Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Abu Nuwas

12 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah kota bisa mengejutkan,  juga Baghdad di abad ke-9.  Abu Nuwas adalah bagian dari yang mengejutkan itu. Di masa kecil di Indonesia kita mengenalnya dari dongeng bekas yang datang entah dari mana: ia seorang yang cerdik, licin, dan jenaka, tapi juga konyol, yang hidup di masa pemerintahan Harun Al-Rashid. Tapi para penulis sejarah kesusastraan Arab memandangnya dengan hormat: dialah penyair pembawa suara modernitas (hadātha) di sebuah zaman yang cemerlang tapi tak selamanya mudah. 

Ia lahir di pertengahan abad ke-7 di Avaz, Persia, dan meninggal sebelum umur 60 di Bagdad. Ibunya seorang perempuan penenun dari Persia, dan ayahnya, yang tak pernah ia kenal, seorang prajurit dari Damaskus. Dalam hidup yang terjepit, sang ibu menjual si kecil Abu Nuwas kepada seorang tabib dari Yemen.

Dibawa ke Basra, anak ini belajar mengaji Qur’an. Tapi apa lacur. Abu Nuwas adalah seorang remaja berwajah rupawan, rambutnya kriting panjang, dan geraknya luwes.  Ia memikat hati Penyair Waliba ibn al-Hubab, pria yang kemudian jadi guru dan kekasihnya. Mereka hidup bersama di Kufa.  

Dua tahun kemudian Abu Nuwas yang remaja itu kembali ke Basra, ibukota kebudayaan, untuk belajar puisi Arab sebelum Islam. Dari sini ia tinggal selama setahun di antara orang Badui, untuk menyerap ‘kemurnian’ bahasa mereka. Tapi ia tak betah. Ia kembali ke kota besar:

Sebab inilah hidup, Bukan kemah padang pasir, Bukan susu onta! Bagaimana kau dapat dudukkan seorang Badui, Di samping Istana Kisra?

Pertentangan antara kota dan pedalaman agaknya punya  pengaruh tersendiri dalam kehidupan sastra Arab di masa itu –  sejajar dengan pertentangan antara tradisi lisan dan kebudayaan tertulis. Tradisi lisan marak dalam puisi pra-Islam: puisi adalah juga lagu, dan ia berkembang dalam hafalan. Dalam tradisi ini, formula yang ajeg jadi penting, agar hafalan tak terancam lupa.

Tapi Islam datang, Qur’an turun, dengan bahasa yang – seperti kata al-Rummani, seorang penelaah dari abad ke-10 – ‘tak bisa ditirukan’. Ketika agama ini masuk ke wilayah lain, bertemulah yang Arab dengan yang bukan Arab – sebuah pertemuan yang di satu pihak memperkaya tapi di lain pihak menimbulkan waswas.

Salah satu yang membuat waswas adalah kecenderungan linguistik orang Arab yang berubah, mengikuti ‘variasi yang mereka dengar dari pembicara bukan Arab yang menggunakan bahasa Arab’, demikian tulis Ibnu Khaldun dalam Muqaddima. Sebab,  kata Ibnu Khaldun, ‘mendengar adalah ayah dari semua kemampuan linguistik’.   

Maka ada kecemasan bahwa Qur’an dan hadith lama kelamaan akan tak dapat dipahami lagi. Tatabahasa pun disusun, dimulai dengan karya Abu’l-Aswad al-Duali yang dilanjutkan oleh al-Khalil di abad ke-7. 

Tatabahasa adalah tanda ketika kelisanan susut perannya, ketika keberaksaraan kian penting. Sebab di sini kata dianalisa, disimak, disusun dalam kategori – dan semua itu hanya bisa dilakukan ketika kata dapat ditelaah kembali.  Singkatnya: ketika kata dituliskan.

Keberaksaraan merangsang kemampuan analitik.  Maka sejak itu, telaah sastra tumbuh dan teori berkembang. Pada saat yang sama, tak diperlukan lagi formula puisi untuk membuat agar ia mudah dihafalkan. Sastra Arab pun meluncur dalam kebebasan, bertualang dengan bentuk dan isi. Puisi semakin terbuka untuk jadi ekspresi individual – suatu hal yang bertaut dengan kehidupan kota.

Puisi Abu Nuwas bersimaharajelala di sini.

Ali Ahmad Said, yang lebih dikenal sebagai Adonis, penyair Suriah yang kini hidup di Prancis, menggambarkan puisi Abu Nuwas sebagai sesuatu yang mengandung ‘lidah api yang melalap tiap  rintangan, baik yang bersifat sosial atau religius’.  Bagi Abu Nuwas, kata Adonis, ‘suka cita tak datang dari menjalankan apa yang diperkenankan, melainkan sebaliknya, dari mengejar apa yang terlarang dan  melawan hukum’.  Abu Nuwas menyatakan dirinya tak ingin berbuat dosa seperti orang kebanyakan, sebab yang dihasratkannya adalah dosa yang akan ‘membuat dosa lain tampak redup’.  Ia membangkang kepada ‘tiran yang di langit’.

Dalam posisi itu kata Adonis, Abu Nuwas ‘mengenakan topeng seorang badut dan beralih ke mabuk-mabukan’ – bahkan mengekspresikan berahi homoerotik yang tak disembunyikan.  Ia jadi termashur oleh khamriyyat, sajak-sajak anggur, dan mudhakkarat serta  mujuniyyat,  sajak-sajak erotis yang cerdas dan nakal yang memuja sesama pria.  

Hidup di bawah kekuasaan Harun al-Rashid dan penggantinya, Muhammad al-Amin, sang penyair terkadang harus membayar kenakalannya dengan hukuman. penjara. Bahkan di bawah Khalif Abdullah al-Mamun, yang melindungi seni dan ilmu pengetahuan – tapi tak menyukai pemabuk dan penyair bengal -- Abu Nuwas menemukan akhirnya.  Ada yang mengatakan ia mati di penjara, ada yang mengisahkan ia tewas diracun.

Hidup Abu Nuwas memang penuh warna-warni, tapi kita akan salah jika kita lupakan bahwa sifat pembangkangan memang ada  dalam puisi itu sendiri. Puisi ‘tak takut melabrak konsensus’, kata teoritikus besar sastra di abad ke-10, al-Jurjani. Demikianlah konsensus yang dibakukan dalam tradisi lisan pun didobrak. Modernitas’ ini berlangsung sejak abad ke-8, dimulai oleh Ibn Burd, yang menurut Adonis telah menemu-ciptakan ‘sebuah bahasa kota’ dan bukan ‘bahasa padang pasir’ – sebuah bahasa yang di tangan Abu Nuwas ‘mencapai puncak yang tak pernah ada sebelumnya.’

Untuk beberapa puluh tahun lamanya ‘bahasa kota’ itu berjaya. Tapi di tahun 1258 Baghdad jatuh ke tangan bangsa Mongol yang datang dari padang rumput yang jauh.  Mungkin ini bisa ditafsirkan, bahwa kota akhirnya kalah oleh pedalaman: kota hanya asyik dan mabuk,  pedalaman  kukuh dan ‘murni’

Bukan kebetulan agaknya bila di masa pasca-Baghdad, orang memilih untuk bertumpu ke pedalaman, ke pada ‘asal-usul’.  ‘Badui’ yang oleh Abu Nuwas diejek tak layak bersanding dengan ‘Istana Kisra’ pun jadi jawaban, ketika orang mencari obat bagi krisis kebudayaan Arab sejak abad ke-13. Dalam resep ini, ‘Badui’ adalah ‘kemurnian’, dan ‘kemurnian’ adalah kekuatan. 

Tapi ‘kemurnian’ juga berarti kemandegan. Mereka yang memuja ‘kemurnian’ akan membangun sebuah kamar steril dan kehidupan yang palsu, dengan kecemasan yang membuat pikiran beku.   

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus