Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta – Siapa yang tidak kenal Chairil Anwar? Sosok penulis dan penyair legendaris kenaman Indonesia itu lekat dengan dunia sastra, khususnya puisi modern Indonesia. Pria kelahiran Medan, Sumatera Utara itu hingga akhir hayatnya berhasil menulis 75 puisi, 10 puisi terjemahan, 7 prosa, dan 4 prosa terjemahan. Selain itu, Chairil juga menghasilkan tiga koleksi puisi yang dijadikan dokumentasi atas puisi-puisi aslinya.
Mengutip laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, dalam menciptakan suatu karya, terdapat ide keanekaragaman yang dibawa oleh Chairil Anwar. Sosoknya juga merupakan penggiat sastra Indonesia, dan kecintaannya dengan Bahasa Indonesia, Chairil tuangkan dalam puisi. Tiga koleksi puisi yang dihasilkan Chairil merupakan kumpulan dari sajak-sajaknya. Tiga judul koleksi tersebut, pertama, Deru Campur Debu (1949), yang diterbitkan Penerbit Pembangunan, Opbouw, Jakarta. Kedua, Kerikil-Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949) diterbitkan oleh Pustaka Rakyat, Jakarta. Ketiga, Aku Ini Binatang Jalang (1986), Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
Di dalam tiga koleksi puisi tersebut, terdapat beberapa sajak-sajak yang cukup fenomenal. Misalnya, puisi ‘Ajakan’ (1943), yang merupakan bagian dari koleksi puisi Kerikil-Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus. Karya ini Chairil gunakan untuk pidato di radio pada 1943.
Kemudian salah satu puisi terkenal karya Chairil Anwar yang lain berjudul ‘Aku’ pada 1943. Karya Aku menggambarkan kebebasan, individualistis dan vitalitas Chairil Anwar menjadi seorang penyair. Puisi ini menjadi salah satu karya yang paling terkenal saat dari Angkatan’ 45.
Dikutip dari laman Film Indonesia, karya puisi ini sempat membuat heboh netizen pada 2002, tepatnya ketika film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) tayang. Film AADC menggunakan karya puisi "Aku" milik Chairil Anwar dalam mengiringi kisah cinta tokoh utama, Cinta dan Rangga. Puisi milik Chairil Anwar berjudul "Aku" semakin menambah kesan dramatis karena sebagian besar nuansa puisinya yang kelam, terpuruk, dan patah hati, yang seolah-olah menggambarkan karakter Rangga.
Chairil Anwar juga aktif menulis prosa sebagaimana dilansir dari berbagai sumber. Beberapa karya prosa aslinya seperti ‘Berhadapan dengan Mata’ (1943) yang merupakan surat terbuka kepada HB Jassin. ‘Membuat Sajak, Melihat Lukisan’ (1949) merupakan sebuah prosa yang menggabungkan puisi dan seni visual. ‘Tiga Muka Satu Pokok’ (1947), sebuah anekdot seni dan kreativitas yang akhirnya diterbitkan kembali pada 1955 dalam Kisah.
NAOMY A. NUGRAHENI
Baca: Ini Hari 26 Juli Chairil Anwar Lahir, Sepak Terjang Penyair Binatang Jalang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini