Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEHARI-HARI, Rosmina, 60 tahun, berjualan baju di Kabaena, sebuah pulau kecil di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Maestro tari itu lebih suka tinggal di Kabaena meski punya rumah dan toko di Baubau. Menurut dia, Kabaena lebih ramai dan menguntungkan karena usaha pertambangan nikel berkembang di sana. Setidaknya sebulan sekali ia terbang ke Surabaya atau Jakarta untuk mengulak baju.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi, ketika “tugas” memanggil, Rosmina siap sedia. Seperti ketika ia harus ikut dalam pementasan Panggung Maestro 4, 9-10 Mei 2024, di Teater Wahyu Sihombing Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Tak hanya ikut menari tari Lumense bersama maestro lain, Wapiah, 62 tahun, ia juga menunggui para juniornya berlatih tarian legendaris ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rosmina mempelajari tarian leluhurnya itu sejak kecil, bermula ketika ia mengintip para tetua pendahulunya dan kemudian ia diajari neneknya. Saat duduk di kelas III sekolah dasar, ia mengikuti beberapa kompetisi tari itu hingga terpilih menjadi perwakilan bersama tujuh anak lain berlatih tari Lumense di Baubau selama enam bulan.
Mereka berpentas di depan perwakilan 27 negara dalam acara di Baubau. “Latihannya ketat, disiplin. Tak hanya menari, tapi juga diajari cara jalan, cara makan bersama, dan sebagainya,” kata Rosmina kepada Tempo, 10 Mei 2024. Setelahnya, ia banyak menarikan Lumense ketika ada acara adat atau acara formal di daerahnya.
Lumense adalah tari adat suku Moronene. Tari ini diciptakan oleh Sangia Sue, salah satu orang yang sakti yang didewakan suku Moronene dan digelari Volia Mpehalu. Pada awalnya tari ini dibawakan oleh 12 perempuan, tapi kini bisa 10 orang yang berperan sebagai laki-laki ataupun perempuan.
Jamaludin, Malani, dan Isudin kemudian merekonstruksi dan meremajakan tari ini agar bisa dipelajari masyarakat luas. Anak-anak dan remaja pun bisa berlatih tarian sakral ini.
Tari ini mengandalkan gerakan dengan iringan gendang, mbololo (gong besar), dan ndengu-ndengu (gong kecil). Sepuluh penari berkostum pakaian adat Tokotu’a yang didominasi warna merah dan hitam. Desain dan warna baju itu terinspirasi burung simpala yang banyak terdapat di Kabaena.
Dengan iringan gendang, gerak penari bertumpu pada gerakan kaki yang terlihat seperti meloncat kecil sembari membentuk segitiga dan garis lurus pada dasar pijakan. Penari "laki-laki" mengenakan topi kerucut berbahan bambu dan memegang parang, sementara penari perempuan mengenakan ikat kepala dan semacam piring kecil serta sapu tangan merah.
Tari ini tak punya banyak variasi gerak. Gerakannya statis, tapi menarik saat mereka mengelilingi batang pisang—menebasnya sebagai klimaks—dan bertukar posisi dalam gerak.
“Pohon pisang itu simbol. Jadi ketika menebang batang pohon harus dengan kemarahan, melepaskan emosi. Itu sebagai pengobatannya,” ujar Rosmina.
Menurut dia, menarikan tarian leluhur ini tak bisa sembarangan, harus hikmat, sesuai dengan pakem sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur.
Maestro lain berasal dari Sombano, Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, yakni Wa Ode Nafsahu. Akrab dipanggil Mama Ungge, Nafsahu, 68 tahun, membawakan tari Lariangi bersama para gadis yang mengelilinginya di Panggung Maestro.
Maestro penari lariangi Wa Ode Nafsahu (68) dalam pentas Panggung Maestro 2024, di TIM, Cikini, Jakarta, 9 Mei 2024. Tempo/Febri Angga Palguna
Mama Ungge tertarik pada tari Lariangi ketika ia mengintip pertunjukan dan latihan menari. Ia kemudian belajar menari, menyanyi, dan bermain tapa-tapa (gendang) kepada ibu dan kakaknya. Ia pun sering menari dalam acara adat, hajatan atau penyambutan tamu. Setelah menikah, ia baru mengajarkan tarian itu kepada para remaja perempuan.
Darah bangsawan Mama Ungge memberinya kesempatan mempelajari dan menguasai tarian dan gendang. Hingga kini ia masih aktif melatih, mengajari, bahkan mengiringi para penari mendalami gerak. Ia tampil bersama Sohora, 60 tahun, yang mempelajari musik pengiring Lariangi. Malam itu, Sohora memainkan ndengu-ndengu.
Yang menarik perhatian adalah kostum para penari yang memakai kain, manik-manik, hiasan sanggul, logam berukir untuk gelang kalung dan hiasan sarung. Semua elemen kostum ini mempunyai simbol atau perlambang.
Bagian kepala disebut panto dan pinto ro, yang melambangkan derajat bangsawan. Ada pula elemen lain seperti hepopu atau konde yang melambangkan Kerajaan Buton, bunga konde yang menyimbolkan pagar beton keraton, dan toboi atas-bawah yang melambangkan prajurit penjaga pasar benteng keraton.
Selain itu, ada yang disebut hebindu atau sangi-sangi yang melambangkan istri Nabi Muhammad SAW, yaitu Fatimah. Kalung melambangkan matahari dan bulan, naga melambangkan penjaga benteng keraton, serta sekori dan gelang bersusun yang menyimbolkan derajat bangsawan.
Lalu ada paes atau riasan pada dahi (habendi) dan rambut yang dibentuk seperti lidah panjang—menjadi kaku oleh lem lilin madu—untuk para penari gadis.
Perias para penari itu adalah Masminah, 62 tahun. Ia belajar kepada neneknya dalam membuat riasan ini. Tak mudah merias bagian kepala para penari.
Tari Lariangi diciptakan pada 1359 di masa pemerintahan Raja Kaledupa kedua, Muhammad Syamsa Alam. Tari ini dibawakan untuk menyambut tamu dalam acara yang dihadiri raja pada Kesultanan Buton.
Di masa kini, Lariangi dianggap sebagai repertoar tarian istana dan dipentaskan di lingkungan istana oleh penari dari golongan bangsawan. Para penari juga harus menyanyi dengan bahasa Kaledupa kuno.
Ada dua-tiga lagu yang dinyanyikan dengan total 30 judul syair, termasuk dalam enam bahasa berbeda, yakni Arab, Melayu, Indonesia, Bugis, Buton atau Wolio, dan Kaledupa. Bahasa Kaledupa kuno saat ini sudah jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Musik dan syair yang menyertai tari ini mengandung pesan nasihat, sejarah, puji-pujian, dan ramalan. Para penari harus belajar menghafal syair, baru gerakannya disesuaikan. Gerakannya cenderung lambat dan statis dari tangan yang menggerakkan kipas dan sapu tangan, gerak kaki, dan putaran tubuh, meski musiknya berirama cepat.
Puncaknya, dua penari laki-laki mengelilingi penari perempuan dalam gerakan yang disebut ngibing, yang menjadi perlambang bahwa laki-laki harus melindungi perempuan.
Panggung ini juga menampilkan para maestro dari Sumatera Barat. Mereka adalah Eri Susanti, 65 tahun, maestro tari piriang; Baharudin, 74 tahun, (ulu ambek); dan Yummartias, 63 tahun, (randai).
Maestro Randai Yummartias (64) di TIM, Cikini, Jakarta, 9 Mei 2024. Tempo/Febri Angga Palguna
Baharudin masih cukup lincah memimpin ulu ambek yang dibawakan empat muridnya yang menyajikan gerak silat di antara dua orang diiringi vokal yang dinamakan dampiang, semacam aba-aba. Ulu ambek lahir di Kabupaten Padang Pariaman. Setiap nagari punya kekhasan ulu ambek. Pertunjukan ini dimainkan dalam laga-laga. Dua orang bertarung tanpa kontak fisik.
Sehari-hari, Baharudin adalah petani. Kakek enam cucu ini mempelajari ulu ambek sejak berumur 15 tahun. Ia berguru kepada tiga orang, yakni Dawaik, Datuk Panjang Julan, dan Datuk Naro Kodo.
Biasanya Baharudin mendapatkan undangan melakukan ulu ambek dalam acara-acara adat dan pengangkatan alih nagari, juga saat berkunjung ke lain nagari. “Kadang dalam sekali perhelatan bisa main tiga hari-tiga malam,” ucapnya.
Adapun Yummartias, yang akrab disapa Pak Oyong, mempelajari randai secara otodidaktik sejak kecil. Sempat ditentang orang tuanya, ia kini menjadi salah satu pilar randai di Sumatera Barat.
Yummartias aktif mengisi kegiatan di tingkat nasional dan pernah memperkenalkan randai dalam program pertukaran budaya Indonesia dan Spanyol beberapa tahun lalu. Randai, dengan gerakan silat yang lincah disertai musik tradisional dan gerakan menggebrak pada celana, menambah semangat para penari.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Di Ujung Senja Merawat Tradisi Leluhur"