''Dua Pengembara Sketsa'', demikian judul pameran dua pelukis seangkatan: Ipe Maaroef, 55 tahun, dan Tedja Suminar, 57 tahun, yang akan digelar di Ruang Pameran Utama Taman Ismail Marzuki, Jakarta, mulai Selasa pekan ini. Judul yang tepat, karena keduanya memamerkan karya sejak tahun 1957 sampai karya yang terbaru. Keduanya juga tetap setia dengan sketsa. Ipe dan Tedja adalah dua sahabat. Mereka berpameran bersama di Balai Seni Rupa Taman Mayangkara, Surabaya, 36 tahun yang lalu. Ipe alias Ismet Pasha, kelahiran Padang, Sumatera Barat, belajar seni rupa di ASRI Yogya dan ITB Bandung. Tedja, anak Ngawi, Jawa Timur, mendapat pendidikan seni rupa di Akademi Kesenian Surakarta. Ipe kemudian melakukan pengembaraan lukisnya ke Indonesia barat, sedangkan Tedja berkeliling Indonesia timur. Kini Ipe, yang tinggal di Jakarta, dan Tedja, yang bermukim di Bali, akan bertemu dengan masing-masing membawa 150 sketsa. Pameran berlangsung seminggu. Budiono dan Sukamto Di Galeri Cipta TIM sedang berlangsung pameran dua pelukis abstrak dari Solo, hingga 31 Oktober ini. Mereka adalah A.S. Budiono, 58 tahun, dan Sukamto, 48 tahun. Keduanya alumni Akademi Kesenian Surakarta. Menurut catatan Kritikus Bambang Bujono, Budiono yang dulu memulai karyanya dengan lukisan nonfiguratif itu akhir 1970-an telah berkembang menjadi pelukis gaya konstruktif wadah ia menemukan dirinya. ''Bentuk-bentuk dalam karya Budiono bukan dilahirkan untuk menyampaikan sesuatu, melainkan lahir karena ada sesuatu dalam diri Budiono,'' tulis Bambang Bujono. Budiono tak lagi merepresentasikan objek, tapi menciptakan objek, setidaknya membuat sebuah konstruksi bentuk dan warna menjelma menjadi suatu susunan yang baru. Adapun Sukamto, yang melanjutkan sekolah ke Jurusan Grafis Seni Rupa ITB dan Belanda, goresan-goresannya memberi efek yang serupa dengan teknik cukilan kayu atau etsa membuat karyanya tampak artistik. Sukamto adalah pelukis yang melihat karya seni sebagai ekspresi pribadi. Ia masih percaya pada emosi, yang harus terasa dalam sapuan dan goresan gambarnya. Perupa yang sudah 34 kali ambil bagian dalam pameran bersama, sejak 1961, ini akan memamerkan 15 karyanya seperti Budiono. Han Snel di Duta Ketika menjejakkan kaki ke Indonesia pertama kali, 1946, Han Snel sebenarnya bertugas sebagai perwira pasukan Belanda. Tapi ia langsung jatuh cinta pada negeri ini, tak lain karena Han Snel yang suka menggambar dan melukis ini menemui kekayaan alam tropis yang, katanya, memberi banyak inspirasi. Tiga tahun kemudian, ia menjadi warga negara Indonesia dan tinggal di Ubud, Bali. Kini, di usianya yang 68 tahun, Han Snel mengajak umum mengenali sejumlah karya lukis abstraknya. Tempatnya di Duta Fine Arts Foundation, Jalan Kemang Utara, Jakarta Selatan, hingga 9 November (lihat Seni Rupa). Dua Veteran Pameran Dua anggota veteran di Medan juga tengah memamerkan karyanya. Mereka adalah Ibrahim Syam, 66 tahun, dan Said Saleh, 73 tahun. Kedua anggota Simpaian Seniman Senirupa Indonesia (Simpassri) yang telah berkarya sejak zaman revolusi itu hingga kini terus berkarya. Pameran ini berlangsung di Galeri Simpassri, Jalan Letjen Soeprapto, Medan, sampai 30 Oktober. Patung Besi di Cemeti Besi telah diubah sedemikian rupa oleh sarjana jurusan seni patung, Ichwan Noor, 30 tahun. Itu karena Ichwan, lulusan Institut Seni Indonesia, ingin mengangkat sensasi abad ini lewat karya-karya patungnya. Yaitu sifat buas, kekuatan, membangun, dan merusak yang, kata Ichwan, merupakan gejala kehidupan kini. Patung-patung Ichwan ini tengah dipamerkan di Cemeti Gallery, Jalan Ngadisuryan, Yogyakarta. Pameran ditutup 30 Oktober 1993. Teguh Karya di TIM Merayakan ulang tahun ke-25, Teater Populer mementaskan drama Inspektur Jenderal. Naskah Nikolai Gogol ini pernah dipentaskan Teater Populer tahun 1960-an dengan gaya Eropa. Kini disajikan dengan setting Jawa Barat di Teater Arena TIM, 25 Oktober sampai 31 Oktober. Inspektur Jenderal menceritakan ''wajah-wajah'' orang munafik, serakah, dan mencari keuntungan sendiri di hadapan ''inspektur pemerintah'' yang ternyata palsu. Drama satire ini didukung banyak nama beken. Sutradaranya, Teguh Karya, ikut main. Aktor Slamet Rahardjo, yang menjadi pemimpin produksi, juga ambil bagian di panggung bersama Niniek L. Karim, Didi Petet, Sylvia Widiantono, dan Zainal Abidin. Musiknya ditangani Idris Sardi, dan busana pemainnya rancangan Samuel Wattimena. Putu Wijaya di GKJ Dramawan senior lainnya, Putu Wijaya, juga manggung lagi. Kali ini, Putu membawakan naskah Aum, yang mengangkat kenyataan-kenyataan pincang di sekelilingnya. Dalam drama yang sudah pernah dipentaskan di Amerika itu, Putu Wijaya menyimbolkan kejanggalan itu dengan kepala yang terlepas dari tubuhnya, manusia berwajah binatang, bertangan banyak, dan sebagainya. Aum produksi Teater Mandiri ini dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta, 29 sampai 31 Oktober. Pendukungnya adalah pemain inti grup itu dengan musik digarap Harry Roesli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini