BUKU Gordon Redding ini mencoba membahas munculnya semangat kapitalisme Cina di antara Cina perantauan (Overseas Chinese) di Hong Kong, Taiwan, dan negara ASEAN. Guru besar manajemen di Universitas Hong Kong ini berpendapat, kedudukan ekonomi Cina perantauan sangat kuat. Mereka mendominasi ekonomi di mana mereka bermukim. RRC, yang berpenduduk 1 miliar jiwa, menurut Redding, mempunyai GNP sebesar US$ 300 miliar, sedangkan Cina perantauan, yang hanya 40 juta jiwa, memiliki GNP US$ 220 miliar. Mengapa kapitalisme bisa berkembang di kalangan Cina perantauan? Redding berpendapat, ini ada kaitannya dengan kebudayaan Cina yang sangat dinamis dan memiliki ''semangat kapitalisme''. Tapi, bentuknya berlainan dengan kapitalisme Barat yang dituturkan Max Weber. Dalam kapitalisme di Asia Timur, terutama dalam hal Cina perantauan, pemisahan antara bisnis dan keluarga belum tuntas, sekurang-kurangnya secara psikologis. Praktek penguasaan finansial juga masih sangat rahasia, jadi tak seluruhnya rasional. Redding mengakui, sejak semula, suksesnya ekonomi di Asia Timur tak bergantung semata-mata pada kebudayaan ekonomi. Ada yang lain, seperti kebijaksanaan yang diambil pemerintah, pergeseran menuju industri dan perdagangan, faktor kultural dan sosial suatu negara, serta struktur sosial yang mendukung bisnis. Namun, Redding berpendapat, faktor kebudayaan ekonomi itu sangat penting. Karena itu, ia hanya menitikberatkan tulisannya pada faktor tersebut. Redding mengatakan, kultur Cina ini sangat kuat di antara Cina perantauan. Ia menyajikan satu bab (Bab 2) untuk membicarakan Cina perantauan. Siapakah Cina perantauan itu? Mereka adalah Cina Hong Kong, Cina Taiwan, dan semua orang Cina di negara-negara ASEAN. Mereka umumnya masih memiliki kebudayaan Khonghucu, bercampur Budhisme dan Taoisme. Kebudayaan inilah yang kemudian menghasilkan dua wadah. Pertama, struktur sosial yang berpusat pada famili, jaringan kerja (networks), dan rasa kesukuan (ethnicity). Kedua, hubungan yang mengutamakan hormat pada orang tua (filial piety), kolektivisme, dan kepercayaan. Kedua wadah ini menimbulkan peraturan (rules of action) yang unik di kalangan Cina perantauan, termasuk etik kerja keras, kesadaran tentang nilai uang, pragmatisme, dan sebagainya. Untuk membuktikan pengaruh kultur Khonghucu ini pada tingkah laku Cina perantauan dalam bisnis, Redding dibantu tiga kolega mewawancarai 71 pengusaha Cina perantauan: 36 orang dari Hong Kong, 20 dari Taiwan, 12 dari Singapura, dan 3 orang dari Indonesia. Dari informasi itu, Redding berkesimpulan bahwa mereka semua terpengaruh oleh Khonghucuisme walau kadang punya agama yang berbeda. Ada tiga faktor yang disebut Redding mempengaruhi tingkah laku Cina perantauan, yaitu faktor ketidakamanan yang disebabkan oleh kurangnya jaminan mengenai hak milik dan ketidakpercayaan terhadap kelompok luar, paternalisme, dan personalisme. Ketiga faktor ini akhirnya menimbulkan bisnis keluarga Cina yang agak unik. Bisnis keluarga perantauan Cina, yang merupakan manifestasi dari kultur Cina, dibahas Redding dari dua sudut: struktur organisasi, termasuk bentuk, ukuran, dan kerangka dasar, serta pengelolaannya, lalu sudut fungsi manajerial, seperti personel dan keuangan. Contoh yang diberikan adalah perusahaan-perusahaan di Hong Kong dan Taiwan. Karena titik berat pada keluarga dan terbatasnya tenaga kerja dalam famili, bisnis Cina perantauan umumnya tak terlalu besar. Di samping itu, terdapat hambatan dari kultur Cina yang tersebut di atas, yang sering mengganjal perkembangan bisnis keluarga Cina. Misalnya, sukarnya memisahkan penguasaan dan pemilihan pemimpin yang didaktik dan hadirnya personalisme. Penemuan dalam buku ini tak banyak yang baru, tapi ada yang menarik. Di samping itu, ada beberapa masalah yang perlu dikemukakan. Misalnya, ia memberikan definisi yang menyatakan bahwa Cina Hong Kong dan Taiwan termasuk Cina perantauan karena orang Cina di Taiwan dan Hong Kong berada di luar daratan Cina. Mereka sama dengan orang Cina di Asia Tenggara. Ini sebuah definisi yang menyesatkan. Penggunaan istilah Cina perantauan untuk merujuk semua orang Cina sudah tentu juga tak benar. Apakah orang keturunan Cina yang sudah menjadi warga negara setempat, lahir dan dibesarkan di luar Cina, masih harus disebut Cina perantauan? Membuat generalisasi Cina di Asia Tenggara, saya kira, sangat gegabah. Penelitian lebih mendalam perlu dilakukan sebelum kesimpulan yang berarti bisa diambil. Leo Suryadinata
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini