Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Potret diri affandi luar-dalam

Sebuah pameran yang jarang, memilih karya-karya affandi untuk mengungkapkan perjalanan kreativitasnya. sekitar 40 lukisan potret diri affandi dipamerkan, pekan lalu, di jakarta.

14 Agustus 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AFFANDI tak suka pada lukisan-lukisan yang ''pintar''. Itu diceritakan oleh anaknya, Kartika, beberapa lama setelah bapaknya itu meninggal. Meskipun Affandi menghargai karya Picasso dan Salvador Dali, ia tak merasa akrab dengan karya mereka dibandingkan dengan lukisan Van Gogh (lihat TEMPO, 2 Juni 1990, Selingan). Dengan kata lain, Affandi (1907-1990) tak akrab dengan ''ide'', dengan ''eksperimen''. Ia melukis jika ingin melukis, dengan cara yang paling bisa menyalurkan keinginannya itu. Yang menarik diungkapkan, lalu apa yang ingin dilukiskan oleh Affandi. Pameran potret-potret diri Affandi di Gedung Pameran Departemen P & K, Jakarta, sampai Ahad kemarin, yang diarahkan oleh pemikir seni rupa Jim Supangkat, tampaknya bisa dipakai untuk mendiskusikan itu. Pameran yang terarah ini hal yang jarang dilakukan selama ini yang berniat mengemukakan perjalanan kreativitas Affandi, menyuguhkan satu perbandingan yang menarik lewat potret diri Affandi tahun 1938-1988. Sekitar 40 lukisan yang dipamerkan, meski belum sepenuhnya komplet, rasanya cukup mewakili. Yang segera tampak, periode potret Affandi tahun 1970-an ke belakang tampil dalam warna-warna kelam. Bahkan ada di antaranya dengan latar belakang yang dikuasai oleh warna hitam. Affandi dan 7 Matahari (1950), misalnya. Sebuah tampang yang kurus, bercambang, dengan dahi lebar. Di sekitarnya matahari. Ada yang kebiruan, ada yang kemerahan, ada yang kekuningan. Sebuah karya yang mengekspresikan semangat berkobar-kobar justru karena latar kelam yang menekan. Dalam tahun 1950-an itu, potret diri Affandi tampaknya bersuasana seperti itu. Bahkan ketika cucu pertamanya lahir, peristiwa yang umumnya disambut gembira, direkam Affandi dengan semangat muram seperti Affandi dan 7 Matahari. Ia meng- ekspresikan kelahiran cucunya dengan gambar dirinya telanjang bulat menggendong cucunya, dengan latar warna gelap, dan seperti ada bintang-bintang jatuh di sekitarnya. Juga ada goresan yang seperti bintang sabit, lalu ada juga yang seperti ikan. Tapi Affandi dan Cucu (1953), lukisan itu, mungkin memang sebuah ucapan syukur pada Yang Mahakuasa bahwa ia dikaruniai cucu dengan cara Affandi. Memang, setidaknya dalam beberapa potret tahun 1960-an ke belakang, terutama dalam Affandi dan Cucu, ada kegetiran dalam sapuan warna dan goresannya. Dan kebetulan, raut wajah Affandi memang mengesankan seorang yang menyimpan kegetiran itu: komposisi dua matanya yang miring ke bawah, dan mulutnya yang cenderung melengkung ke bawah pula. Saya merasa lukisan satu ini bisa menjadi kunci apresiasi apa sebenarnya yang dilukiskan oleh Affandi. Lihat, ia hadir telanjang sebagaimana cucunya lahir. Komposisi karya menuju ke kanan bidang gambar, ke arah figur Affandi dalam lukisan itu melangkah. Ditambah dengan cara menggendong cucu, terasa lukisan ini seperti hendak menyatakan inilah aku, telanjang beserta makhluk keturunanku, seperti adanya: kanvas itu adalah potret Affandi luar-dalam. Barangkali itu adalah keliaran emosi, yang terekspresikan lewat garis-garis meliuk-liuk, keriting, penuh vitalitas. Mungkin juga jejak-jejak masa lalunya, yang terasakan dari warna-warnanya yang muram. Dan siapa tahu, karya satu ini mencoba bertanya tentang hakikat manusia, dari mana dan mau ke mana. Singkat kata, kanvas Affandi adalah ''jiwa tampak'', meminjam istilah pelukis S. Sudjojono (almarhum), yang pernah bersama Affandi di Persagi (Persatuan Ahli-Ahli Gambar Indonesia), organisasi pertama di Indonesia yang berniat melahirkan seni rupa Indonesia modern. Affandi bukan hanya mengekspresikan pertemuannya dengan objek. Sebab, ketika ia siap melukis dan berdiri di depan objek, ia ''luluh dengan objek''-nya. Yang kemudian ia ''tampak''-kan di kanvasnya sebenarnya adalah isi jiwanya sendiri. Objek itu sekadar pintu. Maka, objek dalam lukisan Affandi begitu bermacam-macam dan biasa. Dari wajah sendiri, pohon kelapa, orang menari, pengemis, bunga, laut, sampai langit. Soalnya, objek itu tidak penting. Bukan karena objek itu Affandi melukis, tapi karena ada sesuatu dalam dirinya yang terpancing keluar ketika ia bertemu dengan ''pintu'' itu. Sejumlah karyanya yang berhasil saya kira karena proses ini. Maka, wajar saja bila banyak sekali ia melukis wajahnya sendiri, karena dengan dirinya itulah ia paling sering dan mudah bertemu dan tiba-tiba menemukan ''pintu''. Itu sebabnya Affandi tak pernah berubah gaya, begitu ia menemukan cara efektif untuk menampakkan ''jiwa''-nya. Dan inilah mengapa potret-potret dirinya memberikan suasana berbeda-beda, meski objeknya itu-itu juga. Sudah tentu tak semua karyanya harus lahir karena ''pintu'' itu muncul dengan sendirinya. Ia bisa juga menemukan pintu secara sengaja dengan melihat-lihat objek sekelilingnya. Karya- karyanya yang tak begitu terasa ''dalam'' bisa jadi muncul karena proses yang ini. Lalu bisa dipahami mengapa karya Affandi mulai sekitar tahun 1980 terasa lebih ''cair''. Potret Diri Sembahyang (1979), umpamanya, kepadatan bentuk tak lagi tercapai lewat pelototan dan sapuan tangannya. Bagaimanapun, cara melukis Affandi yang melibatkan seluruh tenaga dan jiwanya akan mengendur di kala usianya bertambah. Padahal, ia menolak ''eksperimen'' dan melukis dengan cara yang ''pintar''. Ini masalah wajar saja, dan tak ada persoalan apakah kesenian itu mirip olah raga atau bukan. Apakah kemudian dengan tenaga yang terbatas itu Affandi bisa memelototkan tube dan mewujudkan garis yang membentuk, dan tak menggantung sebagai garis, itulah soalnya. Saya sendiri merasakan memang kemudian lebih banyak potret Affandi sejak sekitar tahun 1980 itu, pada usia 70-an tahun, terasa kurang ''dalam''. Dengan cara yang tak berubah, sedangkan secara fisik tenaganya sudah berkurang, mestinya Affandi mencoba mencari cara yang lebih sesuai. Ketika seorang jago silat menyadari kekuatan fisiknya menurun, ia tak akan memperdalam lagi tenaga fisiknya, tapi lebih mengolah tenaga batinnya. Tak terlihat dalam pameran ini, sejauh potret-potret diri Affandi memang representatif untuk mengkaji perjalanan kreativitasnya, upaya itu ada. Misalnya saja, upaya untuk menangkap esensi bentuk, untuk menampilkan komposisi yang tak harus memenuhi kanvas, umpamanya. Dari awal sampai kemudian, Affandi tampaknya konsekuen, tak ingin menjadi pelukis yang ''pintar''. Tak berarti dari tahun 1980-an karya Affandi adalah karya- karya yang ''cair''. Sebagaimana juga tak semua karya sebelumnya berhasil menyuguhkan ''kedalaman''. Dalam pamerannya pada tahun 1982, sejumlah potret diri tampil dengan menarik. Dalam pameran ini, sayang, periode ini hanya diwakili satu karya, berjudul Batuk dan Mripat, dan di kanvas memang hanya ada dahi Affandi yang lebar (dan biasanya selalu diberi warna merah), dan kedua matanya yang sipit. Ini salah satu cara untuk tak membuka ''pintu'' lebar-lebar. Cara yang lain tak ada dalam pameran ini adalah potret dirinya dengan latar belakang laut berombak, dan kapal-kapal berlayar. Seorang pelukis besar bisa dikaji dari berbagai segi. Karya- karya Affandi memberikan itu. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus