Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka berbicara tentang rekonsiliasi. Ada kesaksian Azhari, penyair yang berasal dari Lamjamee, Banda Aceh, yang dulu kuliah di Jurusan Sastra dan Bahasa Indonesia, Universitas Syiah Kuala. Ya, kesaksian generasi muda yang mengaku tak pernah mendapat informasi jelas tentang dua hal penting tapi sensitif waktu itu: DOM (Daerah Operasi Militer) dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka).
Inilah salah satu mata acara International Literature Biennale 2005 yang berakhir 3 September lalu di Teater Utan Kayu, Jakarta. Ya, ada jarak sangat lebar antara Azhari, 24 tahun, dan konflik serta pelanggaran hak asasi yang berakhir pada 1989 itu. Ada juga keterangan Antjie Krog, wartawan dan penyair Afrika Selatan yang punya pengalaman mengikuti proses Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi setelah penghapusan apartheid di negeri itu. Antjie Krog merekam itu dalam novel pendeknya, Country of My Skull.
Country of My Skull bercerita tentang adat kulit hitam Afrika yang terbukti amat menyokong rekonsiliasi. Pembunuhan adalah penghilangan kemanusiaan dan masyarakat Afrika percaya, maaf adalah satu-satunya jalan untuk mengembalikannya. Soalnya, hukuman mati hanya akan menghilangkan kesempatan bagi ibu si korban untuk mendapatkan kembali kemanusiaan yang lepas itu. Antjie mengakui, model ini tidak dikenal dalam tradisi Kristen, dan ia telah menyaksikan penerapan pola ini sejak proses rekonsiliasi dimulai, 1995.
Memang, dunia awal abad ke-21 adalah dunia yang penuh konflik. International Literature Biennale 2005 mengajukan sejumlah ”nilai universal” para penyair: kebersamaan, rekonsiliasi, menjadi manusia, maaf, cinta. ”Dalam sastra ada sebuah harapan akan persahabatan antarmanusia lintas ideologi, agama, dan bangsa,” kata Sitok Srengenge, direktur International Literary Biennale 2005.
Mereka, para penyair, sastrawan, mendekati konflik dan perbedaan dengan caranya sendiri. Penyair Jan Cornall dari Australia membawakan puisi dengan berdendang. Yang menarik, sajak terakhir disebutnya sebagai puisi tentang persahabatan antara benci dan rindu hubungan Indonesia dan Australia. ”Kaulah mimpi erotisku... Kau juga mimpi burukku...” dendang Cornall yang diakhiri dengan bunyi dengung seperti bunyi sirene setelah bom di Bali dan di depan Kedubes Australia, Jakarta, ”Nguing, nguing, nguing….”
Ramsey Nasr, penyair blasteran Palestina-Belanda, merasakan keterbelahan dirinya yang bukan Palestina, bukan pula Belanda, kendati ia hanya membacakan puisinya yang kritis terhadap otoritarianisme dan komunisme.
Robert Olen Butler, sastrawan Amerika Serikat, 60 tahun, pernah dianugerahi Pulitzer, mengingatkan bahwa keriuhan dan pertikaian sekarang ini sangat fana, tiada guna. Hal itu akan sangat terasa jika manusia sudah di ambang kematian. 60 detik sebelum mati, ada kesadaran luar biasa di kepala manusia. Ia bisa melihat apa pun, yang dibanggakan atau disesalkan. Butler menceritakan pengalaman ke gerbang maut itu dengan bercanda: tentang isi kepala orang-orang menjelang hukum penggal. Ia sendiri meramalkan kematiannya pada 2008 akibat kecelakaan di elevator seraya menceritakan apa kiranya yang dipikirkan saat itu.
International Literary Biennale 2005, sebagai kelanjutan dari Poetry Festival (2001) dan International Literary Festival (2003), akan bersambung. Paling tidak, di sana dibacakan cerita pendek karya penyair-sutradara teater Gunawan Maryanto. Dalam Cerita yang Tidak Berakhir dalam Sebuah Botol, ia menggambarkan betapa orang-orang yang kalah dimasukkan ke dalam botol. ”Cerita pendek ini seharusnya berakhir dalam sebuah botol.… tapi ada bagian dari diri saya yang tak mau menderita kekalahan lagi….” Ya, seharusnya tidak ada yang menderita kekalahan lagi.
Utami Widowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo