Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kontroversi band Coldplay.
Aktif mendukung gerakan kemanusiaan, lingkungan, dan hak asasi manusia.
Mendapat penolakan karena isu dukungan terhadap keberagaman gender.
VOKALIS Coldplay, Chris Martin, membuat heboh warganet Tanah Air sehari sebelum konsernya pada Rabu, 15 November lalu. Melalui akun media sosialnya, grup musik asal Inggris itu membagikan dua foto Martin dan Phil Harvey, manajer band tersebut. Martin tampak santai berjalan nyeker di sekitar Jalan Galunggung, kawasan Setiabudi, hingga Sudirman. Kaus abu-abunya yang terlihat buluk basah oleh keringat. Dalam foto kedua, Martin dan Harvey tampak nyengir tersenyum dengan latar kemacetan lalu lintas di salah satu ruas jalan di kawasan Karet. "Epic Walk in Jakarta", begitu keterangan pada unggahan foto tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski ada protes dan ancaman dari kelompok konservatif garis keras yang menolak band pendukung keberagaman gender tersebut, nyatanya Martin tampak melenggang di jalan-jalan Ibu Kota. Malam sebelumnya, grup ini mendarat mulus dengan jet pribadi mereka di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, tanpa ada gangguan dari kelompok penolak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa hari sebelumnya, kelompok Persaudaraan Alumni 212 dan sejumlah elemen masyarakat yang menamakan diri Gerakan Nasional Anti Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender alias Geranati LGBT menggelar demonstrasi menolak kedatangan dan konser Coldplay. Mereka mengancam akan menghadang Chris Martin dan kawan-kawan di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Mereka juga mengancam akan mengepung hotel tempat band itu menginap dan membakar panggung konser. Kelompok penolak ini berkoar-koar menolak Coldplay yang dinilai mempropagandakan gerakan LGBT sejak Mei lalu.
Beberapa jam sebelum konser, mereka kembali menggelar demonstrasi penolakan di sejumlah tempat, yakni depan Kedutaan Besar Inggris, kawasan Patung Kuda, serta kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, sebelum bergeser ke kawasan Senayan. Aksi mereka memacetkan lalu lintas menuju kompleks Gelora Bung Karno, tapi bisa dihalau petugas.
Bukan hanya di Indonesia, kontroversi juga berlangsung di Malaysia. Politikus Partai Islam Se-Malaysia, Nasrudin Hassan, menyerukan penolakan atau pembatalan konser Coldplay. Pengurus Majlis Ulama Ikatan Muslimin Malaysia, Zamri Hashim, juga menentang konser Coldplay. Selain menyinggung isu LGBT, dia menilai konser ini tak elok karena berlangsung ketika krisis konflik Israel-Palestina di Gaza memuncak.
Penolakan mereka mendapat tanggapan dari Timbalan Presiden Gabungan Persatuan Muzik Malaysia, Ayob Abd. Majid. Menurut dia, isu seputar Coldplay ini dipolitisasi. Pembatalan konser akan merugikan berbagai pihak. Politikus lain, Ketua Partai Aksi Demokratik (DAP) Shah Alam di Selangor, Shakir Ameer, menyebut pernyataan Nasrudin tidak masuk akal dan hanya mengejar publikasi. Dia mengatakan pergelaran konser Coldplay ini merupakan peluang ekonomi bagi Malaysia. Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim juga menyambut mereka melalui unggahan di akun X-nya. “Coldplay, selamat datang ke Malaysia. Mari kita bekerja sama, menjaga lingkungan dan menjaga dunia tetap aman,” kata Anwar dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) lalu.
Chris Martin menanggapi penolakan terhadap kelompoknya dengan diplomatis. Martin mengaku mendapatkan sambutan hangat ketika bertemu dengan penggemarnya di Malaysia. "Setiap kali saya berjumpa dengan orang Malaysia, saya merasakan cinta dan kehangatan. Semua orang dipersilakan mengikuti acara kami. Kami mencintai semua orang, semua jenis orang, semua agama,” ucapnya. Ia juga mengatakan personel Coldplay lain sangat terbuka terhadap berbagai pendapat. Ia pun meminta maaf jika ada pihak yang terganggu oleh rencana konser Coldplay di Malaysia.
Band peraih tujuh penghargaan Grammy ini memang aktif mengadvokasi beragam isu. Dalam hal lingkungan, misalnya, Coldpay selalu mengupayakan pergelaran tur konser hijau yang minim sampah dan menggunakan sarana transportasi publik. Bahkan Martin bersama kelompoknya mengupayakan produksi energi hijau dari mobilitas para penonton.
Kapal pembersih sampah Neon Moon II yang disumbangkan Coldplay untuk membersihkan Sungai Cisadane. Twitter @oceancleanup
Coldplay pun aktif mengkampanyekan urusan pangan, kemanusiaan, dan hak asasi manusia. Mereka menyumbangkan setidaknya 10 persen dari pendapatan konser ke berbagai lembaga dan badan amal, termasuk Amnesty International, Make Poverty History, dan Oxfam, untuk menunjukkan komitmen mereka dalam menciptakan dampak yang positif di seluruh dunia.
Dalam konser, kelompok ini menyerukan dukungan terhadap kemanusiaan dan mengirimkan cinta kepada semua orang. Di video YouTube, ketika menggelar konser di Jepang dan Indonesia, misalnya, Martin menyerukan perdamaian. Saat tampil di Jepang, ia menyebutkan sejumlah konflik perang terjadi di berbagai belahan dunia. Ia pun menyinggung soal Gaza dan Israel, tapi tidak secara spesifik menyebutkan kata "Palestina".
Saat tampil di Jakarta, Martin menyerukan hal yang hampir sama. “Kami tidak percaya pada terorisme, atau penindasan, pendudukan, apartheid, hal-hal tersebut,” ujarnya. Ia juga berseru kepada penonton agar menyebarkan cinta kepada siapa pun serta melaungkan kebebasan dan kerja sama di antara manusia. “Kami percaya bahwa kita harus bebas menjadi diri sendiri. Kita berkolaborasi meskipun kita tidak mungkin selalu sepakat,” tuturnya.
Dewi Laylasari, yang menonton konser Coldplay di Jakarta bersama temannya, menyebutkan sang vokalis seingatnya tidak menyebutkan ihwal perang di Gaza. Tapi Martin mengajak penonton berempati terhadap situasi dunia yang sedang tidak baik-baik saja. “Tidak menyebutkan seingatku. Enggak menyebutkan perang Gaza, tapi situasi di Timur Tengah, juga soal terorisme,” ujarnya. Dewi mengaku terkejut karena di awal konser terdapat pariwara dari sebuah perusahaan jasa pengiriman yang memakai warna-warna bendera Palestina. “Agak surprised, sih. Berani untuk brand sebesar itu dan di konser Coldplay, di mana ada pro-kontra soal perang Gaza di sini,” ucapnya.
Pada 2011, Coldplay menyatakan dukungan bagi Palestina melalui laman Facebook dengan mengajak pengikut mereka mendengarkan lagu "Freedom for Palestina" yang diinisiasi gerakan One World. The Washington Post menuliskan bahwa dukungan itu diprotes penggemarnya yang pro-Israel. Pada 2017, Coldplay mengunjungi Palestina dan berkolaborasi dengan band lokal bernama Le Trio Joubran. Kolaborasi Coldplay-Le Trio Joubran menghasilkan sebuah lagu berjudul "Arabesque".
Setelah mempromosikan album Everyday Life (2019), Coldplay tampil dalam sebuah pertunjukan di The Citadel, Amman, Yordania. Di tengah penampilan, sesaat sebelum menyanyikan "Something Just Like This", Martin menegaskan bahwa Coldplay mendukung perdamaian. “Saya percaya bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama untuk pergi ke mana pun di dunia, dan itulah yang kami perjuangkan. Kami tidak setuju terhadap penindasan dalam bentuk apa pun dan kami mendukung cinta, perdamaian, serta persaudaraan,” tuturnya pada 25 November 2019 seperti dikutip NME.com.
Dalam konser Rabu malam lalu itu, Martin mengingatkan pentingnya berbagi cinta kepada semua orang. “Karena campaign dalam konsernya sendiri kan 'everyone can be alien somewhere'. Menurutku, mereka ingin mengajak orang berefleksi ketika menjadi orang lain yang menjadi kelompok minoritas,” ujar Dewi, yang juga mantan jurnalis.
Dalam beberapa konser bersama, grup ini mendukung keberadaan kelompok minoritas dan keberagaman gender—isu yang menjadi pokok penolakan kelompok konservatif. Heni Widiastuti, salah seorang penonton, tak mempersoalkan kontroversi tersebut. Sempat dilingkupi kekhawatiran akan adanya gerakan massa, ia yakin konser tetap berlangsung. Ia sangat menikmati konser malam itu setelah berkali-kali mengikuti "perang tiket", bahkan hingga berburu tiket konser di Bangkok. “Cari tiketnya saja susah, sampai banyak calo dan yang tertipu. Konsernya keren,” katanya kepada Tempo.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Bahan artikel ini diambil dari web Malaysia Kini, Utusan, National News, dan Hitz. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Suara Kemanusiaan Chris Martin"