitia kepada TEMPO. Ia menyatakan festival ini
lebih padat dan lebih susah dari festival yang pernah ada di
Jakarta. Festival ini festival bergerak, lewat beberapa unit
keliling yang secara mobil berpindah-pindah menyelenggarakan
pertunjukan di seantero Jakarta. Ada warna kerakyatan yang
jelas. Tentu saja tidak seluruhnya. Untuk acara Kepresidenan
misalnya suasana kerakyatan itu tidak seleluasa seperti di tepi
jalan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini