Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Lukisan Bangau ASEAN, Pusaka di Kediaman Jokowi

Di kediaman Jokowi di Istana Bogor, ada lukisan yang punya riwayat hebat. Lukisan ini sebenarnya bukan untuk rumah privat.

28 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SYAHDAN Joko Widodo atau Jokowi baru terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019. Sejumlah wartawan bertanya, di mana ia akan tinggal dan berkantor selama masa transisi, sebelum memasuki Istana Kepresidenan Jakarta. Soal tempat tinggal ia tak menjawab, tapi soal berkantor ia menyahut, “Di Menteng.” Menteng sebelah mana, tak ada yang tahu. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baru beberapa pekan kemudian terungkap bahwa ia akhirnya berkantor di Jalan Situbondo 10, Menteng, Jakarta Pusat. Kantor itu merupakan sebuah bangunan lumayan besar dengan pendopo berpilar empat. Rumah adem berplafon tinggi dan berinterior manis sehingga nyaman bagi sekelompok orang untuk bekerja serta memikirkan negara. Rumah megah yang menyediakan dinding terbuka untuk dipasangi berbagai hiasan. Meski selama berkantor di situ, Jokowi tak berhasrat memajang lukisan. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah dilantik—berarti usai sudah masa transisi—Jokowi pindah ke Wisma Negara di kompleks Istana Negara dan Istana Merdeka, Jakarta. Namun Jokowi agaknya kurang kerasan tinggal di sini. Ia pun mensurvei lokasi lain sampai menemukan Wisma Dyah Bayurini, yang terletak di kompleks Istana Bogor, Jawa Barat. Sebuah paviliun yang didirikan oleh Presiden Sukarno pada 1958 untuk menyambut putrinya yang bakal lahir dari Hartini, yang sudah disiapkan namanya: Dyah Bayurini. Meski yang muncul ke dunia ternyata bayi laki-laki, yang kemudian diberi nama Bayu Soekarnoputra. 

Pada pertengahan Februari 2015, Jokowi pindah ke Wisma Dyah Bayurini. Wisma ini dianggap menyenangkan. Sebab, di situ Jokowi yakin bisa berpikir tenang dan bisa banyak merenung. Lingkungan wisma memang sungguh menyajikan suasana hening. Lantaran banyak rumah di situ, Jokowi memilih berkantor di gedung induk Istana Bogor, yang bisa dicapai hanya dengan berjalan kaki. 

Atas pilihan ini tentu saja banyak yang heran karena rumah tersebut terbilang “sangat kecil” untuk ukuran seorang kepala negara. Bayangkan, rumah satu lantai itu hanya memiliki dua kamar tidur serta bilik yang ditata sebagai living room dan ruang tamu. Selebihnya adalah dapur dan teras kecil. Namun di Wisma Dyah Bayurini, sang presiden hidup nyaman. Melihat tata interiornya, kelihatan sekali betapa Jokowi (dan Iriana) tidak ingin bermewah-mewah. Bahkan sebagian perabotnya juga peninggalan era lama sehingga out of date. 

Tempat kerja Presiden Joko Widodo di Jalan Situbondo, Menteng, Jakarta, sebelum pindah ke Wisma Negara. Agus Dermawan T.

Namun, apabila kantornya yang luas di Jalan Situbondo dulu dindingnya nyaris dibiarkan kosong, di bagian atas atas wisma yang mungil ini Jokowi justru ingin berhias-hias meski hanya dengan karya seni yang jumlahnya minim sekali. Di salah satu pojok terpajang lukisan realis gadis Bali menari. Sementara itu, di dinding lain yang membentang, terpajang lukisan karya Basoeki Abdullah yang indah, Bangau-bangau Pancasila. Lukisan berukuran 2 x 5 meter ini dibuat dengan cat minyak di atas kanvas.

Lukisan Bangau-bangau Pancasila menggambarkan lima ekor bangau yang tengah berbahagia di tepian pantai dengan ombak menderu. Bunga pohon flamboyan yang mekar hampir memenuhi ruang kanvas. Pohon-pohon kokoh dengan batang yang meliuk artistik itu berdiri di atas tanah subur. Batu-batu tebing digambarkan menahan batangnya sehingga pohon itu tidak akan roboh saat ditiup angin, bahkan topan. 

Ada kisah menarik di balik lukisan ini yang belum diketahui banyak orang. Kisah yang sesungguhnya dari awal bisa “membatalkan” hasrat Jokowi memajang lukisan tersebut di kediamannya.

Alkisah, pada pertengahan 1970-an, Basoeki Abdullah balik ke Indonesia setelah tinggal lama di Bangkok, Thailand. Di Jakarta, ia bertemu dengan Adam Malik, Menteri Luar Negeri. Dalam pertemuan itu, Adam Malik, yang dikenal sebagai kolektor karya seni, meminta Basoeki melukis secara simbolis persatuan negara-negara di Asia Tenggara, yang pada 8 Agustus 1967 terformulasi dalam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Basoeki memahami dorongan lahirnya opdracht dari Adam Malik ini. 

“Bung Adam adalah penanda tangan Deklarasi Bangkok yang menandai berdirinya ASEAN. Ia ingin mendokumentasikan jasanya, dan itu layak,” katanya. Bersama Adam Malik, menteri luar negeri lainnya yang ikut membubuhkan tanda tangan adalah Narciso Ramos dari Filipina, Thanat Khoman (Thailand), Tun Abdul Razak (Malaysia), dan Sinnathamby Rajaratnam (Singapura). 

Setelah bertahun-tahun, lukisan itu tidak juga dikerjakan. “Saya sedang malas melukis tema politik,” kata Basoeki. 

Wisma Bayurini yang digunakan Presiden Joko Widodo melaksanakan salat Idul Adha 1441 H di halaman kompleks Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, 2020. BPMI Setpres

Basoeki malah menciptakan lukisan sosok Adam Malik yang sedang duduk santai, dengan warna kromatik. Namun, walau belum dibuat, konsep visual lukisan ASEAN tersebut sudah mengkristal. Dalam benaknya, Basoeki ingin melukis bangau putih, yang dalam mitologi Tiongkok kuno dianggap sebagai lambang panjang umur. Ia ingin menegakkan pohon-pohon flamboyan di tepian pantai karena bunga flamboyan (Delonix regia) selalu mekar anggun di langit terbuka Asia Tenggara. Sementara itu, jumlah lima (bangau) mengindikasi lima negara pendiri ASEAN: Indonesia, Filipina, Thailand, Malaysia, dan Singapura.

Waktu pun menginjak 1982. Basoeki menggelar pameran di Hotel Hilton Singapura. Dari seorang pejabat Singapura, Basoeki diharap menghadirkan lukisan tentang ASEAN. Timbul hasrat Basoeki mempresentasikan gagasan “bangau ASEAN” itu. Namun dorongan itu diurungkan karena ia lebih ingin melukis tentang duyung Laut Selatan, mengacu kepada kata Nanyang (Laut Selatan) yang menjadi tanda geografis wilayah Singapura. Lukisan itu menggambarkan seekor putri duyung di dasar laut indah yang sedang menatap takjub tebaran lima mutiara, metafor dari negara-negara ASEAN. 

Adam Malik, yang sudah jadi wakil presiden, tahu ihwal lukisan itu, yang dalam pameran diberi judul Struggle for Re-establishment of the Democracy and the Right for the People. Ia juga tahu bahwa lukisan itu akhirnya dibeli oleh Singapore Art Museum. Adam Malik lantas menagih Basoeki. Hal ini membuat Basoeki mulai berhasrat lagi menggarap “bangau ASEAN”. Ingatan Basoeki masih tertuju kepada Adam Malik yang berkaitan dengan pendirian ASEAN oleh lima negara. Dengan demikian, di kanvas pun Basoeki melukis lima ekor bangau. 

Lukisan itu pada tahun-tahun berikutnya diakuisisi oleh Istana Kepresidenan dan dipajang di Puri Bhakti Renatama (lama) yang terletak di kompleks Istana Negara. Ketika proses akuisisi terjadi, Basoeki menitipkan pesan bahwa lukisan tersebut adalah simbol lima negara ASEAN sehingga judul sesungguhnya yang tak tertulis adalah Bangau-bangau ASEAN

Dengan begitu, lukisan simbolik itu diperuntukkan kepada negara, bukan untuk privat. Perkataan ini di kemudian hari dipertegas oleh pernyataan Sampurno SH, Kepala Rumah Tangga Kepresidenan. “Lukisan bangau karya Basoeki Abdullah, walau yang tergambar cuma pemandangan dan burung, merupakan dokumen politik negara sehingga letaknya harus di rumah kenegaraan.”

Ketika lukisan itu telah berada di Istana Kepresidenan, jumlah anggota ASEAN sudah menjadi enam, dengan masuknya Brunei Darussalam. Dengan begitu, judul (atau tema) lima negara ASEAN itu jadi tidak relevan lagi sehingga judul lukisan itu pun diganti oleh pihak Istana menjadi Kawanan Bangau di Pantai. Apalagi pada tahun-tahun selanjutnya anggota ASEAN terus bertambah dengan masuknya Vietnam, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Timor Leste. Suatu hal yang menyebabkan gambaran lima bangau itu makin jauh dari konteks.

Lukisan Basoeki Abdullah tentang Putri Duyung Laut Selatan dengan lima mutiara ASEAN, yang jadi koleksi Museum Nasional Singapura. Repro Agus Dermawan T.

Namun lama-kelamaan judul tersebut dirasa terlampau klangenan, ringan, komersial, dan kurang bermuatan. Padahal lukisan itu diciptakan dengan semangat politik yang besar dan berat. Dengan begitu, judulnya pun diganti lagi menjadi Bangau-bangau Pancasila. Alasannya setiap bangau dianggap cocok mewakili satu sila. 

Pada 2006, terjadi perputaran tempat pemajangan lukisan antara Istana Jakarta dan Istana Bogor. Sesuai dengan saran Sampurno SH, Bangau-bangau Pancasila lalu dipajang di ruang perak atau ruang meja oval, di gedung induk. Nah, dari ruangan inilah lukisan itu lantas berpindah ke Wisma Dyah Bayurini. 

Jokowi dan Iriana sangat senang atas pemajangan lukisan yang indah dan berwarna semarak itu. Keluarga Jokowi tidak pernah tahu bahwa lukisan tersebut sesungguhnya “harta pusaka” yang tidak boleh dipajang di ruang privat. Hal ini terjadi karena dokumen Koleksi Benda Seni Istana Presiden memang tidak mencatat secara resmi, apalagi mengumumkan, ihwal sejarah penciptaan itu.

Dalam konteks koleksi sekarang, lukisan tersebut statusnya setara dengan lukisan-lukisan biografis para presiden Republik Indonesia, yang kini terpajang di Museum Istana Presiden Yogyakarta.

Joko Widodo akan mengakhiri jabatannya sebagai presiden pada Oktober 2024. Lukisan itu dipastikan bakal kembali ke habitat yang sebenarnya: istana kenegaraan atau kepresidenan. Topik dan judul lukisan itu pun seharusnya kembali ke asal mulanya, Bangau-bangau ASEAN.

Catatan ujung, lukisan ini dalam penilaian aset koleksi seni Istana Kepresidenan pada 2011, sesuai dengan data yang sudah dilaporkan ke Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, dihargai Rp 3,7 miliar. Pada 2024, sudah diestimasi menjadi Rp 7 miliar.

Penambahan nominal ini di antaranya berkaitan dengan realitas sejarah kepemilikan (provenance history) bahwa lukisan yang pernah menjadi pajangan utama di rumah orang sangat penting akan terkerek nilai nominalnya. Ya, seperti lukisan Mona Lisa karya Leonardo da Vinci, yang pernah diboyong Napoleon Bonaparte. 

Jadi, untung lukisan Bangau-bangau ASEAN pernah “diculik” oleh Presiden Joko Widodo. *

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Agus Dermawan T

Agus Dermawan T

Pengamat seni

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus