Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsitektur

Raja Tak Lagi Tetirah ke Pesanggrahan

Pesanggrahan Ambarrukmo dirusak demi pembangunan hypermall. Padahal bangunan abad ke-19 ini merupakan situs sejarah yang dilindungi.

6 Maret 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siang itu, Selasa pekan lalu, se-perti siang sebelumnya. Ambar-laksono hanya bisa menatap- pu-luhan pekerja bangunan mem-baringkan diri, melepas penat di lantai pendapa Pesanggrahan Ambarrukmo. Memang ada larangan untuk- tiduran di atas lantai bangunan itu. Tapi tak ada yang peduli. Pendapa Ambarrukmo tetap menyisakan suasana teduh, meski pohon sawo kecik yang mengelilingi pendapa itu sudah tidak berbuah lagi. ”Mungkin karena pe-ngaruh kegiatan pembangunan mall ini,” ujar Ambarlaksono.

Ambarlaksono, 75 tahun, seorang -pen-siunan Brimob di Jakarta. Di Yog-ya-karta, ia meneruskan pekerjaan ayah-nya: mengabdi sebagai pegawai keraton, dengan tugas khusus mengurus Pesanggrahan Ambarrukmo. Dan kini ia sedang sedih.

Lihatlah. Di arah bangunan gandhok tengen (serambi kanan) di sebelah barat pendapa, sejumlah pekerja sedang sibuk merapikan dinding yang kelihatan baru dibangun. Dinding baru menyambung tembok lama. ”Tembok yang pa-ling ujung sempat diruntuhkan,” kata Ambarlaksono. Selain itu, seluruh dinding belakang gandhok tengen yang membujur dari selatan ke utara dipangkas habis, dan atap genting bagian belakang dicopot. Kini bagian belakang bangunan itu ditutup dinding beton masif gedung modern Plaza Ambarrukmo, yang sedang dalam tahap penyelesaian. Apa boleh buat, bangun-an gandhok tengen yang sejatinya le-bih dulu ada malah terlihat menempel di dinding pusat belanja berlantai empat itu.

Gandhok tengen dan gandhok kiwo merupakan bagian dari Pesanggrahan- Ambarrukmo yang dibangun pada masa Sultan Hamengku Buwono V (1823-1855). Kedua bangunan yang memanjang dari selatan ke utara ini bak penyeimbang struktur bangunan- utama- di bagian tengah. Fungsinya untuk tamu menanti kedatangan sultan-. Gandhok tengen biasanya digunakan- tamu penting, sedangkan gandhok kiwo untuk tamu biasa. Keduanya -ruang pendukung terhadap bangunan utama. ”Setelah raja siap menemui mereka, pertemuan raja dengan tamu dilakukan di pendapa,” ujar Purwanta, dosen sejarah Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Pembangunan pesanggrahan diselesaikan pada masa Sultan Hamengku Buwono VII (1877-1921). Di situlah Sultan menerima tamu dari Keraton Kasunanan Surakarta. Di depan pesanggrahan memang terbentang jalan yang menghubungkan Yogyakarta dan Surakarta. Kala itu di sekitar pesanggrahan masih berselimut hutan. ”Sultan sering berburu, setelah berburu, Sultan dan pengikutnya istirahat di sini,” tutur Purwanta. Selain itu, pesanggrah-an ini juga dipakai untuk samadi, terutama bagian ndalem. ”Suasananya tenang dan mungkin bisa memberikan inspirasi yang banyak bagi raja yang melakukan meditasi,” kata Purwanta.

Banyak pesanggrahan didirikan: Pesanggrahan Ambarketawang di daerah Gamping, yang hanya tersisa reruntuh-an-nya; pesanggrahan di Warung Boto dan Manukberi; dan pesanggrahan Tamansari, yang dulu digunakan untuk keputren.

Pesanggrahan Ambarrukmo diba-ngun dengan pola dan corak arsitektur- Jawa klasik. Ada pendapa di bagian depan dan ada ndalem (bangunan utama) di belakangnya. Warna hijau mendominasi tiang-tiang kayu yang penuh ragam ukir sebagaimana corak bangun-an Keraton Yogyakarta. Pohon sawo kecik yang merupakan tanaman khas di keraton mengelilingi pendapa. ”Dulu orang sering menyewa pendapa ini untuk pesta perkawinan karena gengsi Keraton,” kata Ambarlaksono.

Pendapa berhubungan dengan nda-lem-. Sedangkan di bagian belakang bangunan utama terdapat bangunan oktagonal (bersudut delapan) yang disebut Balai Kambang. Berlantai dua, bergaya arsitektur gado-gado. Bagian bawah ditopang tiang beton gemuk bergaya Eropa, sedangkan bagian atas bercorak arsitektur Asia yang ringan. Dari lantai dua bangunan yang dike-lilingi kolam ini dulu sultan menikmati lanskap sawah dan pedesaan yang terhampar hingga Gunung Merapi.

Suasana di sekitar Pesanggrahan Ambarrukmo mulai berubah ketika Hotel Ambarrukmo berdiri di sebelah timur pada 1964. Pemerintah Presiden Soe-karno mendirikan bangunan modern ber-lantai tujuh pertama di Yogyakarta ini dengan uang kompensasi pampa-san perang dari Jepang. Pembangunan hotel ini mengorbankan gandhok kiwo. ”Saudara kembar” gandhok tengen ini dirobohkan. Menurut Purwanta, Sultan Hamengku Buwono IX menolak ren-cana pelaksana proyek yang hendak- merobohkan gandhok kiwo. Tapi toh gandhok itu akhirnya dilenyapkan juga. Bak satu kaki diamputasi, keseimbangan arsitektural bangunan ini pun pincang. Inilah awal proses penghancuran situs bersejarah itu.

Hiruk-pikuk industri pariwisata meng-ubah fungsi pesanggrahan menjadi sekadar bagian dari fasilitas hotel berbintang empat yang termegah di Yog-yakarta kala itu. Pendapa disewakan untuk pesta perkawinan atau tempat berbagai kegiatan pameran, gandhok tengen disewakan sebagai kantor biro perjalanan, dan bangunan Balai Kambang di belakang difungsikan sebagai restoran.

Kini penghancuran terhadap Pesanggrahan Ambarrukmo diteruskan- setelah pengelola Hotel Ambarrukmo mengembalikan lahan kepada Keraton Yogyakarta pada 2004 karena hak pakai lahan berakhir. Pihak Keraton menggandeng jaringan hypermall kelas dunia asal Prancis, Carrefour, se-bagai penyewa utama, untuk mendirikan Plaza Ambarrukmo. Dan pembangun gedung ini, PT Putera Mataram Mitra Sejahtera (PT PMMS), tak hanya melanggar persyaratan jarak lima meter mendirikan bangunan di dekat situs ber-sejarah, tapi lebih jauh lagi: mem-babat habis dinding belakang gandhok tengen. Menurut Direktur PT Putera Ma-taram, Tjia Eddy Susanto, yang mereka lakukan adalah merenovasi Pesanggrah-an Ambarrukmo. ”Setiap pembangunan pasti tidak bisa memuaskan semua pihak,” ujar Tjia, enteng.

Hebatnya, pembangunan dimulai (pa-da 2004) tanpa mengantongi analisis mengenai dampak lingkungan. Pendu-duk di sekitar pun hanya bisa mengeluh akibat penanaman tiang pancang de-ngan alat berat, yang membuat puluh-an rumah retak. Tapi perusakan gan-dhok tengen berlanjut. ”Saya jamin keberadaan gandhok tengen, baik posisi maupun bentuknya, tak akan berubah banyak dari semula. Tapi, kalau harus- sama persis seperti dulu, tentu- tak bisa,” ujar KGPH Hadiwinoto, Peng-ageng Kawedanan Hageng Punokawan Wahanasartakriya (kepala urusan rumah tangga) Keraton Yogyakarta.

Protes pun dilayangkan Jogjakarta- Heritage Society ke Kedutaan Besar Prancis di Jakarta pada 2004. ”Pemerin-tah Prancis dikenal sangat menghargai warisan budaya, tapi perusahaannya di Indonesia justru merusak pusaka budaya,” kata Laretna dari Jogjakarta Heritage Society. Puluhan perupa menggelar seni rupa publik bertajuk ”Di Sini Akan Dibangun Mall” sebagai bentuk protes. Saat itu kebetulan di Yogyakarta direncanakan pembangunan delapan mall—termasuk Plaza Ambarrukmo. Jumlah pusat belanja itu dinilai berlebihan untuk populasi Kota Yogyakarta yang hanya sekitar 500 ribu jiwa.

Menurut Laretna, sikap Keraton membiarkan perusakan Pesanggrahan Ambarrukmo menunjukkan tidak ada sikap respek terhadap pusaka budaya sekaligus merugikan kekayaan Yogyakarta sebagai kota budaya. ”Perusakan dan pembangunan mall itu membunuh diri sendiri. Sebab, kekuatan Kota Yogya justru terletak pada heritage,” katanya. Yogyakarta merupakan salah satu dari 61 kota bersejarah di dunia sebagaimana dinyatakan League of World Historic Cities di Kyoto, Jepang, pada 1994.

Aksi protes itu belakangan menimbulkan kemarahan Sultan Hamengku Buwono X yang yang juga menjabat Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Terlebih setelah rencana membangun- fasilitas parkir bawah tanah di Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta juga menuai protes. ”Apa arti semuanya itu…? Sekadar mempermalukan saya di hadapan orang luar bahwa saya tidak- mengerti sama sekali tentang pelestarian pusaka budaya…?”tulis Sultan dalam surat terbuka yang dimuat di sejumlah media massa.

Toh ada penjelasan lain dari adik kandung Hamengku Buwono X, Hadiwinoto. Ia mengaku Keraton memang butuh uang, sehingga lahan milik Kera-ton -dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi. ”Keraton melibatkan pihak lain untuk membiayai pemeliharaan pe-ninggalan bersejarah itu,” ujar Hadiwinoto.

Namun, bagi Purwanta, pesanggrah-an Ambarrukmo perlahan akan ha-n-cur. ”Terlebih, dengan hadirnya mall, secara kultural makna pesanggrahan akan lenyap,” ujar Purwanta. Zaman memang sudah berubah.

Raihul Fadjri, Syaiful Amin (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus