Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUNGGUH petaka bagi Sinta Malhotra (diperankan penyanyi sekaligus aktris Lala Karmela). Pernikahannya dengan sang pacar, Vikash (Sahil Shah), di Agra, India, tinggal menghitung hari. Tanggal baik telah ditentukan. Kain sari berwarna mentereng juga sudah disiapkan calon mertua untuk gadis blasteran India-Indonesia ini. Namun tiba-tiba ibu Sinta, Widi (Cut Mini), malah “kabur” ke Indonesia, tepatnya ke kampung halamannya di Desa Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Tanpa aba-aba.
Setengah mati Sinta memohon ibunya kembali ke Agra. Tapi Widi berkukuh menolak. Walhasil, Sinta terpaksa menyusul sang ibu ke Borobudur. Namun, meski sudah jauh-jauh ke Indonesia, Sinta tetap gagal meluluhkan hati Widi. Ia malah mendapati banyak rahasia yang selama ini disimpan erat ibunya. Isi kepala Sinta makin ruwet di Desa Borobudur lantaran dia berhadapan dengan budenya, Dewi (Ria Irawan), yang judes dan “alergi” terhadap Widi. Ada pula Dimas (Dian Sidik), si paman yang bisnis homestay-nya amburadul dan melahirkan utang. Di sisi lain, Vikash, yang tak sabar, menjemput Sinta ke Magelang.
Semrawutnya situasi yang dihadapi Sinta menjadi pemikat film Kuambil Lagi Hatiku (Borobudur Love Story). Film ini digarap Produksi Film Negara (PFN) dan disutradarai Azhar “Kinoi” Lubis. Sejarah tercipta karena Kuambil Lagi Hatiku adalah film pertama yang diproduksi salah satu badan usaha milik negara ini setelah vakum 26 tahun. “Walau tak pernah melahirkan anak, mungkin selega itulah yang saya rasakan setelah film ini siap tayang,” kata Direktur Utama PFN Abduh Azis.
Lahir pada 1934, PFN identik dengan produksi film-film “propaganda” pemerintah. Badan ini sudah memproduksi 50 film, di antaranya Kopral Djono (1954) dan Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI (1982) yang fenomenal. Adapun salah satu produk PFN yang artistik adalah Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa (1979). Film arahan sutradara Arifin C. Noer itu masuk nominasi film terbaik dalam Festival Film Indonesia.
Abduh menerangkan, Kuambil Lagi Hatiku lahir dari diskusi panjangnya dengan produser Salman Aristo. Ia menyebutkan PFN sengaja memilih formula anyar demi menyesuaikan diri dengan selera pasar. Begitu pun pemilihan tema keluarga dan budaya, yang sengaja diambil untuk mencuri perhatian masyarakat. “Zaman berubah, PFN enggak bisa kayak dulu lagi,” ujarnya.
Untuk membiayai Kuambil Lagi Hatiku, sejumlah perusahaan pelat merah berpatungan. Di antaranya Pertamina, Pelindo III, Perusahaan Gas Negara, Garuda Indonesia, Wijaya Karya, Wahana Kreator Nusantara, dan Taman Wisata Candi (TWC). “Karena ini film ‘pecah telur’ PFN setelah 26 tahun, bujetnya standar, tidak membuat kami berfoya-foya,” ucap Kinoi, yang menyutradarai Surat Cinta untuk Kartini (2016) dan Jokowi (2013).
Sokongan TWC membawa konsekuensi pada jalan cerita. TWC sudi membantu PFN asalkan film itu terkait dengan candi. Dus, sejumlah adegan mengambil tempat di area candi. Konflik antarpemain pun dibumbui adegan pencurian artefak Candi Borobudur dan Candi Pawon. Soal ini sebenarnya menarik. Hanya, ketika dijejalkan ke tengah cerita, adegan menjadi terasa dipaksakan.
Selebihnya, Kuambil Lagi Hatiku segar dan menyenangkan. Sebab, film ini antara lain menyajikan realitas keseharian kita. Duet “kakak-adik” Ria Irawan-Dian Sidik, lewat celetukan dan gestur, pun tak pernah garing membanyol. Adapun Lala Karmela (Ngenest, Bukaan 8) tampil berbinar dalam film ini. Ia terdengar meyakinkan berbicara dalam bahasa India, yang dipelajarinya dalam tiga pekan saja.
Lala mengungkapkan, agar logat India-nya makin kental, ia sampai datang ke acara yang digelar Kedutaan Besar India untuk Indonesia, juga arisan warga keturunan India di Jakarta. Sayangnya, dalam beberapa adegan yang menuntutnya emosional, penampilan Lala masih agak datar. Penyelesaian konflik antarkarakter film juga terlalu buru-buru. Selain itu, tak ada dialog yang mendalam sehingga persoalan yang mulanya gawat menjadi antiklimaks. Namun, sebagai debut PFN dengan gaya baru, Kuambil Lagi Hatiku aman sebagai langkah awal.
ISMA SAVITRI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sutradara : Azhar “Kinoi” Lubis
Skenario : Arief Ash Shiddiq, Rino Sardjono
Pemeran : Lala Karmela, Cut Mini, Ria Irawan, Dimas Aditya, Dian Sidik, Sahil Shah
Produksi : Produksi Film Negara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo