Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI Teater Arena Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, sampai Teater Salihara, Jakarta Selatan, yang berjarak sekitar 10 kilometer, perjalanan Aduh Putu Wijaya memerlukan waktu 50 tahun. Sebuah perjalanan panjang, dan tidak ada yang tercecer dari dua pementasan tersebut: percakapan para pemain, baik dulu maupun sekarang, terasa tak berbeda, sama-sama sebentar-sebentar mengundang tawa tertahan penonton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peristiwa yang dipentaskan memang berpeluang memunculkan percakapan yang mengundang senyum—getir ataupun biasa saja. Sekelompok orang kedatangan seseorang yang sakit yang tampaknya memerlukan pertolongan segera. Alih-alih segera mengulurkan tangan, sekelompok orang itu sewot berkomentar, berpendapat, melontarkan usul yang harus dikerjakan tentang si sakit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bayangkan, orang yang setengah sekarat itu malah diinterogasi.
“Sakit apa?”
“Masuk angin, ya?”
“Panas? Pusing kepala?”
“Barangkali sakit ayan.”
“Lha, sakit apa? Terus terang saja. Kami akan menolong, jangan malu-malu.”
“Kasihan, mukanya sudah tua sekali. Mungkin terlalu banyak kerja. Sudah makan?”
“Di sini banyak angin, apalagi udara begini. Kalau belum makan bisa semaput. Jangan lama-lama di sini.”
Maka si sakit pun meninggal, setelah sebuah “diskusi” apakah ia berjenis kelamin perempuan atau laki-laki. Tak ada kesimpulan. Salah seorang nyeletuk. Maksudnya, si sakit itu hermafrodit.
Di babak berikutnya, “diskusi” berlangsung lagi: tentang menguburkan mayat si sakit. Ada diskusi tentang balsam untuk mengusir bau busuk yang mulai menyebar. Ada usaha mengangkat mayat yang memberat. Ada peristiwa kesurupan. Salah seorang berteriak karena melihat ulat-ulat di mata mayat.
Hari beringsut ke malam, dan diskusi berlanjut. Salah seorang khawatir, kalau mayat tak segera dikubur, akan datang anjing mengoyak-koyak tubuh si mati. Yang terjadi, mayat dirampok oleh mereka: selimut, arloji, dan entah apa lagi. Lebih dari itu, salah seorang mencopot kepala mayat, mempermainkannya, dan sudah barang tentu protes pun datang bertubi-tubi. Harap dimaklumi, setelah si sakit meninggal, dalam adegan berikutnya mayat itu adalah boneka, sebesar manusia.
Upaya mengangkat mayat selalu gagal karena mayat terasa memberat. Ada yang melempar usul beristirahat sejenak. Siapa tahu ada gunanya.
Benar, selesai beristirahat, sekelompok orang ini berhasil menggotong mayat. “Lha, ternyata ringan,” kata salah seorang. Mayat, eh, boneka pun dimasukkan ke kain hitam yang sejak awal dipasang di sisi belakang, seperti menutup suatu peti besar, tidak melekat ke benda yang ditutupi, sehingga kain itu mudah digerak-gerakkan untuk menghadirkan imaji-imaji: sungai yang mengalir, mungkin juga bukit tempat asal suara-suara anjing terdengar. Akan halnya kain hitam tempat mayat atau boneka itu dicemplungkan adalah sebuah sumur.
Selesai? Satu hal yang membuat penonton, paling tidak saya, menunggu-nunggu kapan drama ini berakhir. Dari sesudah si sakit menjadi mayat, terasa kapan saja drama ini bisa diakhiri. Apalagi dari awal teater tanpa identitas peran, dengan percakapan yang sering tidak nyambung, pemeran mana pun bisa ngomong apa pun—begitulah sepertinya—akhir itu bisa di mana saja. Atau ketika nanti bahwa akhir itu rasanya sudah direncanakan oleh pengarangnya, pementasan bisa diperpanjang sesuai dengan keinginan sutradara. Inilah naskah, menurut saya, yang memberikan kemerdekaan seluasnya kepada sutradara—sebelum ending yang sudah diskenariokan.
Yang tersaji di arena setelah mayat dimasukkan ke lubang atau sumur itu adalah, sekali lagi, “diskusi”. Waktu, tertangkap dari percakapan, menjelang pagi. Ada yang berteriak, “Bangun, bangun….”
Pentas Aduh oleh Teater Mandiri di Teater Salihara, Jakarta, 12 Mei 2024. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya
Kembali sekelompok orang ini duduk berkumpul. Tiba-tiba salah seorang nyeletuk menanyakan kenapa anjing-anjing itu bersuara terus. “Lapar?” Salah seorang menjawab, “Bukan, anjing-anjing mencium bau busuk.”
Mereka pun mencium tubuh sendiri, tangan, kaki, dan lain-lain, untuk menemukan bau busuk. Salah seorang mengatakan, “Aduh, telingaku juga bau busuk?” Entah bagaimana kita bisa mencium bau di telinga. Salah seorang ikut berkumpul sambil memakan mentimun. Mendadak mentimun itu meloncat. Dia pun kaget. Yang lain ikut kaget. Ada yang mencoba mengambil mentimun yang meloncat dan jatuh itu. “Jangan!” teriak salah seorang yang tadi memakan mentimun itu. “Rohnya masih di sini. Rasanya ada yang menarik mentimunku.”
Salah seorang bilang, roh biasanya tak pergi jauh dari pembunuhnya. Semuanya berpandangan. Tiba-tiba suara anjing makin keras. Dan bukan hanya suara, sepertinya di arena anjing-anjing datang menyerbu, terlihat dari sekelompok orang ini berlarian, ke segala sudut. Chaos, arena bersuasana chaos. Ada pula adegan hantu-hantuan, muncul dari belakang layar hitam, meneror sekelompok orang itu.
Tiba-tiba terdengar suara mengaduh. Seseorang, mungkin salah seorang di antara kelompok itu, bertingkah seperti si sakit yang sudah jadi mayat dan dikuburkan. Terdengar dialog seperti di awal pementasan.
“Sakit apa?”
“Masuk angin, ya?”
“Panas? Pusing kepala?”
“Barangkali sakit ayan.”
“Lha, sakit apa? Terus terang saja. Kami akan menolong, jangan malu-malu.”
“Kasihan, mukanya sudah tua sekali. Mungkin terlalu banyak kerja. Sudah makan?”
“Di sini banyak angin, apalagi udara begini. Kalau belum makan bisa semaput. Jangan lama-lama di sini.”
Salah seorang berteriak, “Lihat, lihat, langit akan runtuh!”
Kain putih yang sejak awal dipasang di atas, memanjang selebar arena, jatuh. Selesai.
Aduh karya Putu Wijaya pemenang pertama sayembara penulisan naskah drama Dewan Kesenian Jakarta 1973. Di tahun berikutnya, pertengahan Maret 1974, naskah ini dipentaskan pertama kali oleh Teater Mandiri, kelompok teater yang didirikan Putu Wijaya, di Teater Arena Taman Ismail Marzuki (TIM).
Baru pada 11 dan 12 Mei 2024, Aduh dipentaskan di Teater Salihara oleh Teater Mandiri, untuk kedua kalinya. Dua pementasan dengan sutradara sama, Putu Wijaya, kini 80 tahun, dengan pemain berbeda, kecuali seorang, Jose Rizal Manua, yang ikut berperan dalam pementasan 1974.
Aduh disebut-sebut sebagai pemula naskah teater absurd di Indonesia. Sebelum ber-Mandiri, Putu Wijaya, pada 1970, ikut berperan dalam pementasan Bengkel Teater, Menunggu Godot, terjemahan Bakdi Sumanto. Putu memerankan Pozzo.
“Dulu kostum pemain pakaian sehari-hari, kayak petani,” tutur Jose. Benar, dulu semuanya mengenakan sarung, dan karena sarung itu, barangkali, semua pementasan, dalam ingatan saya, bergerak santai tapi serius. Tetap ada percakapan yang membuat penonton tertawa tertahan. Yang terasa dalam pementasan dulu, di balik kesantaian dan tawa penonton adalah misteri; pertanyaan tentang makhluk hidup, yang akan mati.
Kostum yang sekarang juga santai, tapi sesuai dengan zaman. Celana pendek, jaket jins, blue dan brown. Rok bawah bermotif bunga warna-warni, dan lain-lain. Semua dengan warna-warna ngejreng. Sedangkan arena dulu “bersih”. Kini ada layar hitam yang bisa menjadi sungai atau bukit atau lubang sumur. Juga layar itu bisa menjadi semacam perangkap yang menangkap pemain.
Sudah barang tentu ini sebuah perkembangan tatkala Teater Mandiri, sesudah Aduh 1974, lewat Lho yang tanpa dialog, dan selanjutnya adalah teater yang lebih mengemukakan hal-hal yang visual, dengan kekhasan Putu: kain-kain lebar yang bisa menjadi bendera, dikelebat-kelebatkan mengisi arena atau panggung, bisa juga menjadi ombak. Sesuatu yang pada hemat saya membuat penonton menikmati sebagai, “Terserah mereka,” kata Cobina Gillitt dalam diskusi dua jam sebelum pementasan hari kedua.
Gillitt adalah profesor di Theatre and Performance di Faculty State University of New York, Amerika Serikat. Ia juga anggota Teater Mandiri sejak 1988. Ia meriset teater kontemporer Indonesia terutama, sejak 1968 hingga 1978, untuk disertasi di New York University. Ia menerjemahkan Aduh ke bahasa Inggris pada 2010. Terserah, maksudnya, bisa sebagai tontonan yang menghibur, sebagai pertunjukan bermuatan filsafat, sebagai ekspresi suatu kondisi manusia,dan lain-lain.
Antara Aduh pertama di Teater Arena dan yang kedua di Teater Salihara, ada dua Aduh di Gedung Kesenian Jakarta, 2010, dan Graha Bhakti Budaya TIM, 2011. Namun dua Aduh ini hanya mementaskan babak pertama, disambung dengan sebuah monolog oleh Putu Wijaya, Merdeka!.
Demikianlah 50 tahun Aduh, dan 80 tahun pengarangnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Aduh Kedua, Sesudah 50 Tahun". Koreksi 23 Mei 2024 pada keterangan penerjemahan naskah teater Aduh. Sebelumnya tertulis naskah Aduh sedang dalam proses penerjemahan.