Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Kalau Bandar, Pasti Kami Sikat

Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Heru Winarko:

16 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Heru Winarko. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BADAN Narkotika Nasional kembali menjadi sorotan setelah polisi menangkap Andi Arief—saat itu Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat—di Hotel Menara Peninsula, Jakarta Barat, dengan dugaan mengkonsumsi sabu pada 3 Maret lalu. Penangkapan itu memancing reaksi politikus partai yang berkoalisi dengan Partai Demokrat dalam pemilihan presiden 2019. Mereka ramai-ramai menuding kasus Andi sebagai buntut gagalnya pemerintah Presiden Joko Widodo memberantas narkotik.

Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Heru Winarko, 56 tahun, membantah tuduhan itu. Ia mengatakan BNN telah menempuh segala cara untuk membersihkan negeri ini dari narkotik. “Kami melibatkan semuanya, dari kepala desa hingga para ulama,” kata Heru dalam wawancara khusus dengan Tempo di kantornya di Cawang, Jakarta Timur, Jumat, 8 Maret lalu.

Heru mengatakan upaya BNN tersebut berhasil menekan peredaran narkotik. Pada 2014, prevalensi penyalahgunaan narkotik dan obat-obatan berbahaya mencapai 2,23 persen atau sekitar 4,2 juta orang. Angkanya turun menjadi 1,77 persen atau sekitar 3,3 juta orang pada 2017. Adapun jumlah tersangka kasus narkotik meningkat dari 1.238 orang pada 2016 menjadi 58.365 orang pada 2017. Targetnya, Indonesia bebas dari candu itu. “Tapi tidak ada negara yang bersih dari narkoba,” ujarnya.

Kepada wartawan Tempo, Sapto Yunus dan Angelina Anjar Sawitri, Heru bercerita tentang kasus narkotik yang menjerat Andi Arief. Polisi meminta BNN menilai penyalahgunaan narkotik oleh Andi. Hasilnya, Andi mesti menjalani rehabilitasi medis tanpa proses pidana karena tidak ditemukan barang bukti saat penggerebekan. “Kalau yang seperti itu dipenjara, penjara bakal penuh,” tutur Heru.

Bagaimana Anda menjawab tudingan politikus bahwa pemerintah gagal memberantas narkotik?

Saya tidak ikut-ikutan masalah politik. Saya bekerja saja supaya Indonesia bisa bebas dari narkoba. Kami jalan terus. Buktinya, ada beberapa negara yang mau bekerja sama dengan kita. Artinya, mereka mengakui kita. Kami juga memberdayakan semua pihak karena selama ini banyak yang tidak care. Padahal, kalau mereka dibiarkan, akan makin parah.

Separah apa?

Saya pernah mengalaminya di Lampung. Ada satu kampung, banyak terjadi peredaran gelap narkoba di sana. Beberapa pengedarnya ibu-ibu. Saat kami mau menggeledah, ibu-ibu itu malah bikin barikade. Di belakang mereka, ada orang-orang yang menembaki kami. Jadi kami tidak bisa apa-apa.

Seperti dalam perang melawan kartel narkotik di Kolombia….

Ha-ha-ha…. Di Lampung memang banyak senjata rakitan. Ada kampung yang namanya Sungai Buaya. Di sana ada sebelas warga yang punya kemampuan membuat senjata. Mereka mesti diberdayakan. Saya mengajak para kepala daerah bersama-sama memperhatikan masyarakat yang terkena narkoba.

Bagaimana mekanisme asesmen BNN terhadap pengguna narkotik yang direhabilitasi?

Pertama, dari sisi pidana, dilihat keterkaitan mereka dengan jaringan. Lalu dilihat kadar ketergantungannya, apakah harus rawat inap, rawat jalan, atau konseling.

Apa hasil penilaian BNN terhadap kasus Andi Arief?

Dia harus menjalani rehabilitasi medis.

Apakah Andi Arief terkait dengan jaringan tertentu?

Kami tidak ikut mengasesmen jaringannya. Kalau menurut polisi, belum ada keterkaitan.

Sejumlah politikus juga terjerat narkotik. Apakah penyuplainya sama?

Ada beberapa jaringan.

Jaringan itu sama dengan pemasok kalangan selebritas?

Beda, tapi mereka memang menjadikan public figure sebagai target agar pemasarannya makin luas. Sebab, apa yang dilakukan figur publik akan ditiru masyarakat.

Berapa lama Andi Arief menjadi pengguna?

Sejak 2016.

Jenisnya?

Hanya sabu.

Apa alasan BNN merekomendasikan Andi Arief menjalani rehabilitasi tanpa proses pidana?

Proses pidana bisa ditempuh jika seseorang bukan hanya pemakai, tapi juga pengedar. Atau, ketika ditangkap, ditemukan barang bukti berupa narkoba.

Urine mengandung narkotik dan bong sabu yang polisi dapati saat penggeledahan tidak tergolong barang bukti?

Kan, tidak ditemukan barang bukti berupa narkoba.

Bukankah ada bekas pembakaran di bong?

Tidak ada.

Biasanya pengguna yang ditangkap polisi tetap harus menjalani proses pidana, tidak seperti di BNN yang cenderung ke arah rehabilitasi….

Karena itu, kami berharap kasus ini menjadi momen yang bagus. Jangan sampai orang-orang yang hanya menggunakan dan tidak ditemukan barang bukti itu dipenjara. Kalau yang seperti itu dipenjara, penjara bakal penuh dan mereka malah naik kelas. Tapi, kalau dia terlibat dalam jaringan, harus dihukum berat atau dihukum mati sekalian. Kalau bandar, pasti kami sikat.

Apakah keputusan rehabilitasi Andi Arief berkaitan dengan tahun politik?

Ha-ha-ha…. Tidak ada kaitannya.

Sebagian besar pengguna hanya mau menjalani rehabilitasi ketika sudah ber­kasus. Jarang yang sifatnya sukarela....

Ya. Tapi tahun lalu ada kasus yang menarik. Ada beberapa perusahaan perkebunan meminta kami merehabilitasi pegawai-pegawainya yang menggunakan narkoba. Tadinya mereka tidak care. Makin lama, untuk memenuhi kebutuhannya yang makin tinggi, para pegawai perusahaan itu berutang kepada pengedarnya. Pengedar itu menagih ke perusahaan.

Apa tindakan BNN?

Selain merehabilitasi pegawai mereka, kalau ada bandar yang masuk, kami tindak. Berkaca dari kasus ini, kami berharap makin lama rehabilitasi menjadi bersifat sukarela.

Apa saja yang sudah berjalan dari Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Narkoba 2018-2019?

Dalam bidang pencegahan, kami membuat program Desa Bersinar atau Desa Bersih Narkoba. Kami memberdayakan kepala desa, Babinsa (Bintara Pembina Desa), dan Bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat). Kami juga bekerja sama dengan Majelis Ulama Indonesia. Di Singapura dan Malaysia, para mufti aktif menyuarakan narkoba itu haram. Kami mengajak para ulama masuk ke sana. Begitu pula yang Nasrani. Dalam bidang pemberdayaan masyarakat, kami melibatkan kementerian, lembaga, pemerintah daerah, hingga swasta. Mereka melakukan tes urine sendiri dan sosialisasi bahaya narkoba dengan konten dari BNN.

Selain sosialisasi, apa lagi?

Dalam bidang pemberdayaan masyarakat, kami sudah memetakan daerah yang rawan narkoba tahun ini. Ada 60 daerah. Nah, saya sudah bicara dengan direksi dan komisaris badan usaha milik negara se-Indonesia agar mereka masuk. Mereka sanggup membantu di 21 daerah.

Di mana saja?

Misalnya Kampung Kubur di Medan, Kampung Beting di Pontianak, Menteng Tenggulun di Jakarta. BUMN akan dilibatkan sebagai bapak asuh. Kan, rata-rata pengedar adalah ibu-ibu. Kami melatih mereka, seperti membuat tas, kacamata. BUMN siap memodali.

Salah satu rencana aksi di bidang pemberantasan adalah membangun rumah tahanan khusus narkotik. Bagaimana implementasinya?

Minggu lalu kami ke Nusakambangan, Jawa Tengah, untuk mengecek lapas yang akan digunakan. Sebelumnya itu digunakan Brimob (Brigade Mobil) ketika ada emergency (kerusuhan yang dibuat ratusan narapidana terorisme di Rumah Tahanan Markas Komando Brimob, Depok, Jawa Barat, pada Mei 2018, sehingga mereka dipindahkan ke Nusakambangan). Sekarang sudah mulai kosong. Kami akan melihat siapa saja narapidana narkoba yang benar-benar bisa ditahan di sana.

Gembong-gembong narkotik?

Ya, mereka yang membutuhkan super-maximum security. Di bidang pemberantasan, kami juga bekerja sama dengan kementerian dan lembaga. Dari Kementerian Perhubungan, kami mendapatkan vessel information system untuk memonitor posisi kapal. Begitu pula dengan pesawat.

Tahun lalu BNN membentuk satuan tugas interdiksi pelabuhan ASEAN. Bagaimana efektivitasnya?

Kami mengadakan pelatihan. Selain profiling sindikat, mereka dilatih di laboratorium. Jadi, berdasarkan komposisinya, mereka bisa melacak dari mana dan dari sindikat apa sebuah barang bukti itu berasal.

Dari 739 zat narkotik jenis baru yang dilaporkan oleh 106 negara, berapa yang beredar di Indonesia?

Tahun ini ada 74 jenis. Tahun lalu baru ada 51 jenis. Bandar-bandar besar punya laboratorium. Mereka melihat pasar. Kalau sudah tidak disukai pemakai, mereka tidak memproduksinya lagi.

Apakah narkotik jenis baru itu sudah masuk ke aturan kita?

Dalam aturan kita hanya ada 65 jenis.

Apa upaya mengisi kekosongan aturan hukum itu?

Dalam revisi Undang-Undang Narkotika, kami mengusulkan supaya penggolongan narkotik tidak usah lagi memakai peraturan Menteri Kesehatan, tapi cukup dengan hasil laboratorium (dalam Undang-Undang Narkotika, perubahan penggolongan narkotik diatur dengan peraturan menteri). Jadi kami bisa mengambil keputusan dengan cepat dalam masa penyelidikan selama 3 x 24 jam dan perpanjangan 3 x 24 jam.

Sejauh mana revisi Undang-Undang Narkotika?

Masih berada di pemerintah.

Peta jaringan narkotik saat ini seperti apa?

Biasanya narkoba berkembang di daerah-daerah konflik, seperti Afganistan, Amerika Latin. Yang sekarang sedang ramai di Myanmar dan Laos.

Mereka masuk ke Indonesia lewat mana?

Kalau di Sumatera, dari Penang (pulau di Malaysia Barat) ke Aceh, Medan, dan Pekanbaru. Kalau di Kalimantan, dari Tawau (kota di Malaysia Timur) ke Nunukan dan Berau. Saat ini kami sedang berfokus pada peredaran narkoba lewat kargo, kebanyakan ekstasi, dari Eropa dan sebagainya.

Adakah peredaran lewat kargo dari Malaysia?

Jarang. Biasanya hanya transit di sana, lalu diedarkan lewat laut. Yang lewat darat juga ada, di perbatasan Kalimantan Utara dan Kalimantan Barat. Karena itu, saya juga memperkuat perbatasan. Selain lewat program Desa Bersinar, saya meminta staf saya berjalan bersama-sama dengan Imigrasi, Bea-Cukai, dan semua pihak yang ditempatkan di perbatasan.

Bagaimana dengan pengamanan di bandar udara dan pelabuhan?

Kami meminta mereka mengubah kerangka berpikir, dari sebelumnya safety flight menjadi safety flight plus dengan menempatkan drug detector.

Bagaimana upaya pencegahan di pelabuh­an-pelabuhan “tikus”?

Sama seperti di perbatasan, dengan program Desa Bersinar. Saat ini dana desa pun bisa digunakan untuk sosialisasi narkoba.

Pelabuhan pribadi di rumah mewah juga bisa menjadi pintu masuk. Bagaimana mengantisipasinya?

Pemerintah daerah, seperti lurah, harus mengontrol selama 24 jam. Sekarang pun para ketua RT dan ketua RW selalu menanyai penduduk baru. Ini penting. Sejauh ini belum ada kasus penyelundupan lewat pelabuhan pribadi. Kebanyakan jaringan beroperasi di perairan internasional. Jadi kami tidak bisa menyentuhnya. Biasanya mereka pakai speedboat untuk menuju daratan. Karena itu, di Nunukan dan Berau, kami meminta speedboat milik masyarakat diberi nomor supaya termonitor.

Mengapa belakangan jarang ada penggagalan penyelundupan narkotik dalam jumlah besar?

Kami bekerja sama dengan Malaysia, Thailand, dan sebagainya. Kami meminta mereka kooperatif. Kalau mereka bisa memotong peredaran, narkoba itu tidak akan masuk ke wilayah kita.

Artinya pertahanan Malaysia dan Thailand sudah kuat?

Sudah kuat.

Berapa jaringan narkotik yang sudah diungkap BNN?

Tahun lalu ada 34 jaringan. Jumlah tangkapan pun naik. Artinya, supply turun. Begitu pula demand. Pada 2017, prevalensi penyalahgunaan narkoba hanya 1,77 persen. Pada 2014, prevalensi masih 2,23 persen. Artinya, demand turun. Di Thailand prevalensinya hampir 3 persen.

Targetnya?

Kita bisa bebas dari narkoba. Tapi tidak ada negara yang bersih dari narkoba.

Sejumlah pihak menilai BNN kepemimpinan Anda tidak seagresif saat dipimpin Budi Waseso. Pembelaan Anda?

Kalau dikumpulkan, banyak. Mungkin juga di zaman Pak Buwas—panggilan Budi Waseso—BNN bisa menemukan narkoba hingga 1 ton karena yang berada di lapangan mendapat momen yang pas sehingga berani menangkap.

Gembong narkotik sekarang jauh lebih berhati-hati?

Cara mereka menyelundupkan tidak lagi dalam jumlah besar, tapi secara parsial.

Ada yang mengatakan turunnya pengungkapan kasus besar disebabkan oleh perbedaan visi Anda dan bawahan….

Tidak. Saya dengan Pak Arman (Depari, Deputi Pemberantasan BNN) selalu bersama-sama. Malah, banyak informasi yang saya berikan kepada Pak Arman. Saya juga memberikan kartu kredit kepada beberapa anak buah saya di lapangan supaya mereka tidak perlu kembali ke sini untuk mengambil uang kas jika ingin bergeser dari Thailand ke Malaysia. Lagi pula, yang namanya BNN itu tidak hanya nangkepin orang. Kami juga melakukan pencegahan. Tapi pencegahan memang bukan pekerjaan yang menarik untuk diekspose.

Saat pelantikan, Anda bertekad menaikkan angka rehabilitasi menjadi 20 ribu orang, sementara jumlah pengguna yang direhabilitasi pada 2017 mencapai 15 ribu. Bagaimana progresnya?

Saat ini jumlahnya sudah 25 ribu orang di seluruh Indonesia. Terkait dengan rehabilitasi, kami membuat pelatihan bersama UNODC (Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Narkotik dan Kejahatan) untuk penyidik, jaksa, dan hakim agar satu persepsi soal Pasal 127 dan Pasal 54 Undang-Undang Narkotika yang menyebutkan pecandu narkoba dan korban penyalahgunaan narkotik wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Di mana saja?

Baru di enam provinsi, yang rawan dan punya tempat rehabilitasi, di antaranya DKI Jakarta, Lampung, Sumatera Utara, dan Kalimantan Timur.

Apakah arahnya ke peradilan khusus narkotik?

Kami sudah bertemu dengan Sekretaris Mahkamah Agung untuk membahas kemungkinan pembentukan peradilan khusus narkoba. Kalau di BNN, kami sudah membentuk Lembaga Sertifikasi Profesi untuk penyuluh, penyidik, penggiat, dan konselor.

Akhir tahun lalu, Thailand melegalkan ganja untuk medis. Bagaimana dengan Indonesia?

Kami sudah sepakat dengan para ahli kesehatan bahwa kita tidak akan mengizinkan itu. Kami tidak mau ada legalisasi ganja di sini. Jadi ganja tetap masuk narkotik golongan I (bersama sabu, kokain, opium, dan heroin). Lagi pula, alasan legalisasi adalah sebagai alternatif pengobatan. Menurut kami, masih banyak alternatif pengobatan. Kami pun melihat di tempat lain yang sudah mulai bebas malah tidak terkontrol.

Di negara yang melegalkan ganja, peredarannya dibatasi di tempat-tempat tertentu….

Seharusnya seperti itu. Tapi kenyataannya susah. Misalnya di Belanda, satu toko hanya boleh menjual 5 gram. Tapi orang yang sama bisa datang pagi, siang, sore.

Bagaimana Anda melihat kasus Fidelis Arie Sudewarto, yang dihukum delapan bulan penjara karena menanam ganja untuk mengobati kanker sumsum tulang belakang istrinya?

Penyakit istrinya sudah stadium IV. Jadi itu hanya digunakan sebagai penghilang rasa sakit, bukan untuk mengobati. 

 


 

Heru Winarko

Tempat dan tanggal lahir:

Jakarta, 1 Desember 1962

Pangkat:

Komisaris Jenderal Polisi 

Pendidikan kepolisian:

- Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (1985)

- Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (1994)

- Sekolah Staf dan Pimpinan Polri (2000)

- Sekolah Staf dan Pimpinan Administrasi Tingkat Tinggi Polri (2008)

Karier:

- Kepala BNN (2018-sekarang)

- Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (2015-2018)

- Staf Ahli Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Bidang Ideologi dan Konstitusi (2015)

- Kepala Kepolisian Daerah Lampung (2012-2015) 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus