SEPULUH komidi putar, bercat warna-warni, merah, hijau, oranye, diturunkan dari dua buah truk, digelar di halaman gedung Yayasan Kartika Destarata, Jakarta Barat. Imam Mawardi, kepala seksi pendidikan yayasan pelatihan tunanetra milik keluarga AD itu, heran. "Mereka bilang membuat tontonan teater untuk orang buta, tapi buat apa mainan puter-puteran anak TK ini?" katanya, "Saya tak paham."
Dindon W.S., sang sutradara, awalnya memberikan pengarahan kepada para orang buta di aula, "Bila selama ini Bapak-Bapak hanya bisa mendengar sandiwara radio, kami ingin sekarang Bapak aktif berteater…." Belum putus ucapannya, selawat badar ter- dengar. Menyeruak masuk ke ruangan, aktor-aktor Kubur menabuh rebana. Orang-orang buta itu dipapah mengikuti bunyi. Mereka didudukkan di kursi-kursi komidi putar.
Tiap komidi putar bisa menampung sekitar tujuh orang buta. Para tunanetra itu kaget, menerka-nerka tempat duduk, begitu tahu bisa bergerak. Mereka juga terkejut ketika sadar ada bergelantungan aneka jajanan pasar. Di tengah suasana Islami, aktor-aktor membagikan Aqua. Tak diduga, Andi Bersama, aktor senior Teater Kubur, naik ke atap cungkup mainan undak-undakan, dan berteriak, "Saya mau kencing." Para aktor lain ribut.
Aktor-aktor Teater Kubur dikenal getol mengeksplorasi tubuh bertolak dari properti "keras" seperti tong bekas, kursi seng, dan jebolan besi beton. Trilogi Besi, pentasnya setahun silam, yang menggabungkan tiga sandiwaranya, Sirkus Anjing (1990), Tombol 13 (1994), dan Sandiwara Dol (1998), nonstop dengan improvisasi tubuh yang mengolah kebisingan ketiga materi itu.
Kini, dengan materi besi baru (komidi putar) berjudul Danga-Dongo, suasana yang menekan itu dipersembahkan kepada orang buta. Ini cerita perjalanan serombongan kaum sakit yang mencari obat tapi ketemu bom. Aktor-aktor Kubur berusaha menciptakan suasana kepanikan akan bahaya bom. Mereka berkejaran, telungkup, jongkok, memanjat di antara komidi putar. Kursi-kursi para tunanetra berputar karena ulah itu. Komidi putar dirancang di atas ban dan per sehingga, selain bergerak, bisa mantul-mantul.
Teater Kubur sedemikian rupa berusaha memancing indra perabaan, penciuman, dan pendengaran para orang buta masuk dalam kondisi teror. Seng dipukul seperti letusan tembakan. Erangan-erangan kesakitan. Air disemprotkan ke udara hingga para orang buta itu mengira turun hujan. "Saya mau muntah, huek," teriak seorang aktor Kubur. Serta-merta para orang buta menutup hidungnya. Di akhir pertunjukan, hening, bunga-bunga mawar ziarah ditaburkan. Reaksi cacat tunanetra bermacam-macam. Banyak raut muka mereka pasrah, syok, seperti terperangkap dalam suatu labirin kekerasan.
"Saya membayangkan apakah begini suasananya berlarian di Semanggi," kata Indi Rohendi, 48 tahun, sembari mengusap matanya, yang perih kena semprotan minyak wangi. Seakan itu semprotan gas air mata saat masyarakat lintang-pukang ketika tentara menembaki mahasiswa. Tapi yang merasa stres pun mengeluh. "Saya kira terlalu ramai," komentar Abdullah, 36 tahun, pemijat. Wajahnya pucat. Juga Subekti, 57 tahun, yang keringatnya terlihat bercucuran. "Saya tegang," katanya.
Memang para orang buta di Yayasan Kartika Destarata ini tergolong kurang spontan. Itu karena mereka rata-rata tua. Aksi Teater Kubur lebih semarak di tempat lain. Misalnya pentas di lapangan terbuka SLB Pembina, Lebakbulus, Jakarta, yang dilaksanakan malam hari. Sekitar 40 tunanetra remaja yang terlibat ikut menyanyi-nyanyi dan bertepuk-tepuk tangan. "Imajinasi kita tak kalah dengan orang normal," kata Tholhas Damanik, 27 tahun, dari LSM Mitra Netra.
Sampai ketika ada pertunjukan lagi di Wisma Panti Sosial Bina Netra Tan Miyat, Bekasi, beberapa dari mereka penasaran ikut terus. Dian Puspitasari, 20 tahun, misalnya, pemijat warga Cinere. "Pas bom dibuka, saya berdebar-debar. Ya, ampun. Saya takut. Tapi kok pingin ikut lagi," tutur perempuan yang sewaktu di SD belum mengalami kebutaan itu.
Ide Dindon pun makin liar. "Saya juga ingin melibatkan para tunarungu," katanya. "Rencananya, saya juga akan mencari orang buta liar di jalanan, yang tak tertampung panti-panti," ujar Dindon, yang ketika latihan terus-menerus menutup matanya, untuk merasakan alam orang buta. Ia sendiri sudah mendata semua SLB orang buta yang ada di Jawa.
Yang perlu Dindon perhatikan, kebisingan bukan satu-satunya daya yang mampu menggugah orang buta. Banyak orang buta mengaku kehiruk-pikukan sedemikian kasar sehingga imajinasi mereka tak utuh. Fantasi mereka bergelora tapi tak sampai meresap ke hati. "Saya kagum atas ide mereka menggunakan komidi putar yang merangsang indra dan imajinasi kami," kata Suhartono, 27 tahun, seorang tunanetra yang terlibat, "Tapi pertunjukan ini terlalu verbal. Mereka kurang menyelami kehidupan orang buta." Bila melihat mereka begitu terhanyut saat mendengar sayup-sayup selawat, mungkin suatu kali Dindon perlu menghadirkan para orang buta dalam suasana kesubliman barzanji.
Seno Joko Suyono, Arif A. Kuswardono, Dwi Arjanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini