Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Naga-naganya mulai terlihat saat terjadi kerusuhan pertengahan Mei 1998 lalu. Saat itu, Presiden Soeharto tengah berada di Kairo, Mesir. Ratusan orang tewas terganggang api bangunan yang dijarah, sekitar 4.000 gedung hancur dan terbakar, sementara kerugian ditaksir triliunan rupiah. Tapi ABRI dipandang kurang tegas dalam mencegah terjadinya kerusuhan. Panglima ABRI Jenderal Wiranto sampai mengeluhkan di depan anggota DPR, betapa ia sampai turun langsung mengendalikan operasi. Di mata Wiranto, upaya Panglima Kodam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoedin dan Panglima Kostrad Letjen Prabowo Subianto, untuk mengamankan Ibu Kota, belum maksimal.
ABRI dikritik begitu lamban memadamkan amuk massa. Tudingan juga diarahkan kepada Sjafrie dan Prabowo yang seolah mendiamkan kejadian fatal itu--sebagaimana sering terdengar dari kalangan LSM. "Tapi yang menjarah itu kan semua orang miskin, ibu-ibu tua. Apa akan kita tembak mereka semua itu?" tanya seorang jenderal yang "bisa memahami gerak lambat" tentara itu. Ia menyebut, di Jakarta, personel militer telah disiagakan sebanyak 8.700 orang. Biasanya paling banter 7.000 tentara. "Aparat tidak tega melakukan sesuatu. Kami tidak mungkin menghabisi mereka," kata seorang perwira tinggi di Markas Besar ABRI.
Sejak saat itu, rumor berkembang, ada dua kubu kuat di ABRI yang berhadap-hadapan: kubu Jenderal Wiranto di satu sisi dan Letjen Prabowo dkk. di sisi lain. "Mungkin karena ia (Prabowo) terlalu bersemangat dan masing-masing berada di jaringan yang berbeda. Prabowo besar di Kopassus, sedangkan Wiranto di tempat lain," kata seorang analis militer yang rajin mengamati karir kedua jenderal itu. Apalagi karir militer Prabowo, 47 tahun, begitu meroket. Prabowo adalah orang pertama di angkatannya, Akabri 1974, yang meraih bintang, tatkala dilantik sebagai Komandan Komando Pasukan Khusus (Kopassus), Desember 1995. Saat pasukan elite ini dimekarkan, 1996, ia naik pangkat menjadi mayor jenderal. Artinya, kurang dari setahun, ia naik pangkat dua kali.
Gejala retak makin kentara pada Sabtu, 16 Mei 1998. Saat itu, Pak Harto memerintahkan agar dibentuk lembaga Kopkamtib (komando operasi pemulihan keamanan dan ketertiban). Misinya jelas: mengamankan negara. Semua staf di Mabes ABRI serta di Departemen Pertahanan dan Keamanan langsung menggodok konsepnya--setelah diberi taklimat oleh Panglima ABRI Jenderal Wiranto. "Sedianya, Jenderal Wiranto ditunjuk sebagai panglimanya. Ia diberi kewenangan khusus untuk mengatasi keadaan," ujar seorang perwira tinggi. Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Subagjo menjadi wakilnya.
Departemen Hankam siap, Mabes ABRI pun siap. Menurut rencana, Senin, 18 Mei, Presiden akan mengumumkan badan khusus itu bersamaan dengan reshuffle kabinet dan dibentuknya komite reformasi. Tapi, entah mengapa, rencana itu dibatalkan. Bisik-bisik menyebut: terjadi kesalahpahaman di antara petinggi militer seputar lembaga pemulihan keamanan itu. Apalagi setelah Jenderal Subagjo menugasi sopirnya mencari lencana Hankam di lengan. Rumor pun bertiup: Subagjo bakal mengambil alih tapuk pimpinan, menggantikan Wiranto.
Padahal, di mata penguasa yang mulai terancam, dibentuknya lembaga khusus itu sangat dirasakan urgensinya--sebagaimana pola lama "orde baru". Puluhan ribu mahasiswa terus merangsek dan menduduki Gedung DPR. Amien Rais mulai mengumumkan MAR, atau Majelis Amanat Rakyat, untuk memimpin negara secara kolektif. Amien juga mengobarkan semangat long march dari Senayan menuju Monas, yang akan diikuti lautan massa, pada 20 Mei, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional. Toh, gagal. "Karena ada pertimbangan lain, akhirnya tak jadi dilaksanakan," kata sang perwira tinggi, yang turut mengonsep badan ini.
Batal dibentuknya Kopkamtib bukan berarti keretakan langsung pupus. Spekulasi seputar konflik antara Jenderal Wiranto dan Panglima Kostrad Letjen Prabowo Subianto juga menajam. Prabowo, mantan Komandan Jenderal Kopassus (ke-15), yang menantu Pak Harto, dikabarkan tak hadir dalam sejumlah acara penting yang digelar Wiranto. Senin, 18 Mei, misalnya, bertempat di Ruang Oerip Soemohardjo Departemen Hankam, Pangab Wiranto memimpin paparan Komando Pelaksana Operasi Jaya. Tapi Prabowo, selain tak hadir, tak juga mengirimkan wakilnya. "Waktu itu, Pak Wiranto terlihat marah kepada Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoedin," kata sumber TEMPO. Sjafrie, Pangdam Jaya, tergolong karib Letjen Prabowo.
Selasa, 19 Mei 1998, ABRI mulai ketar-ketir menghadapi momen gawat: rencana people power-nya Amien Rais yang digelar 20 Mei. Pengamanan Ibu Kota pun dilakukan berlapis-lapis. Ring paling dalam tentu saja kediaman Presiden di Cendana, Istana Negara, dan kawasan strategis lain. Yang terluar di seputar Semanggi. Ihwal pengamanan ini, rupanya, Wiranto tak sejalan dengan Prabowo--yang mengusulkan agar massa dibiarkan, tapi simbol kenegaraan tetap dijaga. Namun, Wiranto menginstruksikan: tak boleh ada satu pun orang mendekati Monas. Jika ada yang merangsek sampai masuk Istana, terpaksa ditembak. Maka, Monas pun dijaga ketat. Semua pasukan diturunkan. Dan, untunglah, tak ada gelombang massa yang menyasak Monas.
Perbedaan sikap ini tampaknya menyudutkan Prabowo dalam posisi "tak loyal" kepada kepala negara yang juga mertuanya itu. Putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo ini, terutama, dituding terlalu lunak membiarkan mahasiswa terus-menerus menduduki Gedung DPR/MPR. Ia mulai disambut dingin di antara Keluarga Cendana. Tak hanya itu. Di mata rakyat kebanyakan, Prabowo dianggap bertanggung jawab atas tragedi Trisaksi, trigger gelombang demo ribuan mahasiswa, yang menewaskan empat mahasiswa--meski ia membantah dengan bersumpah di atas Quran. Pemekaran Kopassus yang dirintisnya disinyalir seterunya sebagai pasukan elite untuk melakukan kudeta. Semuanya menggumpal pada sikap militer yang tak terlalu bersikukuh mempertahankan kekuasaan Soeharto.
Lalu, Pak Harto pun, setelah merasa digembosi di kanan-kiri, menyatakan mundur pada 21 Mei. Habibie menggantikannya. Kemelut perseteruan di tubuh ABRI terdengar kian hebat. Tak lama setelah itu, Prabowo diisukan menambah pasukan di sekitar Istana Negara. Puluhan tank dari Kostrad, Kopassus, dan pasukan antihuru-hara Kodam Jaya disiagakan melingkari Istana. Situasi dalam siaga-1. Suasana Ibu Kota betul-betul mencekam tengah malam itu.
Kudeta? Itulah gosip yang berembus. "Enggak benar itu. Kami hanya mengamankan, dan Istana merupakan lingkaran pertama," kata seorang perwira rekan dekat Prabowo. Yang jelas, saat itu, Presiden Habibie akhirnya memutuskan menginap di Wisma Negara, tak jadi pulang ke rumahnya di Patra Kuningan.
Esoknya, Jumat, 22 Mei, Prabowo dikabarkan hendak menemui Habibie di Istana. Ia dilucuti pistolnya--tapi dibantah rekannya--karena prosedur standar menghadap presiden harus tanpa senjata. Isu lain menyebut, Sintong Pandjaitan, "pengawal" Habibie, sempat menahannya. Kepada Habibie, Prabowo hendak menanyakan seputar ditariknya bendera Kostrad. Sebab, tak ada jawaban yang memuaskan dari KSAD Jenderal Subagjo seputar penarikan bendera itu. Apakah itu berarti pencopotan Prabowo sebagai Pangkostrad? "Betul. Dan itu adalah keinginan Soeharto," jawab Habibie saat itu.
Akhirnya, sore itu juga terjadilah pergantian penting di Mabes AD, Jakarta, yakni serah terima jabatan Pangkostrad dari Prabowo kepada seniornya, Mayjen Johny Lumintang. Acara dilangsungkan secara tertutup, tak boleh diliput wartawan, bahkan kru video Dinas Penerangan AD juga harus menunggu di luar. Tapi Johny hanya bertahan belasan jam. Ia digantikan Mayjen Djamari Chaniago, bekas Pangdam Siliwangi. Tak terlihat Prabowo dalam momen penting itu. Sejak saat itu, sejumlah panser dan kendaraan berat mulai ditarik dari pusat kota--hampir bersamaan dengan penggusuran ribuan mahasiswa di DPR.
Wahyu Muryadi, Setiyardi, dan Ahmad Fuadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo