Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Venice Biennale 2024: Ketika Para Seniman dari Negeri Jajahan Berunjuk Gigi

Perhelatan seni terbesar dunia, Venice Biennale 2024, digelar. Kurator perempuan Indonesia, Alia Swastika, jadi salah satu juri.

19 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OKWUI Enwezor (Nigeria) menjadi kurator kulit hitam pertama yang mengarahkan perhelatan ini pada 2017. Ini untuk pertama kalinya Venice Biennale menghadirkan proporsi yang cukup dari ras di seluruh dunia, terutama ditandai dengan separuh partisipan yang merupakan kelompok kulit hitam. Cecilia Alemani (Italia) pada 2022, dengan tema “The Milk of Dream”, membawa Venice Biennale memberi pengakuan yang lebih besar kepada seniman-seniman perempuan. Lebih dari 80 persen seniman partisipan pada edisi ini adalah perempuan. Tahun 2024 ini juga menjadi istimewa dengan kurator Adriano Pedrosa (Brasil) yang memfokuskan gagasan dan lingkup pameran pada praktik seni kawasan Global Selatan. Dengan judul “Foreigners Everywhere”, Venice Biennale 2024 juga menjadi perhelatan terbesar dengan sekitar 300 seniman dan 87 paviliun nasional. Venice Biennale dibuka pada 20 April 2024 dan akan berlangsung hingga 20 November 2024.

Melalui gagasan migrasi dan diaspora yang menjadi narasi utama “Foreigners Everywhere”, Adriano Pedrosa secara jelas menekankan pentingnya dekolonisasi (sistem dan sejarah) seni. Tidak hanya menunjuk Global Selatan sebagai konsep politis dalam geopolitik seni, Pedrosa berupaya membongkar konstruksi tentang definisi dan konsepsi seni itu. Praktik kebudayaan kelompok indigenous atau ulayat sering kali diabaikan dan tidak masuk kategori seni ala pandangan yang didominasi praktik Eropa-Amerika. Sebagian besar seniman dalam Venice Biennale Ke-60 adalah para seniman dari kawasan Amerika Selatan, Asia, Afrika, dan Oseania. Harus dicatat, hampir semuanya baru pertama kali ambil bagian dalam Venice Biennale. Pedrosa sendiri sudah mempraktikkan kerja kuratorial yang mempertemukan konteks modern, kontemporer, dengan ulayat ini dalam beberapa pamerannya di museum tempatnya bekerja, MASP, São Paulo. Apakah eksperimentasi membawa praktik seni Global Selatan ke kawasan utara ini berhasil?

Di Giardini, paviliun utama, dinding fasad bangunan dilukis dengan citra komunal Amazon oleh kelompok MaHKU, yang selama sebulan bersama-sama mengubah wajah bangunan ini menjadi lebih tropis melalui warna-warna yang cerah dan tajam. MaHKU menggambarkan kekayaan bumi Amazon, dari hutan, sungai, danau, ritual, kebudayaan, musik, hingga tari. Pengunjung akan mencari detail narasi mereka yang memberi pengalaman visual yang sangat kuat. Menempatkan karya komunitas ulayat Brasil sebagai hal pertama yang dilihat pengunjung internasional di Venesia tentu merupakan pernyataan politik yang penting; kehadiran mereka yang selama ini terlupakan dan terpinggirkan sebagai pilar pengetahuan kita yang terhubung dengan semesta.

Setelah itu, pengunjung menemukan instalasi lampu karya Claire Fountaine, sebuah kolektif Italia-Inggris yang menjadi pijakan Pedrosa dalam memilih judulnya. Kemudian, dalam ruangan selanjutnya, karya Nil Yalter, Exile is a Hard Job, memenuhi seluruh ruangan dengan tempelan foto para pengungsi di Eropa semenjak 1960-an hingga kini. Terdapat sebuah tenda di tengahnya. Nil Yalter adalah seniman Turki yang lahir di Mesir yang telah 50 tahun menetap di Paris. Nil Yalter mengumpulkan arsip-arsip pelarian politik dan mereka yang tersingkir dan tak bisa bertahan di ruang hidupnya sendiri. Untuk karya ini dan dedikasinya dalam seni rupa, Nil Yalter dianugerahi penghargaan capaian seumur hidup oleh Venice Biennale. Selain dianugerahkan kepada Nil Yalter, penghargaan ini diberikan kepada seniman Italia yang bermigrasi ke Brasil, Anna Maria Maiolino, yang menampilkan karya memukau dari tanah liat dan mengubah sebuah gudang menjadi wahana pengalaman tubuh yang sensorial dan puitik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Exile is a Hard Job karya Nil Yalter. Dok. La Biennale di Venezia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain MaHKU, kehadiran seniman Amerika Selatan memang cukup dominan dalam penyelenggaraan Venice Biennale kali ini. Dengan berani, Adriano Pedrosa menampilkan praktik-praktik seni yang hidup di tengah masyarakat pinggiran dan sering tak dimasukkan definisi seni. Yang unik, banyak seniman ini yang berasal dari keluarga yang sama, misalnya kakek dan cucu, ayah dan anak, ibu dan anak perempuan, dan kakak-adik. Hal ini menunjukkan sistem edukasi seni masyarakat ulayat tidak tumbuh dalam ruang-ruang kelas yang formal, tapi terhubung dengan keseharian masyarakat. Favorit saya dalam bagian ini adalah duo kakek dan cucu, Andrés Curruchich dan Rosa Elena Curruchich. Dua seniman dari etnis Maya ini sedemikian detail menggambarkan pola kehidupan, pengetahuan, dan keberagaman kebudayaan kelompok etnis mereka. Karya lain misalnya berasal dari komunitas lokal di Cile, Bordadoras de Isla Negra, sebuah anyaman karpet tentang kosmologi lokal yang dibuat oleh masyarakat di Kota Isla Negra pada akhir 1970-an. Menariknya, karya ini pernah hilang selama 22 tahun di masa pemerintahan diktator Augusto Pinochet dan bisa ditemukan kembali beberapa tahun selepas keruntuhan rezim tersebut.

Seniman-seniman dari kelompok ulayat memang melihat karya mereka lebih dari sekadar ekspresi. Mereka juga memandangnya sebagai upaya mendokumentasikan pengetahuan dan kegelisahan mereka atas pergeseran-pergeseran lanskap dan kehidupan. Karena itu, ada sebuah area khusus yang didedikasikan untuk karya bertema lanskap dalam pengertian yang lebih luas dan kritis. Karya-karya Marlene Gilson dari masyarakat warga pertama Australia (suku Aborigin) membangun tatanan keterhubungan antara manusia, ritual, dan semesta. Abel Rodríguez dari Kolombia menampilkan serangkaian gambar yang merupakan penyelidikan personalnya pada kepercayaan leluhur tentang taksonomi dan kategorisasi beragam pohon di Amazon. Sementara itu, Aydeé Rodríguez López dari Meksiko menampilkan lukisan yang menunjukkan perjuangan kelompok Afro-Meksiko dalam meraih kedaulatan atas tanah dan identitas mereka. Ini terutama berangkat dari pengalaman mereka dalam keluarga petani di kawasan pinggiran.

•••

SALAH satu keputusan kuratorial Adriano Pedrosa yang menarik adalah mengundang seniman-seniman modernis Global Selatan yang menunjukkan bagaimana pengaruh seni Barat dalam praktik seni modern berkembang di wilayah jajahan. Karya-karya modern ini oleh Pedrosa dikategorikan menjadi tiga tema utama: Nucleo Abstraction, Self-Portraits, dan Italian Diaspora. Meskipun Venice Biennale lebih berfokus pada seni kontemporer, agaknya bagi Pedrosa menjadi penting untuk memasuki perbincangan tentang tafsir modernisme dan warisan pemikiran kolonial serta pembentukan gagasan individual dalam praktik seni masyarakat yang pernah terjajah. Meskipun menampilkan karya-karya modern, ruangan ini dirancang dengan sentuhan kontemporer yang minimalis sehingga karya-karya itu terasa menyatu dengan karya seni kontemporer lain. Di tengah ruangan, sebuah karya instalasi bambu yang dipulas berwarna-warni segera membangun kesan abstraksi yang kuat.

Dalam ruangan Nucleo Abstraction, saya menemukan karya Fadjar Sidik, seniman Yogyakarta yang juga pengajar di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Karyanya berjudul Dimensi Keruangan IX (1975). Karya ini dipinjam dari koleksi Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, yang merupakan bagian dari refleksi Fadjar berkaitan dengan fenomena sosial urbanisasi dan industrialisasi yang menandai pergeseran politik ekonomi Indonesia pada 1970-an, periode awal kekuasaan Orde Baru. Dalam tulisan Asep Topan yang mengantar karya ini, disebutkan obyek-obyek geometris Fadjar menunjukkan negosiasi antara bentuk dan ruang (dalam kanvas).

Karya Samia Halaby dari Palestina berjudul Black is Beautiful. Dok. La Biennale di Venezia (kiri) dan Dimensi Keruangan IX (1975) karya Fadjar Sidik. Koleksi Galeri Nasional Indonesia (kanan)

Tak jauh dari situ, terpampang karya Hakem Mateki, seniman Tunisia yang lahir dan menghabiskan masa kecilnya di Jakarta, lalu kembali ke Tunisia dan menjadi pelopor penting seni modern di Afrika Utara. Seni modern kawasan Afrika Utara juga terhubung erat dengan konteks Arab, terutama melalui sejarah Islam dan perdagangan. Relasi-relasi semacam ini juga merefleksikan upaya menggambar peta baru keterhubungan pemikiran modern di kawasan Asia-Afrika dan mencari benang merah spirit solidaritas antarbangsa setelah gelombang kemerdekaan.

Karya Samia Halaby dari Palestina, Black is Beautiful, yang dianugerahi penghargaan khusus, menerjemahkan abstrak sebagai spirit perlawanan terhadap penjajahan dan perkawanan dengan yang termarginalkan. Lukisan-lukisan Halaby menerjemahkan realitas yang kompleks dari sejarah pendudukan Israel di Palestina dan perjuangan atas kedaulatan. Halaby juga menjadi sosok pelopor karya-karya yang menggunakan komputika, membawanya pada praktik media baru.

Selain mengelompokkan seniman modern berbasis gagasan abstraksi non-Barat, Adriano Pedrosa memberi perhatian lebih pada karya potret, terutama potret diri. Pilihan ini saya kira juga dipengaruhi oleh dominasi pemikiran modern atas gagasan tentang diri individual, yang terus dirayakan sebagai definisi dan sebelumnya tidak dijelajahi oleh pencipta-pencipta ulayat. Karya-karya seniman Indonesia banyak kita temukan dalam bagian ini. Lukisan potret diri Affandi langsung menyerap perhatian dengan pelototan spontannya yang berani dan persepsi tentang jiwanya yang menantang. Tak jauh dari situ, karya Hendra Gunawan dan Dullah terpajang bersama karya pelukis modern lain, terutama dari kawasan Asia. Di sudut ruangan yang lain, karya Emiria Sunassa menunjukkan wajah perempuan yang demikian berdaya dengan solidaritas dan ikatan yang demikian kuat dengan Papua. Saya merinding bisa melihatnya dalam perhelatan penting dunia ini.

Bagian lain dari pelukis modern dikategorikan oleh Adriano Pedrosa sebagai Italian Diaspora. Di sini ia menyelidiki tersebarnya seniman-seniman Italia ke seluruh penjuru dunia, termasuk ke kawasan Asia Tenggara. Secara teknik pajang, Pedrosa meminjam sebuah sistem yang dirancang oleh arsitek kenamaan Italia yang kemudian bermukim di Brasil, Lina Bo Bardi. Sebagian besar seniman diaspora Italia ini memberi pengaruh besar pada pertumbuhan dunia seni tempatan. Misalnya pengaruh besar Italia pada seni modern di Maroko melalui Casablanca Art School. Atau seniman-seniman Italia yang kemudian memilih bermukim di Amerika Selatan, yang tampaknya banyak mengolah persamaan-persamaan ikonografi. Sayangnya, seniman Italia yang bermukim di Bali menunjukkan pandangan eksotis yang problematik dengan lukisan potret gadis bali berkostum tradisional. Demikian pula seniman yang menggambarkan “budaya Thailand”, semata-mata memindahkan citra perempuan Thailand tradisional ke atas kanvas. 

•••

SEBAGIAN besar seniman kontemporer yang berpartisipasi dalam pameran utama “Foreigners Everywhere” memang berasal dari kawasan Global Selatan, yang menunjukkan konteks-konteks politik spesifik yang lahir sebagai hasil pengalaman penjajahan dan peminggiran. Selain mengundang generasi pionir, Adriano Pedrosa banyak memberikan ruang bagi seniman generasi muda dari berbagai negara, membantu kita melihat dunia dengan perspektif masa kini.

Instalasi karya Mataaho, seniman Selandia Baru. Dok. La Biennale di Venezia



Kesan semacam ini misalnya terasa pada karya kolektif seniman perempuan, Mataaho, dari Selandia Baru, peraih Penghargaan Tertinggi dalam kategori pameran internasional. Karya Mataaho menggunakan teknik anyam tradisional. Materialnya diganti dengan plastik perekat untuk menandai latar belakang mereka dari keluarga kelas pekerja. Anyaman ini ditempelkan di langit-langit bangunan Arsenale yang berdinding bata tua. Anyaman tersebut menjadi penaung yang tidak hanya terasa memukau secara visual, tapi juga memberikan rasa aman dan terlindungi. Empat perempuan dari kawasan Oseania ini menunjukkan keterampilan dan pengetahuan teknik yang menakjubkan, dikombinasikan dengan kedalaman emosi karena keterhubungan mereka dengan sejarah leluhur, tanah, dan jiwa-jiwa. Motif anyaman itu mempunyai konteks pengetahuan kosmologi masyarakat Maori, yang menjadi pijakan penting bagi penghuni bumi untuk bisa terus merawat, menjaga, dan membawa kehidupan yang baik bagi semesta. Dalam ruang Arsenale yang terasa tua, karya ini memberi nuansa kontemporer dan membawa semangat hari ini; bayangan yang jatuh ke lantai membangun sebuah jalinan antara langit dan bumi.

Karya Dana Awartani dari Arab Saudi, Come, let me heal your wounds. Let me mend your broken bones (2024), merupakan sebuah persembahan yang indah dan menyentuh hati untuk para pejuang kehidupan di kawasan konflik, terutama di Timur Tengah, yang telah ratusan tahun hidup dalam trauma kekerasan. Terutama pada hari ini ia mendedikasikannya untuk kehancuran dan kehilangan di Gaza. Dalam detail kain yang dijahit, setiap lubang menandai situs-situs yang diledakkan bom, serangan militer yang membombardir warga, rumah sakit yang dilumpuhkan, sekolah yang hancur, dan sebagainya. Kain berwarna kuning dan oranye yang dipakainya tampak sebagai sesuatu yang cerah dalam ruang Arsenale yang pucat, terasa kontras dengan narasinya yang muram. Barangkali ruang-ruang kontras yang absurd ini kemudian bisa kita baca sebagai harapan? 

•••

PAMERAN utama yang dikurasi oleh Adriano Pedrosa memunculkan perdebatan cukup serius sejak hari-hari awal pembukaan. Di satu sisi, para kurator dan masyarakat seni dari kawasan Asia, Afrika, Amerika Selatan, dan Oseania secara bergembira merayakan karya-karya seniman yang selama ini banyak terlupakan dan tidak masuk arus utama sejarah seni dunia. Di sisi lain, terutama dari kalangan kulit putih sendiri, banyak sekali kritisisme yang muncul berkaitan dengan pilihan kurator untuk berfokus pada kawasan Global Selatan, yang justru berpotensi membawa karya-karya ini dalam cara pandang eksotis. Saya sendiri, terus terang, merasa sangat terharu melihat mereka yang terpinggirkan dan dilupakan itu kemudian menjadi aktor di panggung utama, memberi kita cerita dan narasi sejarah dari konteks yang selama ini asing dan jauh, tapi justru masih sangat relevan dengan situasi masa kini. Tatapan eksotis yang ditakutkan justru secara tajam telah disasar melalui judul pameran, “Foreigners Everywhere”. Adriano Pedrosa menekankan bagaimana kita acap kali justru merasa asing dan berjarak dengan diri sendiri. Tapi ruang seperti itu sering kali kita butuhkan untuk mengenali identitas yang terus bergerak.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Alia Swastika adalah kurator dan Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta. Dia menuliskan laporan ini dari Venesia. Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Venice Biennale 2024: Foreigners Everywhere".   

Alia Swastika

Alia Swastika

Pengamat seni rupa

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus