Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Berita Tempo Plus

Fenomena Sang 'Ibu Negara'

Tien Soeharto membawakan "peran tradisional" sebagai ibu dengan cara dan hasil yang fenomenal, baik di dalam maupun di luar keluarganya. Juga di belakang panggung karir politik suaminya.

28 Desember 1998 | 00.00 WIB

Fenomena Sang 'Ibu Negara'
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Tidak terlalu mudah menentukan siapa yang lebih hebat di antara kedua figur ini: Soeharto ataukah Raden Ayu Siti Hartinah--nama gadis Tien Soeharto. Yang seorang: Presiden Republik Indonesia. Yang lain: ibu rumah tangga biasa. Yang seorang jenderal bintang lima. Yang lain menyebut dirinya "hanya istri tentara" dan kemudian "cuma istri pegawai negeri." Tapi dunia yang diciptakan keduanya selama 49 tahun membuat orang--mau tidak mau--mengakui betapa Tien Soeharto, perempuan bangsawan Mangkunegaran, mampu menyublimasikan kekuatan (power) ke dalam bentuk yang subtil, halus, dan indah, tanpa perlu kehilangan kedahsyatannya--sebuah daya yang, agaknya, tak tertandingi bahkan oleh suaminya sendiri.

Ketika Presiden Soeharto berjalan menunduk di samping peti jenazah Ibu Tien di Bandar Udara Adi Sumarmo, Solo, pada Minggu, 28 April 1996, orang bertanya-tanya: apa yang akan terjadi di masa depan setelah "kekuatan" wanita itu meninggalkan junjungannya? Akankah Pak Harto tetap menjadi presiden setelah pendampingnya berpulang? Pertanyaan ini boleh jadi terdengar berlebihan, tapi bukan tanpa alasan. Selain menjadi istri, ibu rumah tangga, dan ibu enam anak hasil perkawinan mereka, Tien Soeharto adalah confidante--orang kepercayaan utama--sang Presiden.

Hampir sepanjang hidupnya, Tien selalu menyempatkan waktu--bahkan di sela-sela kesibukan sebagai nyonya presiden--untuk membuatkan sambal, menggoreng tempe, atau memasakkan sayur lodeh kesukaan suami dan anak-anaknya. Ia telah menyatukan dirinya ke dalam peran ibu rumah tangga sejak pernikahannya dipestakan di bawah cahaya lilin--karena ada pemadaman sentral di masa perang--di rumah masa kanak-kanaknya di Solo, pada 26 Desember 1947. Peran tradisional--sebagai ibu--yang kemudian ia bawakan secara konsisten, memang, sangat berhasil.

Fenomena "Ibu Tien" tidak hanya terlihat selama ia mendampingi suaminya, tapi juga pada akhir hayatnya. Di hari meninggalnya, orang tidak hanya mendaraskan doa bagi jiwa yang pergi, tapi sibuk pula menyiapkan gelar "ibu ini dan itu" kepada almarhumah--walaupun banyak yang kemudian menyebutkan, segala penghormatan itu artifisial belaka karena posisinya sebagai first lady dari seorang presiden yang mahaberkuasa.

Lepas dari semua itu, siapa yang tidak mengenal Ibu Tien Soeharto? Dia praktis menjadi latar depan (foreground) dari segala kegiatan perempuan dan sosial di negeri ini. Setelah suaminya menjadi presiden, ia tidak serta-merta beranjak dari peran tradisionalnya sebagai ibu rumah tangga. Nilai-nilai keluarga begitu kuat dianutnya, sehingga konon ia meminta agar para menteri yang membantu suaminya juga menjalankan kehidupan rumah tangga yang bersih. Wanita ini pula yang secara tak langsung berada di belakang kelahiran UU Perkawinan 1974, yang menekankan pentingnya perkawinan monogami.

Dalam perannya sebagai nyonya presiden, Tien tidak muncul sebagai wanita modern yang asertif. Lebih sering ia berdiri tenang-tenang di belakang suaminya tanpa banyak kata. Namun, berbagai sumber menyebutkan, betapa Pak Harto mempercayakan segala rahasia dan pertimbangan kepada teman hidupnya ini. Keputusan-keputusan politik suaminya tidak lepas dari saran Bu Tien. Ia, misalnya, menjadi satu-satunya anggota keluarga yang meminta Pak Harto menimbang kembali niat mencalonkan diri dalam masa jabatan kelima dan keenam.

Tentu saja namanya tidak semata mengundang puja-puji. Pada 1971, ia didemonstrasi mahasiswa Jakarta karena membuat proyek Taman Mini Indonesia Indah dengan biaya Rp 10,5 miliar (nilai pada 1971). Ia juga dijuluki "Madam Ten Percent" karena konon mendapat jatah sekian persen dari setiap proyek konglomerat dan pengusaha yang gol. Di sisi lain, ia dipandang sebagai sosok filantropis yang aktif melakukan berbagai usaha kemanusiaan untuk rumah sakit dan yayasan sosial.

Selama 32 tahun mendampingi suaminya sebagai presiden, Tien Soeharto boleh dibilang berhasil menjalankan peran. Citranya sebagai ibu terpatri jauh melampaui batas-batas keluarganya. Duetnya dengan Soeharto juga mengingatkan orang pada teori psikolog Sigmund Freud tentang ego dan alter ego. Persoalannya, lagi-lagi, sulit menentukan siapakah sang ego dan alter ego dari kedua manusia ini.

Seluruh perjalanan hidup Tien Soeharto merefleksikan satu hal: ia berjuang keras untuk memenuhi peran tradisionalnya dengan sempurna. Sayang, usahanya berakhir dalam babak yang menyedihkan. Ini bukan soal Soeharto yang turun jabatan dan kemudian dihujat di mana-mana, tapi lebih pada nuansa "kegagalan" seorang perempuan yang begitu tinggi menjunjung (traditional) family values. Keserakahan anak-anaknya pada bisnis, kesempatan, dan kekuasaan seolah tak mencerminkan sentuhan tangan seorang perempuan yang membaktikan hampir seluruh tahun-tahun kehidupannya untuk menjadi ibu yang berhasil.

Hermien Y. Kleden; bahan dari berbagai sumber

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus