Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Berita Tempo Plus

Mantra dan Maskot Orde Baru

Orde Baru memunculkan istilah, jargon, ikon, dan maskot yang berbeda dengan Orde Lama. Dan beberapa milik Orde Baru itu dipertanyakan, digugat, dan dihapuskan, kini, di era Orde Reformasi. Berikut ini sebagian darinya.

28 Desember 1998 | 00.00 WIB

Mantra dan Maskot Orde Baru
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Pembangunan: Seperti kata "revolusi" pada Orde Lama, "pembangunan" mungkin adalah kata dalam bahasa Indonesia yang paling merasuk dan paling banyak digunakan sepanjang Orde Baru. Kabinet Soeharto, misalnya, dari lima tahun ke lima tahun, bernamakan Kabinet Pembangunan. Obsesi terhadap pembangunan (khususnya yang bersifat ekonomi dan fisik) telah mengesampingkan aspek-aspek politik dan sosial, yang akhirnya justru memakan sebagian sukses pembangunan Orde Baru.

Utang Luar Negeri: Rezim Orde Baru berhasil membalikkan "bencana ekonomi" di pengujung kekuasaan Bung Karno dengan pertumbuhan ekonomi yang mentereng--meski berkat utang luar negeri. Didukung oleh ahli-ahli dari Dana Moneter Internasional (IMF), yang masuk Indonesia sejak 1966, para pakar ekonomi Indonesia mengajukan anggaran (utang) senilai US$ 200 juta kepada Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI). Negeri ini tak pernah lepas dari beban utang luar negeri yang besar sejak saat itu.

Repelita: Pada 1969, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menyusun rencana pembangunan lima tahunan yang mematok Indonesia lepas landas menuju industrialisasi dalam kurun 25 tahun. Adalah sebagian karena ambisi ini, tampaknya, Soeharto tak pernah mau mundur. Pada 1997, dalam masa jabatan Soeharto yang keenam, Indonesia tidak lepas landas, tapi justru terpuruk dalam krisis ekonomi.

Jan Pronk: seorang menteri Negeri Belanda yang menjabat Ketua IGGI. Soeharto dan para jenderal seperti Benny Moerdani dibuat marah dan terluka karena tingkah lakunya. Dia keluar-masuk perkampungan kumuh dan berdialog dengan rakyat untuk memastikan bahwa bantuannya mencapai lapisan terbawah.

Soeharto "membubarkan" IGGI. Dan "kaum nasionalis yang anti-campur tangan asing" mendukungnya. Mereka lupa bahwa sejak IMF masuk ke sini pada 1966, lalu IGGI pada 1967, dan Bank Dunia pada 1968, "campur tangan" bukanlah urusan baru. Sejak awal Orde Baru, Indonesia sebenarnya telah kehilangan hak untuk melakukan perencanaan ekonominya sendiri.

Demokrasi Pancasila: Tidak banyak yang membedakan ini dengan "Demokrasi Terpimpin" pada era Bung Karno. Inilah demokrasi yang tidak mengakui adanya oposisi dan pemilahan kekuasaan agar terjadi check and balance. Ini pula jenis demokrasi yang memungkinkan presiden menjadi segalanya. Karena pembangunan adalah segalanya bagi presiden, mereka yang menentang berarti anti-Pancasila (sering dicap komunis di kiri atau Darul Islam di kanan). Konsep ini dilestarikan dengan penyakralan terhadap UUD 1945 dan Negara Kesatuan.

Pengkhianatan G30S/PKI: Inilah film arahan sutradara Arifin C. Noer dan dibintangi oleh, antara lain, Umar Kayam sebagai Bung Karno. Film ini diputar TVRI hampir setiap tahun pada 30 September. Pemerintah menginginkannya sebagai pengingat terhadap "bahaya laten PKI", dan tentu saja pengingat (di samping film Janur Kuning atau Serangan Fajar) untuk mensyukuri kepahlawanan Jenderal Soeharto.

Film tadi tak lagi diputar di layar TV setelah Soeharto turun. Dalam perkembangan menarik lainnya, di masa Kabinet Reformasi Habibie, para mantan anggota PKI dan anak keturunannya kini tak lagi harus memakai KTP dengan tanda yang berbeda seperti dulu.

Semar: tokoh punakawan dalam dunia wayang favorit Soeharto. Dalam dunia wayang, meski perannya hanya sebagai pembantu para ksatria, dia sebenarnya adalah titisan dewa, dengan penampilan yang sederhana dan kemurahannya akan senyum. Tak aneh, pada situasi krisis, Semar bisa melakukan sesuatu yang mustahil dilakukan bahkan oleh para ksatria.

Soeharto menamai salah satu yayasannya (yang kini diributkan) dengan Supersemar, yang diambil dari nama surat peralihan kekuasaan dari Soekarno (Surat Perintah 11 Maret), yangi bukti autentiknya misterius hingga kini.

Semar yang lain adalah Serangan Maret, yakni ketika pasukan di bawah komando Soeharto menyerbu markas Belanda untuk menunjukkan bahwa Republik masih eksis pada 1 Maret 1948.

Ibnu Sutowo: mantan Direktur Pertamina. Korupsi dan kolusinya, baik sendirian maupun bersama para jenderal termasuk Soeharto, telah begitu banyak disebut sejak 1970-an. Skandal Ahmad Tahir masih merupakan bagian dari kisruh Pertamina ini. Ibnu Sutowo tak pernah diadili dan belakangan justru menjadi Ketua Palang Merah Indonesia (PMI). Pertamina adalah perusahaan pertambangan negara yang semestinya kaya raya, tapi tetap merugi hingga sekarang.

Teknokrat Berkeley: sering pula disebut, oleh mereka yang tidak suka, dengan "Mafia Berkeley"--istilah yang muncul dari buku The Trojan Horse: A Radical Look at Foreign Aids (1974). Mereka adalah kumpulan ekonom yang sering disebut sebagai arsitek ekonomi Orde Baru. Mereka terdiri atas ekonom Universitas Indonesia yang berpendidikan Amerika seperti Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, Subroto, J.B. Sumarlin, dan M. Sadli. Pada 1967, Sumitro Djojohadikusumo (belakangan besan Soeharto) menyatukan mereka dengan Radius Prawiro dan Frans Seda (yang terakhir ini berpendidikan Belanda).

Pendidikan mereka di Berkeley, yang dibiayai antara lain oleh Ford Foundation, menurut seorang pengamat, tidak kebetulan. Pada saat yang sama, banyak perwira militer Indonesia juga dilatih di Fort Leavenworth, Amerika Serikat. Dua unsur itu--militer dan teknokrat--memang benar-benar menjadi kombinasi penting Orde Baru. Dan mereka dianggap berhasil melakukan stabilisasi ekonomi Indonesia, yang rusak di bawah Bung Karno. Belakangan, mereka dikecam antara lain karena kebijakan moneternya yang gagal: boom dan kebangkrutan bank, skandal BLBI dan KLBI, serta ketergantungan Indonesia pada modal asing.

B.J. Habibie: Kelompok Teknokrat Berkeley memiliki "musuh teroretis", yakni ekonom yang lebih sosialistis, seperti Bung Hatta serta Sarbini Somawinata di masa lalu dan Sritua Arief serta Adi Sasono belakangan. Namun, B.J. Habibie adalah "musuh praktis" mereka dalam rezim Soeharto. Dia datang dari kubu teknolog yang meyakini keampuhan teknologi dalam memberikan nilai tambah.

Para pendukungnya menilai dia sukses di bidang industri strategis yang dikepalainya--ketimbang kala industri itu dipegang oleh militer (Perindustrian Angkatan Darat, PAL, dan IPTN). Hubungannya dengan pemimpin-pemimpin Eropa, terutama Helmut Kohl di Jerman, juga diharapkan bisa mengimbangi kecenderungan Indonesia yang lebih ke Amerika. Para pengecamnya melihat dia sebagai orang yang "tidak tahu ekonomi" dan bahkan memboroskan uang negara untuk proyek-proyek mercu suarnya. Kini dia adalah Presiden Republik Indonesia.

Golkar: Inilah partai-negara (state-party) yang pertama di Indonesia. Konsep partai-negara hanya dikenal di negara komunis yang cuma mengenal satu partai, yakni partai komunis. Soeharto dan militer menilai bahwa Golkar adalah kendaraan yang efektif untuk menggalang dukungan massa terhadap kekuasaan militer.

Jadi, dukungan militer terhadap Golkar tidak baru sama sekali, tidak dimulai oleh Jenderal Hartono, yang menggemparkan pada 1990-an ketika mengenakan kemeja kuning. Pada September 1970, Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) Mayjen Sutopo Juwono berbicara di depan pimpinan Golkar, "Golkar kini memperoleh segala yang mungkin bisa diperoleh oleh sebuah partai pemerintah. Tambahan lagi memperoleh dukungan angkatan bersenjata. Apa lagi yang masih kurang?"

Tak aneh, terutama pada awal Orde Baru, partai bayi itu cepat berkibar sebagai mayoritas sendirian. Golkar tak hanya menang karena dukungan militer, tentu saja. Di kalangan terdidik, terutama di perkotaan, banyak orang yang mendukung kebijakan pembangunan ekonomi Orde Baru. Mereka memiliki ketidakpercayaan besar kepada "partai politik" seperti di masa Orde Lama (dan itu sebabnya kenapa Golkar tidak disebut partai.)

Namun, menurut seorang pengamat, kemenangan Golkar dari pemilu ke pemilu lebih merupakan "tujuan ketimbang permulaan". Itu sebabnya Golkar dengan cepat menjadi gagasan yang "tidak punya arah". Dari agen "stabilitas yang dinamis", Golkar segera tergelincir menjadi pemeran pasif yang sekadar memujikan pemerintah dan birokrasi--dan Soeharto. Sedikit sekali sumbangannya dalam perdebatan tajam tentang arah negeri ini secara ekonomi ataupun politik.

Setelah Soeharto turun, Golkar kini resmi disebut partai, sementara beberapa tokohnya menyeberang membentuk partai baru. Dan dalam pemilu nanti, Golkar akan punya banyak pesaing, puluhan partai baru.

Liem Sioe Liong: Lahir dari keluarga miskin di Futsing, Fukien, Cina, dia datang kepada keluarganya di Kudus, Jawa Tengah, pada 1938, tanpa uang dan buta huruf. Empat dan lima dasawarsa kemudian, dia adalah salah satu pengusaha Indonesia terkaya.

Liem (atau Sudono Salim) adalah contoh klasik aliansi bisnis Cina-ABRI, di samping Bob Hasan tentu saja. Pada masa revolusi kemerdekaan, dia ikut menyelundupkan senjata untuk pasukan Indonesia (lewat Singapura), di samping menyelundupkan cengkeh dari Manado menuju Kudus. Dia berkenalan dengan Soeharto dan perwira lain pada 1950-an serta sepakat membuat bisnis bersama. Ikatan mereka menjadi kian nyata pada masa Orde Baru. Selebihnya adalah sejarah.

Liem mulai mengalihkan markasnya ke luar negeri setelah Soeharto turun, belakangan, setelah begitu kuat pilar bisnisnya.

Kirab Remaja Nasional: parade keliling pemuda Indonesia yang diselenggarakan dua tahun sekali oleh Yayasan Tiara Indonesia pimpinan Siti Hardijanti Rukmana (Tutut) sejak 1989. KRN ke-4, pada 1995, mencatat sukses besar: diikuti 1.300 remaja, termasuk tamu dari 23 negara lain. Mereka menjelajahi desa-desa Indonesia: menyalurkan air bersih, memperbaiki rumah desa, membersihkan rumah ibadah, menanam pohon, serta membersihkan makam, di samping mengadakan diskusi dan pertunjukan seni.

Ini merupakan salah satu saluran "sosial dan politik" yang penting bagi Tutut, setelah dia berkibar di bisnis. Ini mengantarkannya menjadi salah satu politisi Golkar yang terkemuka pada Sidang Umum MPR 1998. Dia terpilih menjadi anggota Kabinet Pembangunan VII, meski hanya sebentar.

Farid Gaban

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus