Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Puisi, Bukan Propaganda Cinta

12 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya merasa tercerabut,” katanya. Ia, Ramsey Nasr, pemuda 31 tahun, berambut keriting, tapi sama sekali tak berbahasa Arab. Ayahnya orang Palestina, ia baru mengetahui itu satu dasawarsa terakhir. Kepada Tempo, ia mengisahkan betapa terasingnya ia dalam muhibah pertamanya ke Palestina, musim panas 1997.

Nasr memang memiliki segalanya yang berbau Belanda. Ibunya orang Belanda, dibesarkan di Belanda, dan ia merasa sebagai orang Belanda. Kini ia punya gambaran tentang kampung halaman ayahnya, tentang saudara-saudaranya yang dilukiskannya sebagai ”tertindas, menderita, tapi sekaligus begitu baik”.

Dalam International Literary Biennale 2005, Nasr, penyair yang sekarang mukim di Belgia, membacakan karya-karyanya—sajak-sajak yang tidak berbicara tentang tanah Palestina. Ia berbicara tentang cinta. Dalam salah satu puisinya, True Lover, ia nyatakan: ”...pencinta sejati mengaku tidak ada perbedaan antara bunga leli dan bom hidrogen.”

Puisi Nasr menganut tradisi lama seperti The Tachtigers, dewa puisi bunyi, kelompok penyair Belanda pada 1880. Buku puisi pertamanya, 27 Poems & No Songs, terbit pada 2000. Tahun lalu, lahir buku puisi kedua dan kini ia mempersiapkan novel. Baru-baru ini ia ditunjuk oleh Pemerintah Kota Antwerpen sebagai warga kehormatan yang selama setahun menulis puisi tentang kota dan penduduknya, juga menulis novel pendek, skenario, menyutradarai opera serta menjadi aktor.

Dalam Biennale ia menunjukkan minat melimpah tentang bermacam masalah sosial-politik, termasuk Aceh dan Afrika Selatan. Berikut petikan wawancara Tempo dengan Ramsey Nasr.

Bagaimana Anda mendeskripsikan diri sebagai keturunan Palestina-Belanda?

Karakter dan pribadi saya adalah seniman dalam pengasingan. Awalnya saya hanya tahu satu sisi, Belanda dari garis ibu. Saya tidak pernah tahu mengenai Arab, tak ketemu dengan keluarga besar ayah saya di Palestina. Saya tidak menghadapi masalah integrasi. Saya merasa sebagai orang Belanda. Namun, setelah saya sekolah seni dan teater, saya belajar sejarah Palestina. Saya sangat terharu dan sedih karena saya tidak tahu yang sebenarnya terjadi.

Apa yang Anda rasakan setelah sadar sebagai setengah Palestina?

Ketika saya dan ayah pergi ke Palestina pada 1997, lalu bolak-balik sampai empat kali, mulanya saya merasa kehilangan sebagian dari jiwa, mulai terasa siapa saya sebenarnya. Memang menjadi sulit setelah saya bertemu keluarga saya di sana. Ketika pulang saya terbayang dan terkenang wajah mereka dan saya membayangkan kondisi buruk politik di Palestina.

Apakah merasa bersalah dengan keadaan saudara-saudara Anda di Palestina?

Saya merasa bersalah karena mereka di sana dan saya di negara Barat. Ada duka mendalam. Namun, sejak tahun lalu saya merasa senang sebagai orang pengasingan. Saya merasa diperkaya dengan kondisi seperti ini. Dan saya merasa beruntung menjadi pribadi terbelah. Ini menyenangkan. Saya bisa melihat orang Belanda dan Palestina dengan berjarak. Palestina dengan konfliknya dan Belanda dengan ciri khasnya yang menganut kebebasan.

Apa tema dominan karya Anda?

Saya menulis tidak dengan tema, karena menulis adalah kreativitas berbahasa. Saya menulis puisi cinta, tapi bukan propaganda cinta.

Mengapa puisi Anda kebanyakan tentang cinta?

Saya tidak hindari itu. Tapi puisi cinta bisa jadi puisi politik, tergantung penafsiran pembacanya. Saya tak berhak memutuskan karya itu tentang apa. Pembacalah yang paling tahu.

Evieta Fadjar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus