ETOLOGI (etbology) adalah studi tentang tingkah laku binatang.
Tapi para etolog mulai gemar menganalogikan tingkah laku
binatang dengan tingkah laku manusia. Bahkan sudah ada
kesimpulan dari kalangan mereka bahwa politikus yang menang
dalam pemilu bergaya seperti gorila yang kalah. Betulkah ?
Para peneliti terutama menaruh perhatian kepada proses dorongan
dari dalam (drives) karena dirangsang oleh lingkungan, yang
lantas menghasilkan suatu perbuatan lahir (innates) tertentu.
Dan sering penelitian ini dikait-kaitkan dengan berbagai jenis
binatang, untuk kemudian dianalogikan dalam satu jenis tingkah
laku (behavior).
Sejarah etologi menggambarkan bahwa studi ini telah meluas
sekali. Mulai dari pola berenang dari jenis protozoa sampai ke
hewan yang terkenal karena hidup berkelompok, bersosialisasi dan
berkomunikasi seperti jenis kera.
Ahli biologi Jerman bernama Karl von Frisch, misalnya, telah
meneliti sekelompok lebah. Gerakan-gerakan tubuh lebah ternyata
menyimpan sejuta rahasia. Kepakan sayapnya yang bagaikan orang
berdansa, ternyata berarti banyak sekali. Bukan sekedar
memberitahukan teman-temannya bahwa di dekatnya ada makanan,
tetapi juga memberi isyarat yang bisa diartikan arah tujuan dan
jarak.
Di Amerika, Carol Barner-Barry dari Universitas Maryland telah
meneliti bahasa isyarat (nonverbal) dengan tingkah laku, antara
binatang dan anak-anak. Tanda-tanda nonverbal ini telah dimiliki
manusia lama sekali, sebelum mereka mengenal bahasa. Sebagai
alat komunikasi tertua, bahasa nonverbal ini juga masih dimiliki
oleh anak-anak yang belum pandai berbicara. "Tetapi begitu
anak-anak itu semakin besar," demikian Barner-Barry,
"ketergantungan kepada bahasa nonverbal semakin berkurang."
Gail Zivin, profesor dalam psikiatri dan tingkah laku manusia
dari Fakultas Kedokteran Jefferson di Philadelphia, berpendapat
bahwa bahasa nonverbal mempunyai indikasi akan kepercayaan diri
dari anak-anak tersebut. Tingkah laku anak-anak tersebut dengan
penghuni kebun binatang, menurut dia, mempunyai ciri-ciri yang
sama.
Misalnya Zivin pernah melihat kera yang menipu kera lainnya
dengan berpura-pura mempunyai makanan. Kemudian dia membuat dua
kategori: muka plus (a plus face) pada anak-anak atau binatang
yang mempunyai ekspresi: alis mata diangkat, mata terbuka lebar
dan pandangan tajam ke depan dengan dagu yang dikedepankan.
Pokoknya, gaya sombong. Sedangkan muka minus (a minus face)
adalah tingkah laku yang sebaliknya, juga dalam kondisi kalah.
Menurut Zivin, muka plus ada korelasinya dengan agresivitas baik
dari binatang maupun dari manusia. Manusia atau binatang yang
agresif adalah pertanda ia marah, atau beraktivitas tinggi
--menonjolkan tingkah laku yang meletup karena terhina,
terdesak, saingan berat, iri, dengki, atau bahkan karena
gembira. "Tetapi, kalau pendapat Zivin ini benar, muka plus ada
hubungannya dengan kemenangan," kata loger Masters. " Ini tidak
cocok dengan tingkah laku calon presiden yang menang dalam
pemilu. "
Masters, profesor dari Dartmouth, AS, kini sedang meneliti
orang-orang yang duduk dalam pemerintahan. Menurut
penelitiannya, seekor gorila yang dominan sekali dalam
kelompoknya akan hersikap agresif, tapi apa yang agresif dalam
binatang mempunya situasi dan kondisi yang berbeda dalam
tingkah laku manusia.
Seorang calon yang menang dalam pemilu, menurut Masters, justru
bersikap seperti gorila yang kalah. Yaitu memalingkan kepala,
sering membuang pandang dan ngeloyor pergi dengan gaya lunglai.
Masters menyatakan hal ini setelah meneliti 4.000 Iembar foto
para politikus di negaranya. Postur, ekspresi raut muka
seseorang di depan massa, di layar televisi atau di foto, sangat
menentukan karir selanjutnya.
Obyek studi Masters yang utama ialah Richard Nixon. Dia
membandingkan Nixon yang kalah melawan John Kennedy di tahun
1960, dengan Nixon yang menang melawan George McGovern di tahun
1972. Nixon antara lain gemar sekali menaikkan kedua tangannya
di depan massa, terutama dalam kampanye pemilihan. Ekspresi plus
tetapi bukan sikap agresif ini juga dimiliki oleh para atlet
sebagai tanda kemenangan.
Harus Hati-hati
Kesimpulan Masters: politikus yang menang justru bergaya seperti
gorila yang kalah. Sebaliknya, politikus yang kalah bergaya
segagah gorila yang jagoan. Mungkin, bagi manusia, kekalahannya
perlu ditutupi dengan gaya yang digagah-gagahkan, meskipun
pengalaman pahit yang baru ditelan. Hipotesanya ini dilengkapi
dengan 114 variable yang telah dibuatnya. Antara lain perincian
dari segala macam gerakan bulu mata, alis, dagu, bibir, bahkan
sampai berapa banyak gigi seseorang tampak kalau meringis,
ketawa atau tersenyum.
Tidak semua pemilih bisa berhadapan muka langsung dengan
pemimpin yang akan dipilihnya. "Dan di sini bahasa nonverbal
penting," tukas Masters.
Artinya, penampilan politikus di siaran televisi, atau cuma
lewat potret sekalipun, bisa mempengaruhi pemilih. Jadi, kalau
mau menang, politikus harus hatihati dalam kampanye. Jangan
grusa-grusu atau berbuat sembarangan.
Tetapi apakah tokoh politik memang mempunyai lagak gorila?
"Publik Amerika," demikian Masters, "lebih menyukai tokoh yang
tidak terlalu agresif." Sikap yang rendah hati, menurut Masters,
lebih banyak mendapat pasaran. Karena itu pula calon pemimpin
Amerika tidak akan berpidato menggebu-gebu ataupun berapi-api
bagai singa podium, tapi cenderung mendekati massa kemudian
bersalaman. Kalau kebetulan bertemu dengan anak-anak atau bayi,
terjadi kemudian apa yang dinamakan: "kissing baby's politic ".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini