Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
The Dao of Muhammad Pengarang: Zvi Ben-Dor Benite Penerbit: Harvard University Press Tebal: xii + 280 halaman Cetakan: I, November 2005
Semakin hari, Cheng Hoo semakin menjadi sosok penting- dalam pembauran Islam dan Cina—khususnya Indone-sia, umumnya Asia Tengga-ra-. Tapi simaklah buku The Dao of Muhammad-, terbitan November tahun lalu, niscaya kita mendapat gambaran berbeda. Banyak intelektual muslim Cina pernah menggulirkan strategi akulturasi hebat, bahkan le-bih hebat dari Cheng Hoo, di negeri itu.
The Dao of Muhammad membahas- pe-riode awal abad ke-17-akhir abad ke-18. Periode dinasti Qing, ketika- pa-ra sarjana Cina melakukan konsoli-da-si dan meningkatkan jaringan penge-ta-huan. Pada periode inilah ter-bit se-buah buku daras kurikulum pendi-dikan sarjana muslim: Kitab Han. Kitab ini bercerita betapa para sarjana- wak-tu itu berpengetahuan agama sangat tinggi, tapi larut dalam ke-budaya-an lama warisan nenek-mo-yangnya—masih dekat dengan Kon-fusianisme.
Ya, keyakinan baru dalam identitas lama. Hasilnya, satu ekspresi baru keberagamaan. Adalah Pa-la-dius, seorang kepala biara asal Rusia, yang menemu-kan fenome-na ini saat menjalankan misinya- ke Beijing, Cina, pada 1877. Pe-nelitian Paladius menyebut Liu Zhi, se-orang sarjana Cina muslim yang menuliskan biografi Nabi Muhammad da-lam kacamata kebudaya-an Cina. Da-lam penelitian yang diterbitkan pada 1887, Paladius menangkap semangat- Liu Zhi dan kawan-kawan untuk men-jembatani dua wilayah kebuda-yaan yang berbeda.
Untuk memperkaya keyakinan barunya, sejak 1630 para intelektual Ci-na muslim itu melakukan penerjemahan karya-karya penting-, dari bahasa Arab dan Persia, ke bahasa Cina. Juga menulis sebuah kamus serta buku pe-lajaran tata bahasa Arab dan Persia- un-tuk masyarakat dan kekaisar-an Cina (waktu itu di bawah dinasti Manchu). Bahkan mereka ju-ga menulis- konsep-konsep kun-ci dari Qur-an dan Hadis, se-cara filo-sofis. Proses interaksi mere-ka secara intensif de-ngan ke-budayaan Ci-na telah memungkinkan terbuka-nya sebuah mazhab Cina muslim dalam ling-kup pendidik-an sekali-gus pemikir-an Islam.
Ada Liu Zhi, ada pula Zhao Can, in-te-lektual muslim Cina klasik, pe-nu-lis genealogi para keluarga intelek-tual Cina muslim terpandang yang telah melahirkan beberapa karya penting. Kitab ini juga mengisahkan bagaimana- kurikulum pendidikan Cina muslim disusun, komunitas in-tele-k-tual di-bentuk, dan pola pengajaran di-berla-kukan di sekolah Cina muslim. Suatu strategi yang berhasil. Pa-da gilirannya,- pertumbuhan dan per-kembangan kaum intelektual Cina muslim ikut mewarnai proses pemben-tukan identitas bangsa Cina yang telah menerima waris-an kebudayaan secara turun-te-murun.
Untuk mempercepat pro-ses saling- memahami budaya Arab/Persia-Ci-na, terca-tat se-jumlah penerjemah. Pen-di-dik-an yang khusus di Nanjing me-nelurkan Zhang Junshi, juga Chang Yunhua dan Li Yanling (keduanya pendiri mazhab Jining di Shantung). Di samping itu masih ada Yu-an Shengzhi (pendiri mazhab Yuan di Nanjing). Kelak di kemudian hari, jaringan intelektual Cina muslim ini tumbuh demikian kukuh meski masingmasing mazhab memiliki pendirian dan dasar filosofis Islam yang unik.
Strategi akulturasi intelektual mus-lim Cina agar ajaran Islam bisa di-terima luas berpangkal pada satu titik: Nabi Muhammad sebagai rantai pertama dalam transmisi pengetahu-an. La-yaknya para sarjana Cina non-muslim yang menjadikan Konfu-sius sebagai rantai pertama transmisi pe-nge-tahuan mereka, Muhammad digambarkan sebagai figur suci yang membawa ajaran keselamatan. Karena itu, dalam kitab nasab Zhao Can disebutkan, para intelektual muslim Ci-na menandaskan ajaran Islam adalah ”Dao Muhammad”, jalan kebaikan dan ke-benaran yang dibawa Mu-hammad. Hasilnya, ajaran Islam dipandang masyarakat umum Cina bukan seba-gai ajaran asing-, melain-kan ajaran yang tumbuh dari da-lam masyarakat Cina sendi-ri, sebagaimana halnya Kon-fusius.
Karya yang diangkat dari disertasi- doktor di UCLA ini jelas unik. Bia-sanya, fokus perhatian para sarjana terpaku pada aspek politik atau per-kembangan sosial saja. Dru Gladney, misalnya, terfokus pada dinamika sosial etnis muslim Cina kontemporer. Se-dangkan Wen-djang Chu menyoroti pemberontakan muslim di Cina. Semen-tara itu, penulis keturunan Yahudi ini justru ingin menukik ke jantung pencerahan muslim Cina.
Rosdiansyah, Kepala Divisi Informasi dan komunikasi PSP Etik, Surabaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo