Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Putri Tidur Versi Karine Saporta

Pertunjukan Putri Tidur karya koreografer Karine Saporta terasa unik dan menyegarkan.

24 Juni 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Putri Tidur (Belle, au bois dormant - De larmes écarlate (s)) Koreografer : Karine Saporta Produksi : Centre Choréographique National de Caen, Theatre d'Ekaterinbourg, CCF Jakarta Penari : Emmanuelle Cambon, Vsevolod Chamchourine, Oliver Colline, Andrei Parychev, Natalia Pavlikova, Aurilie Morel, Ekaterina Vorobieva, Emile Praud, Agnes Roux, Matthew Bindley Kostum : Irina Aliabieva Penulis Naskah : Oleg Petrov Dekor : Vladimir Oustiantsev Musik : Peter Tchaikovsky Waktu : Juni 2001 JAM pasir yang besar itu dibawa ke hadapan penonton oleh sepasang dayang istana, lelaki dan perempuan. Layar pertunjukan belum dibuka. Detak-detik bunyi jam yang mengucurkan pasir itu melontarkan waktu dari masa kehamilan Permaisuri sampai masa tidur sang Putri: suatu ramalan. Pesta besar di istana diselenggarakan untuk menyambut kelahiran bayi perempuan yang mungil itu, Aurora. Namun, seorang peri tua, Carabosse, yang dianggap sudah meninggal sehingga tidak diundang, muncul dengan marah dalam pesta, lalu melontarkan kutukan: sang Putri bakal tertusuk jarum pintal dan meninggal. Tanpa dinyana, Peri Baik memberikan perlindungan bahwa Aurora tidak mati, tapi hanya tidur. Kelak seorang pangeran akan menyatakan cintanya yang mampu membangunkan sang Putri kembali. Dengan kostum merah yang berkibar, Putri Aurora menari solo di sebuah ruang istana yang besar. Dia meluncur, berputar, rebah di lantai, lalu melenggang kembali. Suasana yang mewah terpancar dengan adanya dekor sebuah puri tempat keluar-masuknya para penari. Dekor puri tidak selamanya menetap di panggung. Dalam adegan mimpi Putri Aurora, meluncur layar tipis menutup panggung di depan puri. Suasana hutan membayang di belakang layar itu. Peri Baik menuntun mimpi sang Putri dengan mempertemukannya dengan sang Pangeran. Inilah adegan yang paling menarik dari pertunjukan itu. Sementara sang Putri asyik-masyuk dengan sang Pangeran, terbayang pasangan yang sama di tengah hutan, bagai pasangan kembar menari di dalam cermin yang besar. Yang mengejutkan adalah bangunnya Putri Aurora di meja operasi seorang dokter. Para penonton menunggu operasi yang akan dilakukan oleh dokter itu terhadap si Putri Tidur (Emmanuelle Cambon). Ternyata, dokter itu (Vsevolod Chamchourine) menciumnya dan sang Putri pun terbangun. Adegan abad ke-21 tergelar di panggung. Dokter dan sang Putri saling memagut dalam irama hip-hop dengan nyanyian rap dalam gerakan stakato breakdance. Dalam balutan kostum abad ke-19 yang mewah dan elegan, serta kostum milenium ke-3 yang eksentrik, pertunjukan yang bersumber dari drama balet Putri Tidur karya Marius Petipa pada 1890 itu di tangan Karine Saporta terasa unik. Adegan kelompok tari yang dikelola Aurora di istananya membuat gusar Farida Oetojo dari Sumber Cipta Dance Theatre. Soalnya, Aurora memberikan aba-aba kepada teman-temannya—putra dan putri—yang sedang berlatih menari, sambil menyetop musik Tchaikovsky beberapa kali. Juga Farida jengkel karena ada penari balet yang satu kakinya memakai sepatu balet (pointe shoes) sedangkan kaki lainnya nyeker (tanpa sepatu). Farida lupa bahwa Karine Saporta menggunakan pendekatan teater tari. Dalam teater tari, seorang koreografer lebih bebas daripada dalam grup tari. Saporta tidak melulu menekankan gemulai tari—di antaranya ada penari yang tubuhnya menurut Farida tidak cocok sebagai balerina—tapi lebih luas dengan menjangkau kawasan cerita, tata kostum, tata lampu, tata panggung, dan tata musik. Seharusnya Farida tidak menggunakan pakem-pakem balet, tapi lebih dengan kacamata seorang koreografer kontemporer. Dalam detail, Saporta memang koreografer yang rajin mencari. Bukan hanya persoalan sepatu balet, ada pula diperdengarkannya bunyi detak jarum gramofon pada piringan hitam yang berderak-derak yang membuat banyak penonton merasa kurang sreg. Dalam latihan gabungan, ada cerita lain yang menarik. Empat penari dari Theatre d'Ekaterinbourg—Vsevolod Chamchourine, Andrei Parychev, Natalia Pavlikova, dan Ekaterina Vorobieva—merasa canggung karena latar belakangnya yang balet klasik. Namun, hal itu akhirnya teratasi. Dalam kondisi Indonesia menjelang bangkrut, seharusnya CCF tidak pelit sehingga pertunjukan ini semestinya bisa lebih dari satu malam. Danarto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus