Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Kehidupan Puri Anom yang Mempengaruhi Teater Putu Wijaya

Putu Wijaya melewati masa kecil hingga remaja di Puri Anom, Tabanan. Kehidupan di Puri menginspirasi karyanya, termasuk Aduh.

19 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA bingkai foto tampak agak berdebu di pojok bangunan Saren Agung di dalam Puri Anom, Tabanan, Bali. Berdiri di atas meja kaca yang bentuknya melengkung, dua foto ini dibatasi oleh rantai dan di ujungnya berisi tulisan “Sudut penghormatan”. Pada foto sebelah kiri ada sosok pria mengenakan kaus hitam dan topi putih. Tangan kanannya mengacungkan jempol. Itulah foto Putu Wijaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lahir dan tumbuh di Tabanan, I Gusti Ngurah Putu Wijaya—nama lengkap Putu Wijaya—tinggal di Puri Anom hanya sampai masa sekolah menengah pertama. Putu kemudian ke Singaraja untuk melanjutkan pendidikan di sekolah menengah atas. Sejak itu, ia tidak pernah menginjakkan kaki di tempat kelahirannya. “Sepertinya tidak pernah pulang,” kata penjaga Puri Anom, Putu Arya Wiguna, kepada Tempo, Selasa, 14 Mei 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Putu Arya menuturkan, area bermain Putu Wijaya semasa kecil adalah di sekitar Puri Anom. Melangkahkan kaki ke arah selatan dari bangunan Saren Agung, tampak sebuah angkul-angkul khas Bali yang tidak berukir, hanya dari tumpukan batu padas dan batu bata.

Putu Arya mengajak Tempo melintasi angkul-angkul itu. Di baliknya adalah area rumah tinggal Putu Wijaya semasa kecil. Rumah ini menjadi saksi bisu sang dramawan dan sastrawan di Puri Anom.

Meski Puri Anom banyak mengalami perubahan, sebuah balai dengan 12 tiang kokoh berdiri sejak Putu Wijaya masih tinggal di Tabanan. “Kalau balai ini tidak banyak berubah. Bentuknya masih sama,” ujar Putu Arya.

Beberapa bangunan lain tampak masih baru. Bahkan ada yang berukir dengan cat warna emas di sisi sebelah baratnya. Meski ditinggalkan Putu Wijaya, rumah ini masih ditempati pihak keluarga Puri yang lain.

Ketika Tempo mencoba menggali cerita perihal Putu Wijaya kepada para penglingsir atau pemimpin Puri Anom, tampaknya mereka enggan memberikan cerita lebih lanjut. “Untuk ambil foto, silakan,” tutur seorang sesepuh Puri Anom yang masih tinggal di area rumah yang pernah ditempati Putu Wijaya.

Puri Anom didirikan pada masa pemerintahan Ida I Gusti Ngurah Ngurah Agung Tabanan, raja ke-19 yang berkuasa pada 1810-1843. Ia memerintahkan putranya yang masih muda atau anom membangun istana baru tepat di sebelah utara puri kerajaan.

Boleh dibilang hal inilah yang kemudian membuat istana itu disebut Puri Anom, yang berarti puri muda atau puri yang baru. Sejak saat itu sampai sekarang, puri ini dipakai untuk tempat tinggal dan kegiatan keluarga raja-raja Tabanan.

Terdapat beberapa bagian penting dari bangunan Puri Anom. Misalnya Bencingah, yang merupakan bagian terdepan kompleks puri ini.

Selain terdapat bangunan yang khas, di Puri Anom ada sebuah pohon beringin berumur ratusan tahun di bagian depan. Pohon itu diperkirakan ditanam pada saat pembangunan puri ini.

Ciri yang cukup menonjol dari arsitektur di Puri Anom adalah penggunaan keramik berupa piring kecil bergambar ukiran di banyak sudut bangunan.

Di Puri Anom terdapat bangunan Suci Ageng, yang merupakan tempat persembahyangan keluarga Puri. Juga ada beberapa bangunan suci lain, yakni Suci Saren Kangin, Suci Saren Tengah, dan Suci Saren Kawuh.

Bangunan lain di puri ini adalah Ancak Saji. Ia ditandai oleh dua pasang gerbang kembar bernama Candi Bentar. Sepasang Candi Bentar menghadap ke timur dan sepasang lagi menghadap ke utara. Di sana juga terdapat sebuah bangunan kuno berukir motif lama, yakni tempat melapor untuk tamu yang akan menghadap ke Puri. Di sebelah selatannya terdapat Suci Agung Puri, yang merupakan tempat persembahyangan keluarga besar Puri.

Selain itu, ada Bale Kembar. Kompleks balai-balai ini merupakan tempat upacara pitra yadnya yang paling utama. Balai-balai ini berfungsi sebagai tempat penerimaan tamu kehormatan kerajaan. Terdapat pula kompleks Tandekan, yang berfungsi sebagai tempat penerimaan tamu atau guest house untuk tamu kehormatan kerajaan.

Tak jauh dari situ, ada dua bangunan Saren Agung dan tiga bangunan Suci Alit, sebagai tempat untuk upacara manusa yadnya. Di Saren Agung terdapat berapa bangunan utama, seperti Bale Gede, Bale Singa Sari, Bale Sari, Bale Tegeh (loji), dan Bale Tajuk.

Tempat tinggal dan beraktivitas sehari-hari keluarga puri dinamai pakraman. Terdapat tiga pakraman di sana, yakni Pakraman Saren Kangin, Pakraman Saren Tengah, dan Pakraman Saren Kauh. Juga Pekandelan untuk tempat tinggal abdi puri yang dipercaya.

***

PUTU Wijaya lahir di Tabanan pada 11 April 1944. Ayahnya semula adalah penggawa yang beristri dua. Ibu Putu adalah istri kedua yang melahirkan tiga anak. Putu bungsu dari tiga bersaudara.

Kini tak ada lagi saudara sekandung Putu. Dia pun sudah lebih dari dua dasawarsa tak menengok rumah masa kecil di kampung halamannya. “Karena, kalau saya pulang, saya tidak ketemu dengan orang-orang yang saya kenal. Jadi saya sedih,” ujar Putu kepada Tempo, 12 Maret 2024.

Putu tak pulang bukan karena lupa, tapi lantaran kesedihan menggelayuti hatinya. Tiada lagi orang-orang dan saudara yang dia cintai. Ia hanya bisa membayangkan rumahnya dan tanah lapang tempatnya bermain. “Itu akan sangat menyakitkan,” ucapnya.

Putu menuturkan, suatu hari seorang temannya berkeinginan membuat arsip hidupnya, berencana melakukan syuting di Bali. Sastrawan ini menolaknya. Dia enggan dibawa ke Puri Anom. Alasannya, ia akan merasa sedih dan suasana menjadi tak enak.

Puri, kata Putu, adalah tempat semua keluarga besar berkumpul. Puri terbagi dalam tiga sektor: timur, tengah, dan barat.

Putu mengungkapkan, dalam kehidupan bersama di Puri kerap muncul ketegangan dan konflik. Biasanya ada saja persoalan keluarga yang membuat mereka terpecah.

“Nah, itu waktu saya kecil, keluarga saya di timur dan tengah. Keluarga saya di tengah dan di barat acap bermusuhan. Tidak satu,” tuturnya. “Jadi yang di barat kalau mau keluar dari rumah cari jalan yang lain. Saya pun tidak pernah ke sana, tidak kenal.”

Konflik itu, menurut Putu, terbawa tak hanya di kalangan orang dewasa, tapi juga anak-anaknya. Di sekolah, mereka bisa bertemu dan berbicara. Tapi, di rumah, orang tua melarangnya. Mereka pun bergantian ke tempat suci untuk beribadah.

Hal itu berlangsung hingga Putu menginjak masa remaja. Namun, kata Putu, setelah para orang tua meninggal, selepas 1970-an, mulai ada perdamaian di Puri.

“Jadi kehidupan saya di Puri ikut memperkaya saya untuk melihat hal-hal kemanusiaan ketika kita berkumpul, yang ada hubungannya dengan Aduh,” ujarnya.

Putu menjalani masa taman kanak-kanak, sekolah dasar, hingga sekolah menengah pertama di Tabanan. Karena tak ada SMA negeri di Tabanan, ia kemudian pindah ke Singaraja. Putu kemudian meninggalkan Bali dan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Setelah lulus kuliah pada 1969, Putu hijrah ke Jakarta dan berkiprah di dunia teater. Ia bergabung dengan Teater Kecil asuhan Arifin C. Noer dan Teater Populer yang diampu Teguh Karya. Setelah itu, ia mendirikan sanggar teaternya sendiri, yakni Teater Mandiri, pada 1971 ketika bekerja sebagai wartawan majalah Tempo. Hingga kini teater menjadi jalan hidup Putu Wijaya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Friski Riana berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Inspirasi Putu dari Kehidupan Puri"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus