Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BARISAN kursi penonton di bagian tengah ruang Aula Barat Institut Teknologi Bandung terlihat penuh, terutama di bagian depan. Di tengah suasana yang temaram, sorot lampu dari berbagai sisi hanya menerangi panggung. “Sir Duke”, tembang yang diciptakan dan dinyanyikan Stevie Wonder, mengawali konser di panggung itu. Lagu yang dirilis pada 1976 ini terdengar lebih lambat dari versi aslinya, menjadi lebih nge-jazz.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tembang kedua yang dibawakan kelompok musik mahasiswa ITB itu adalah “Cheek to Cheek”. Tembang lawas pengiring dansa dalam film Top Hat pada 1935 itu diaransemen ulang dengan musik jazz yang menonjolkan kualitas suara penyanyi, permainan pianis, dan tiupan pemain saksofon. Setelah memainkan “I Wish You Love”, yang aslinya dinyanyikan Natalie Cole, mereka menjadikan lagu “Don’t You Worry ‘bout a Thing” karya Stevie Wonder sebagai tembang pamungkas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Giliran Salamander Big Band yang memenuhi ruang panggung. Konduktor Devy Ferdianto mengajak 24 musikusnya menyuguhkan lagu instrumental “Winter Games” dengan corak jazz. Selanjutnya, mereka mengiringi Nenden Shintawati, vokalis difabel netra bersuara merdu dan jernih, menyanyikan tembang “People” yang dikenalkan Barbra Streisand di panggung musikal Broadway pada 1964. Adapun Amalia Ramdhan mendendangkan “If You Never Fall in Love with Me”.
Penampilan dari Salamander big band di panggung Jazz Aula Barat #7 Tribute to Arifin Panigoro di ITB, Bandung, Jawa Barat, 11 November 2023. Tempo/Prima mulia
Konser Jazz Aula Barat edisi ketujuh pada Jumat malam, 10 November lalu, itu menampilkan sederet musikus dan penyanyi jazz papan atas. Di antaranya pemain bass Yance Manusama dan Jeffry Tahalele, drummer Cendy Luntungan, serta gitaris Oele Pattiselanno yang berusia 77 tahun. Kemudian di lapisan umur bawahnya ada pianis Imelda Rosalin dan vokalis Gail Satiawaki. Yang lebih muda, ada biduan Natasya Elvira yang berusia 20-an tahun yang malam itu menyanyikan “Come Fly with Me” serta “The Look of Love”. Adapun musikus jazz termuda di antara mereka adalah Mahanada Putra Yapari, cucu Jeffry Tahalele, yang berusia 14 tahun.
Tema khusus "Tribute to Arifin Panigoro" yang disematkan pada konser itu bertujuan menghormati jasa dan kontribusi Arifin Panigoro di ranah musik jazz Indonesia. Sebagai penggemar musik jazz, politikus dan pengusaha yang wafat pada 28 Februari 2022 di Amerika Serikat itu dikenal komunitas jazz sebagai sosok yang ringan tangan untuk berbagai cara. Misalnya, pendiri Medco Energy ini menggelar dan turut membiayai acara musik serta kelompok atau musikus jazz. “Juga memberikan pekerjaan atau bantuan langsung ke musisi jazz yang sakit,” kata Imelda Rosalin, kurator Jazz Aula Barat, Selasa, 7 November lalu.
Adapun Margie Segers, 73 tahun, diganjar Lifetime Achievement Jazz Aula Barat Award. Penyanyi bernama asli Margaretta Gerttruda Maria yang lahir di Cimahi, Jawa Barat, pada 16 Agustus 1950 itu sewaktu kecil dibawa orang tuanya yang asal Belgia dan Ambon tinggal di Belanda. Di sana, ia belajar menyanyi jazz dari rekaman penyanyi jazz dunia seperti Ella Fitzgerald dan Shirley Bassey. Guru lain yang berada di Indonesia antara lain musikus Bubi Chen, Jack Lesmana, dan Mang Udel. Pada awal 1970-an, Margie tampil berduet dengan saudaranya dan sering membawakan lagu blues.
Setelah menerima penghargaan, Margie, yang tampil dengan kostum serba putih, menyanyikan beberapa lagu, seperti “Siapa Bisa Bilang”, “Lincah Nian”, “Let it Be”, “Stand by Me”, dan “Route 66”. Bintang tamu lain, Mus Mujiono, membuka penampilannya dengan membawakan lagu George Benson yang berjudul “Beyond the Sea” serta “On Broadway”.
Musikus yang telah berkarier selama 50 tahun itu mengajak kembali Yance Manusama, Cendy Luntungan, dan Oele Pattiselanno ke panggung untuk bermain bareng. Setelah membawakan lagu “Arti Kehidupan”, Mus Mujiono memanaskan malam lewat tembang “Tanda-tanda”. Konser yang berlangsung selama hampir empat jam sejak pukul 19.00 itu ditutup oleh Margie Segers yang kembali hadir di panggung untuk menyanyikan tembang Norah Jones, “Don’t Know Why”.
Jazz Aula Barat dirancang dan diproduksi bersama oleh Forum Alumni ITB Angkatan 1973 atau Fortuga yang kini berumur 50 tahun. “Yang kami ajak tentu yang dekat sama Pak Arifin, sahabat-sahabatnya, terutama para jazzer senior,” tutur Imelda Rosalin. Jumlah penonton, dia menambahkan, sesuai dengan kapasitas gedung yang sebanyak 500 orang. Harga tiketnya Rp 200 ribu. Adapun tiket untuk pelajar atau mahasiswa dihargai Rp 50 ribu.
Konser Jazz Aula Barat sudah berjalan selama sepuluh tahun sejak 2013. Penggagasnya adalah mendiang Riza Arshad, lulusan seni rupa ITB angkatan 1981 yang menjadi musikus jazz dan bergabung dengan grup simakDialog. Program konser berjalan dengan melibatkan berbagai pihak, seperti pemusik jazz alumnus ITB, unit kegiatan mahasiswa ITBJazz, dan komunitas pencinta musik jazz, terutama di Bandung dan Jakarta. Konser ini juga didukung perusahaan swasta.
Konsep acaranya menjadikan Aula Barat ITB semacam rumah bagi gagasan kreatif musik yang tidak sekadar menghibur, tapi juga membawa pencerahan intelektual. Konser Jazz Aula Barat perdana pada 2013 menampilkan Riza Arshad bersama Aksan Sjuman dan Yance Manusama yang tergabung dalam kelompok #3scapes. Kemudian pada 2014 ada grup simakDialog. Setahun berikutnya, Riza berkolaborasi dengan Merry Kasiman Big Band serta Gerald Situmorang dan kawan-kawan.
Penampilan Salamander big band di panggung Jazz Aula Barat #7 Tribute to Arifin Panigoro di ITB, Bandung, Jawa Barat, 11 November 2023. Tempo/Prima mulia
Sepeninggal Riza, yang wafat pada 13 Januari 2017, penyelenggaraan konser dilanjutkan Imelda. Pada tahun itu, panitia menghadirkan konser Nita Aartsen Quatro. Adapun pada 2018 panggung diisi oleh Imelda, Salamander Big Band, dan Yura Yunita. Lalu Imelda dan Salamander berkolaborasi dengan Tompi, Syaharani, Idang Rasjidi, dan Natasya Elvira pada 2019. Saat itu Jazz Aula Barat untuk pertama kalinya memberikan penghargaan. “Kepada tiga penyiar radio di Bandung,” ucap Imelda.
Yongki Nusantara alias Oom Yong dan mitranya di udara saat membawakan program musik jazz di Radio Mara, Bana Kartasasmita, yang juga mantan guru besar matematika ITB, adalah penerima penghargaan itu. Seorang lagi adalah Nazar Noe’man dari Radio KLCBS. Mereka dianggap berjasa mendukung pengembangan musik jazz di Indonesia. Konser tahunan itu lantas vakum selama tiga tahun seiring dengan merebaknya pandemi Covid-19.
Dalam konser tahun ini, hadir pula tokoh seperti Hatta Rajasa dan Nyoman Nuarta. Mereka memberikan kesaksian tentang Arifin. Hatta, yang mengaku sebagai anak buah Arifin di Medco Energi pada masa-masa awal, menilai pengusaha itu memiliki tingkat kepedulian yang tinggi. Adapun seniman Nyoman Nuarta bercerita bahwa ia pernah merasakan bantuan Arifin yang menyokong biaya berpameran. Salah satunya sekitar 40 tahun lalu, ketika ia menggelar pameran di Australia. Kenangan serupa disampaikan Aswin Sani, alumnus seni rupa ITB angkatan 1962. Aswin berkisah, Pipin, panggilan akrabnya untuk Arifin, kerap membantu mewujudkan keinginannya. “Arifin akan selalu ada di hati kita,” ujarnya di panggung, lalu disambut tepuk tangan hadirin.
Arifin Panigoro, yang mendapat gelar doktor kehormatan dari ITB pada 2010, lahir di Bandung, 14 Maret 1945, dari pasangan Yusuf Panigoro dan Suhana yang merantau dari Gorontalo. Dia lulusan S-1 teknik elektro ITB pada 1973. Pendiri dan pemilik Medco Energi itu mengembangkan perusahan pertambangan minyak dan gas bumi hingga menjadi yang terbesar sampai-sampai dijuluki “Raja Minyak Indonesia”. Di sela konser, panitia memberikan penghargaan Jazz Aula Barat kepadanya. Hatta Rajasa menghaturkan penghargaan itu, yang diterima Yani Panigoro, adik Arifin.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jazz Bandung, Tribut bagi Arifin Panigoro"