Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dimensi, dan mungkin juga turisme festival jakarta untuk apa ?

Dewan kesenian jakarta menyelenggarakan festival jakarta di arena terbuka taman fatahillah. teater tradisional dari 8 daerah diperkenalkan. sebagian besar pesertanya petani sehingga merupakan pesta petani. (tr)

8 Juli 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA pasang "bom" lagi. Tak kurang dari Bali, Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Aceh, Maluku, Kalimantan Selatan turut sibuk. "Festival Jakarta" dibuka tanggal 29 Juni di Arena Terbuka Taman Fatahillah -- membangunkan teater tradisionil daerah-daerah tadi untuk lebih dikenalkan pada masyarakat ibukota. Kerepotan yang berlangsung hingga 9 Juli ini dimeriahkan rombongan Wayang India yang kebetulan lewat. "Tujuan Festival Jakarta bukanlah turisma," tulis Dewan Kesenian Jakarta, pencetus ide festival, dalam sebuah selebaran. "Turisma dalam hal ini akan menjadi hasil sampingan." Dijelaskan, kelak festival diharapkan menjadi tempat pertemuan berbagai bentuk kesenian tradisionil dari seluruh dunia. "Dengan demikian festival bermanfaat baik bagi kehidupan kesenian sendiri maupun untuk kehidupan pariwisata," demikian dinyatakan lagi. Begitulah, dalam suasana meriah dan akrab, pembukaan Festival Jakarta 78 berlangsung di bawah langit mendung. Gubernur Jakarta yang dipanggil Babe Nolly dan Wakil Presiden RI Adam Malik, sama-sama bawa nyonya, muncul dengan celana batik dan sarung. Babe Nolly dengan kalemnya kasih sambutan, dan tentu saja mengharapkan segala yang baik. Sementara Adam Malik, seperti keberatan sarung, dengan lincahnya pasang senyum -- lalu menabuh gendang, sebagai tanda festival dibuka. Entah kenapa pembawa acara keseleo terus tatkala menyebut nama Gubernur. Tapi kesalahan-kesalahan kecil ini terlupakan oleh rasa syukur pada kerja keras para pawang, yang malam itu berhasil mengamankan hujan. Upacara pembukaan di atas panggung yang berharga Rp 5 juta itu, jadi sip dan mengesankan. Tiga pasang ondel-ondel tiba-tiba menolak 4 buah daun jendela di loteng Museum Fatahillah -- yang semula terkatup rapat. Dengan wajah berwarna merah-putih, boneka khas Betawi itu menaburkan mawar merah. Sementara di panggung para utusan dari daerah menyelip di antaranya rombongan dari India, sibuk ajojing. Bokir dan Nasir, dua pemain lenong yang tersohor sebagai pelawak mendapat kehormatan sebagai "MC". Inilah yang membuat acara yang dihadiri oleh pejabat-pejabat resmi, yang dibungkus oleh kemeja batik urung jadi kering dan formil. Dengan enak saja, kedua orang ini nyerocos menjalankan acara. Kadangkala salah ngomong, tapi langsung dimaafkan dan dikasih tepuk tangan dengan serunya. UNTUK apa sebetulnya keramaian yang membutuhkan Rp 60 juta ini dijejalkan antara Ulang Tahun Jakarta dan Hari Ulang Tahun Proklamasi? Asrul Sani, yang dikenal sebagai penyair, sutradara, anggota DPR -- yang kini memegang pucuk pimpinan di Dewan Kesenian Jakarta -- mencoba menerangkan. "Mulanya festival adalah kehendak Dewan Kesenian Jakarta untuk meningkatkan mutu, ragam dan program," ujarnya. Asrul menceritakan bagaimana Taman Ismail Marzuki (TIM) pada awalnya berusaha membuat pekan kesenian dua kali setahun. Sekali untuk corak tradisionil, sekali untuk corak kontemporer. Setelah dua tahun pertama, kedua corak itu digabung. Alasannya: kedua corak tersebut sulit dicarikan garis perbedaan yang jelas. Selanjutnya ditingkatkan jadi Festival Jakarta, supaya tidak hanya disantap oleh orang Jakarta saja. Pendatang daerah dan orang-orang luar negeri dikasih kesempatan mencicipi melalui sebuah forum yang lebih spektakuler. Asrul tak mengingkari bahwa kegiatan semacam ini mempunyai kemungkinan untuk berubah menjadi etalase yang hanya menjadi urusan bidang keparawisataan. "Risiko tetap ada. Tapi kalau kita tak mau menghadapi risiko, kita toh tidak tumbuh," kata Asrul. Ahli tari Sardono W. Kusumo, yang terlibat dalam festival sebagai Penata Bidang Acara, juga ikut mengemukakan teorinya: "Festival ini bukan hanya peristiwa teater, tetapi telah diusahakan menjadi peristiwa kota. Diselenggarakan di beberapa tempat dengan materi yang bervariasi dari klasik sampai ke seni kerakyatan yang tradisionil," ujarnya. Di samping teori itu, Sardono masih bisa menunjukkan, betapa mutu dari isi acara sampai saat ini berhasil dijaga bobotnya. Ia menjamin lewat tema tradisionil, seluruh grup yang hadir klasik maupun kerakyatan mewakili grup terbaik di daerahnya. Sebelum dikirim telah diadakan korespondensi dan peninjauan untuk memeriksa utusan tersebut. Sebuah grup dari daerah Jambi misalnya -- tepatnya Kerinci -- terpaksa dibatalkan. "Grup itu setelah saya lihat, ternyata belum mampu mengangkat nilai-nilai yang ada dengan baik. Dan kelihatannya pemainnya bukan dari daerah Kerinci," kata Sardono. Masih dalam rangka membuktikan betapa pentingnya arti Festival ini yang diselenggarakan sementara beberapa pelosok tanah air ini dihajar banjir pejabat pemerintah DKI Soedarmadji Damais 37 tahun, menegaskan: "Festival ini diselenggarakan sebagai percobaan, untuk tiga hal. Memasyarakatkan kesenian, tukar menukar bentuk kesenian antar daerah dan luar negeri, serta memeriahkan HUT Jakarta dan RI." Dan karena kata "percobaan" bukanlah perkataan basa-basi, ia dengan terus terang mengatakan kemungkinan masa datangnya belum jelas. Ia menggantungkannya pada penerimaan masyarakat sendiri. Tapi sebagai Sekretaris Badan Penasehat Dinas Tata Bangunan dan Pemugaran DKI, sudah jelas pula ia tahu ide apa yang ada pada DKI sendiri untuk mendorong Dewan Kesenian Jakarta ini. Kata Soedarmadji ("Adji") di tengah kesibukannya yang luar biasa: "Ada keinginan pemerintah daerah agar tempat-tempat bersejarah di Jakarta tidak sepi." Dan juga, Dinas Parawisata DKI berhasrat "mengkoordinir objek-objek wisata di Jakarta dalam satu konsep yang disebut Mandala Wisata." Setelah dua alasan itu, ia sampai pada alasan ketiga yang agak tumbuh dengan keinginan DKJ. Yakni menampung sikap atau kehendak Dewan Kesenian Jakarta untuk memencarkan kesenian ke seluruh pelosok. Alasan yang terakhir ini kedengarannya boleh dianggap kemajuan. Setelah beberapa lama Taman Ismail Marzuki berhasil merangsang ledakan-ledakan pementasan, telah terjadi suatu pandangan yang agak menyempit. Semuanya seperti terpenjara dalam tembok TIM. Dan ini memang memerlukan pembongkaran, sehingga kegiatan berserak kembali secara merata di seluruh kawasan Jakarta. Seberapa banyak ide yang ada di kepala DKJ akan tetap melekat dalam Festival masa yang akan datang, memang tidak dapat diramalkan sekarang. Kini peristiwa ini digarap oleh sebuah panitia dengan Ketua Umum Joop Ave, Nyonya Lila Tahir, yang bertugas mengurus hubungan luar, sudah menjelaskan beberapa kesulitan. Biaya Rp 60 juta yang dibutuhkan, misalnya, baru separuhnya dapat dipastikan terkumpul. Dari DKI sendiri hanya turun sekitar Rp 30 juta -- itupun nanti harus dipertanggung jawabkan kepada DPRD. Ini ditutup dengan cara membuka kesempatan (apalagi kalau bukan?) pada sponsor. Sponsor-sponsor ini mudah-mudahan saja tetap bisa diatur berada di luar garis-garis kriteria Festival dalam memilih peserta. "Mudah-mudahan bobot bukan bobot etalase," kata Ramadhan KH, sekretaris panitia kepada TEMPO. Ia menyatakan festival ini lebih padat dan lebih susah dari festival yang pernah ada di Jakarta. Festival ini festival bergerak, lewat beberapa unit keliling yang secara mobil berpindah-pindah menyelenggarakan pertunjukan di seantero Jakarta. Ada warna kerakyatan yang jelas. Tentu saja tidak seluruhnya. Untuk acara Kepresidenan misalnya suasana kerakyatan itu tidak seleluasa seperti di tepi jalan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus