Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI sebuah pesta pernikahan, bir dan anggur disajikan. Graham Russell, penulis lagu duo Air Supply, hadir di sana. Ia menyaksikan kedua mempelai berdansa. Tak pernah, kata Russell, ada yang menari seindah keduanya. Mungkin karena perayaan itu sekaligus perpisahan. Si mempelai pria akan berangkat ke medan perang. Itu malam terakhir pengantin perempuan melihat suaminya. Lelaki itu pulang dalam peti mati.
Usai bercerita, Russell mengayunkan tangan kidalnya memetik gitar akustik. Ia menyanyikan tembang tentang kisah nyata itu, A Little Bit More.
Tangisan sedih si janda pengantin baru adalah salah satu lagu di album Air Supply, Mumbo Jumbo, yang akan dirilis pada Januari 2010. ”Musik lagu-lagunya masih khas seperti tradisi kami, namun dengan sentuhan futuristik,” kata Graham Russell, sehari sebelum konser di Jakarta.
Tampaknya, penggemar ”Pasokan Udara” di Indonesia tidak perlu promosi panjang tentang lagu baru band yang digawangi dua lelaki gaek ini. Sebab, penonton di sini lebih akrab dengan lagu-lagu lama yang legendaris. Itulah yang tampak di ballroom Hotel Gran Melia, Jakarta, Rabu pekan silam. Sekitar 1.500 penonton yang membayar tiket Rp 350 ribu hingga Rp 1,5 juta dengan lancar sing along ketika dinyanyikan lagu yang sudah akrab di telinga mereka, seperti Goodbye, Lost in Love, Making Love Out of Nothing at All, dan All Out of Love. Ya, walaupun tembang anyar Air Supply yang lebih rancak tetap diterima. Dance With Me dan Me Like You, yang berciri gebrakan drum yang bertenaga, berhasil membuat penonton berjingkrak.
Sebenarnya, apa yang membuat Air Supply tetap digemari setelah 23 tahun? Musisi Elfonda Mekael menilai, aransemen musik pop kelompok ini digarap halus. ”Musik dan liriknya mengena di hati,” kata penyanyi yang dipanggil Once itu. Temanya pun mudah diterima: soal cinta.
Itulah yang membuat salah satu penonton, Tiara, 32 tahun, meski tak mengenal banyak lagu Air Supply dan bukan dari generasi penggemar—rata-rata 40 tahun—tetap menggemari kelompok ini. Dia ingat radio dan televisi yang pada 1990-an kerap memutar lagu dari band ini. ”Hits mereka menempel bersama kenangan masa itu,” kata karyawati swasta ini.
Konsep musik Air Supply lahir dari kepala Graham Russell. Tapi vokal Russell Hitchcock—lembut dan bersih, melengking tinggi pada refrain dan bridge—bercokol kuat di kepala penggemar Air Supply. Ditambah suara bariton Graham, yang membuat paduan vokal keduanya harmonis.
Itu pula yang membuat Air Supply, yang malam itu ditemani musisi baru dan muda: Frankie Moreno (piano), Russell Latezia (gitar melodi), Jonni Lightfoot (bas), dan drumer Mike Zerbe, tetap tampil segar. Meski ini ke-15 kalinya band asal Melbourne itu hadir di Indonesia, sejak pentas perdana 1994 dengan promotor Original Production, penonton tetap antusias. ”Ini dicatat sebagai rekor oleh Museum Rekor Indonesia,” kata Tommy Pratama, pendiri Original.
Sulit memang menemukan kelompok dengan genre dan ketenaran yang menyamai Air Supply, yang sudah menjual 20-an juta kopi album. Ada Michael Learns to Rock asal Denmark yang berdiri sejak 1988. Trio dengan vokalis Jascha Richter ini pernah berkonser di Indonesia pada 2005. Meski penggemarnya kira-kira setipe dengan Air Supply, Making Love Out of Nothing at All jelas lebih tenar ketimbang Paint My Love—lagu Michael Learns to Rock.
Dalam formasi mirip, ada Simon & Garfunkel, yang terkenal dengan harmonisasi vokal yang ketat dan berkesinambungan. Duet ini kerap cerai-rujuk, meski masih aktif hingga kini. Ada pula Bill Medley dan almarhum Bobby Hatfield, duet The Righteous Brothers yang terkenal dengan Unchained Melody. Namun tampaknya hanya Air Supply yang masih memiliki ”pasokan udara” segar hingga kini.
Ibnu Rusydi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo