Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERJUN bebas rupiah kembali terulang selama dua hari, awal pekan lalu. Padahal, dolar juga sedang lemas di berbagai pasar uang dunia akibat amukan topan Katrina. Baru pada pertengahan pekan lalu peruntungan rupiah berbalik, didongkrak kenaikan suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi 10 persen.
Artinya, ada kenaikan 49 basis poin dari lelang pekan sebelumnya. Dengan kenaikan terakhir, berarti suku bunga SBI telah bertambah 268 poin selama 15 bulan terakhir, lebih tinggi 18 poin dibandingkan dengan kenaikan suku bunga Federal Funds. ”BI telah berupaya membuat rupiah lebih menarik,” kata Fauzi Ichsan, ekonom Standard Chartered.
Kenaikan bunga hanya satu dari sekian kebijakan kontraksi yang dirancang BI. Untuk memperkuat rupiah, BI berupaya menyedot sebanyak-banyaknya likuiditas yang menggenang di perbankan. Jika uang yang menganggur di sistem perbankan berkurang, amunisi yang bisa dimainkan para pemain valas untuk mengangkat dolar akan terbatas.
Jika diukur dari rata-rata penempatan dana perbankan di berbagai instrumen pasar uang, semacam SBI, uang yang idle itu diperkirakan lebih dari Rp 20 triliun. Kebijakan kontraksi terbaru, yang berlaku Kamis kemarin, adalah BI mengharuskan tiap bank meningkatkan dana simpanan mereka di bank sentral—biasa disebut giro wajib minimum (GWM).
Besaran GWM yang semula harus dipenuhi bank adalah lima persen dari jumlah dana masyarakat yang mereka kelola. Tambahan GWM itu diukur berdasarkan persentase terhadap dana pihak ketiga, serta persentase rasio penyaluran kredit terhadap dana pihak ketiga.
Jika saldo dana pihak ketiga bank semakin besar, GWM yang harus ditanggung bank juga membesar. Tambahan GWM yang diukur berdasarkan dana pihak ketiga ini hanya menyasar bank-bank yang memiliki dana pihak ketiga di atas Rp 1 triliun. Besar tambahan kenaikan GWM yang diukur dengan dana pihak ketiga ini berkisar satu hingga tiga persen.
Tambahan GWM bank juga akan dihitung berdasarkan rasio LDR yang dimiliki bank. Hanya bank yang memiliki rasio LDR di atas 90 persen yang lolos dari tambahan GWM jenis ini. Jika melihat data perbankan nasional, bisa dipastikan tak akan ada bank yang lolos dari kewajiban menambah GWM berdasarkan rasio LDR.
Rata-rata rasio LDR bank di Indonesia 56 persen. Bank yang rasio LDR-nya di bawah 90 persen akan terkena tambahan GWM antara 1 persen dan 5 persen. Untuk bank yang memiliki dana pihak ketiga dalam bilangan ratusan triliun rupiah, seperti Bank Mandiri atau BCA, menambah GWM sebesar satu persen berarti menyisihkan ekstra-likuiditas paling tidak Rp 1 triliun.
Sejumlah bank pun mengatur ulang belanja likuiditasnya, seperti BCA. ”Kami akan menunda pembelian surat utang negara,” ujar Jahja Setiatmadja, Direktur BCA. Bank yang kini dikuasai kelompok investasi Farallon itu biasa berbelanja Rp 300 miliar setiap ada penerbitan surat utang baru. Tapi dengan aturan baru tentang GWM, BCA mendahulukan penggunaan likuiditasnya untuk memenuhi GWM.
Kiat mengirit likuiditas itu tak hanya dipakai BCA. Sumber Tempo yang bermain di pasar uang mengakui, tak banyak uang yang ditawarkan oleh bank menjelang Kamis, waktu pemberlakuan GWM baru. ”Aturan GWM ditargetkan dapat menyerap kelebihan dana di perbankan Rp 25 triliun hingga Rp 26 triliun,” ujar Muliaman Hadad, Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI.
Tak cukup dengan GWM dan suku bunga, BI berupaya menyedot likuiditas dengan memutakhirkan aturan main tentang posisi devisa neto. Sejak awal Oktober besok, bank harus menyeimbangkan aktiva dan pasiva berdenominasi dolar sepanjang hari. Sebelumnya, PDN hanya diharuskan seimbang pada tengah hari dan penutupan pasar.
”Kebijakan ini menutup peluang para dealer untuk bermain valuta asing di tengah hari,” ujar Sugiharto, Senior Vice President Treasury Group Bank Mandiri. Celah lain untuk menggoyang nilai rupiah yang ditutup BI adalah perdagangan margin di dalam negeri.
Fasilitas perdagangan margin biasanya diberikan oleh bank satu paket dengan layanan pengelolaan kekayaan. Para nasabah superkaya itu biasanya diperbolehkan membeli valuta dengan nilai 100 kali dari jaminan yang mereka taruh. Margin trading ini lumayan mengganggu kesehatan rupiah karena volume perdagangan dolar di dalam negeri kecil, US$ 200 juta hingga US$ 400 juta per hari
Kebijakan BI menguras kelebihan likuiditas di pasar otomatis mengerek suku bunga deposito. Suku bunga deposito berjangka satu bulan rata-rata naik 1 persen hingga 1,95 persen. Beberapa bank malah berani menawarkan imbal hasil 16 persen, jauh di atas suku bunga penjaminan yang ditetapkan oleh BI, yaitu 10 persen.
Produk yang diklaim memberi keuntungan sebesar itu biasa diberi label deposito swap atau synthetic deposit. Aturan main produk baru ini memang tak ubahnya uang yang masuk ke pasar swap. Ambil contoh nasabah A berniat menyimpan dana di bank sebesar Rp 100 juta. Berbeda dengan produk tabungan biasa, dalam deposito swap atau sintetik, uang itu akan dibelikan dolar lebih dulu.
Kurs pembelian dolar itu tak ubahnya kurs sekarang (spot). Simpanan si nasabah pun kini berdenominasi dolar, dan tentu mendapat suku bunga. Pada saat jatuh tempo, nasabah tak akan mendapat uangnya dalam dolar, tetapi rupiah. Kurs yang akan digunakan bank membeli dolar di saat jatuh tempo biasa disebut kurs forward.
Jadi, potensi keuntungan yang akan diperoleh si nasabah tak hanya bunga, tetapi juga selisih kurs, jika harga dolar yang sesungguhnya di masa mendatang lebih rendah dari kurs forward mereka. Produk semacam ini sejatinya tak baru-baru amat. Pada masa sebelum krisis 1997, beberapa bank nasional, seperti BDNI, agresif berjualan produk semacam deposito swap.
Saat ini, produk semacam deposito swap ataupun sintetik lebih banyak ditawarkan oleh bank-bank asing. Produk deposito swap ini yang dikabarkan mampu menyerap dana yang dicairkan oleh para pemilik reksadana. Maklumlah, tingkat keuntungan yang ditawarkan bisa mencapai 16 persen per tahun.
Tapi, cerita sukses produk deposito swap atau sintetik hanya dimonopoli bank asing. ”Tak banyak nasabah kakap yang percaya bank lokal sanggup beli dolar di depan,” ujar sumber Tempo yang lama menggeluti bidang treasury bank.
Jangan lupa, produk ini sama sekali tak dijamin oleh BI karena tingkat keuntungan yang ditawarkan jauh di atas suku bunga penjaminan. Selama ini, bank-bank asing memang tak turut disertakan dalam program penjaminan. ”Karena itu, BI tak bisa melarang,” kata Halim Alamsyah, Direktur Direktorat Perencanaan Strategis dan Humas BI.
Namun, ada satu kesimpulan yang bisa ditarik dari keberadaan produk deposito swap atau sintetik itu. Para raja uang tunai masih beranggapan suku bunga yang ditetapkan oleh BI masih kelewat rendah. Ada dua penyebab pasar masih lapar dengan kenaikan suku bunga rupiah.
Pertama, pasar keuangan di segenap penjuru dunia yakin, Federal Reserves masih akan mengerek suku bunga dolar. Kedua, prediksi laju inflasi. Tahun ini BI sendiri telah tiga kali merevisi target inflasi. Kisaran laju inflasi tahunan yang terakhir dipatok BI adalah sembilan persen.
Pendorong pertama laju inflasi di dalam negeri adalah kejatuhan nilai rupiah. Tahun ini rupiah telah terdepresiasi terhadap dolar lebih dari 11 persen. Kendati BI telah meninggikan berbagai pagar rupiah, seperti GWM atau PDN, rupiah tetap saja tergerus, jika melihat perdagangan selama pekan lalu. Harga dolar pada pembukaan perdagangan Senin sebesar Rp 10.200, naik 15 poin pada penutupan pasar Jumat kemarin.
Di saat rupiah melemah, Indonesia akan memasuki dua kejadian yang secara empiris selalu berbuntut pada percepatan inflasi. Yang sudah bisa dipastikan waktunya adalah masa puasa dan perayaan hari raya Idul Fitri. Saat itu harga barang dan jasa akan adu kencang berlari mengikuti kenaikan konsumsi masyarakat.
Pemicu inflasi lain, yang masih belum jelas kapan waktunya, adalah kenaikan harga bahan bakar minyak. Dalam pidatonya dua pekan lalu, Presiden hanya menyebut kenaikan harga BBM akan dilakukan pemerintah setelah Oktober.
Agar rupiah tetap menarik di tengah kepungan kenaikan bunga dolar dan inflasi di dalam negeri, kenaikan suku bunga dalam negeri sulit dihindarkan. ”Hitungan sederhana tingkat SBI yang ideal saat ini adalah dua persen di atas inflasi,” ujar Anton Gunawan, ekonom Citibank.
Sumber Tempo yang lain menggunakan suku bunga Federal Fund sebagai patokan. ”Idealnya, SBI lebih besar 6,5 persen hingga 7,7 persen di atas Federal Fund,” katanya.
Yang perlu diantisipasi BI adalah buntut kenaikan suku bunga perbankan. Kebijakan moneter ketat tentu memakan korban. Pencairan besar-besaran di industri reksadana pendapatan tetap bisa disebut sebagai efek samping pertama yang terlihat dari obat kuat rupiah.
Industri pembiayaan keuangan, terutama konsumsi, kemungkinan besar akan menjadi korban kedua. Sumber-sumber Tempo di industri keuangan memperkirakan kenaikan suku bunga berpotensi memacetkan kredit konsumsi hingga Rp 30 triliun.
Thomas Hadiwinata, Astri Wahyuni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo