Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Berbahasa Indonesiakah RUU Antipornografi?

6 Maret 2006 | 00.00 WIB

Berbahasa Indonesiakah RUU Antipornografi?
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ayu Utami

  • Penulis

    Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi ada-lah lawakan yang mengerikan. Bukan menggelikan. Seper-ti kita tahu, lawakan adalah penjungkirbalikan akal sehat atau logika bahasa. Tetapi, kali ini yang dihasil-kan-nya bukanlah kelucuan, melainkan- -kengerian. Karena, lawakan ini kelak bisa dipakai menghukum orang.

    Marilah kita lihat seperti apa naskah- rancangan undang-undang ini. Saya khawatir naskah rancangan ini ditulis- oleh orang-orang yang seharusnya tidak lulus sekolah menengah, sebab tampak bahwa mereka tidak (atau tidak suka) membuka kamus dan tidak begitu tahu beda kata benda dan kata kerja. Rancangan undang-undang ini kurang menghormati bahasa Indonesia. Atau, katakanlah penulisnya semata-mata sembrono terhadap bahasa nasional kita. Tapi, tidakkah kesembronoan terhadap bahasa nasional ini mencerminkan sikap yang sama ter-hadap kebangsaan Indonesia?

    Kreativitas berbahasanya dalam menciptakan bentukan kata baru ”porno-aksi” boleh kita acungi jempol—jempol ke atas atau ke bawah, silakan. Tapi, dari persoalan kelas kata, misalnya, rancangan ini memperlakukan kata ”seksual” sebagai kata benda. Pasal 1 ayat 1: Pornografi adalah substansi dalam media atau alat komu-nikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika. Penjelasan pasal tersebut: Seks-ual adalah hal-hal atau perbuatan yang berkenaan dengan perkara seks. Jelas sekali secara gramatika maupun definisi, penyusun mengira seksual adalah kata benda. Di mana pun, para ahli bahasa serta murid yang memenuhi standar akademik tahu bahwa seksual, atau sexual (Inggris), adalah kata sifat, ajektiva, bukan kata benda, nomina.

    Apakah kita rela menyerahkan pe-ran-cangan undang-undang tentang -ak-hlak bangsa kepada orang-orang yang tak menghargai bahasa bangsa-? Oh, tentu para penyusun Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi bisa meminta maaf dan mengganti kata seksual dengan seksualitas. Beres? Nanti dulu.

    Rancangan Undang-Undang Anti-pornoagrafi dan Pornoaksi- melakukan kerancuan ka-te-gorisasi pengertian yang lucu, yaitu menyamakan yang berbeda dan membedakan yang sama.

    Contoh kocak: nas-kah ini membedakan masturbasi- dan onani. Kedua-nya termasuk yang dilarang dilakukan- atau ditirukan di mu-ka umum. Lho, apa beda keduanya? Dalam Kamus Besar Bahasa Indo-nesia, onani bersinonim dengan- masturbasi. Dari segi pengertian, onani memiliki luas makna yang le-bih spesifik: yaitu pengeluaran mani tidak melalui sanggama. Kata ini ber-asal dari kisah dalam Alkitab Yahudi dan Kristen, tentang tokoh bernama Onan yang tidak mau menghamili istrinya dan selalu melakukan coitus interruptus. Tapi, etimologi bisa apa pun. Prakteknya, kedua kata itu kini merujuk pada konsep yang sama, yaitu merangsang kelamin bukan dengan persetubuhan. Naskah rancangan ini membuatnya berbeda.

    Bolehlah kita dengan susah payah serta niat baik mencoba menduga apa yang dimaksud para penyusun-. -Barangkali masturbasi adalah me-rangsang kelamin sendiri, dan onani merangsang kelamin orang lain? Atau, masturbasi itu tidak harus mengeluar-kan sperma, sementara onani mensyaratkan sejumlah tertentu sperma?

    Kita pun bertemu dengan kesalahan logika yang lain, yang menyamakan hal-hal yang berbeda. Misalnya, erotika menjadi sama dengan kecabulan, yaitu sama-sama melanggar kesopanan dan/atau kesu-silaan (Penjelasan Pasal- 1). Para penyusun rancangan undang-undang ini tidak tahu bahwa, dalam bahasa Indonesia, erotika memiliki makna netral, yaitu karya yang berkenaan dengan kebirahian, tanpa diartikan melanggar kesopanan.

    Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi telah me-mer-kosa bahasa Indonesia. Atau, barangkali ia bukan ditulis dalam bahasa Indonesia, sebab ia memiliki definisi yang tak ada dalam konvensi maupun kamus. Ia memaksakan pengertiannya sendiri. Saya ragu bahwa penyusun naskah rancangan ini masih mencita-citakan- Republik Indonesia. Sebab, ia sewenang-wenang terhadap keragaman bangsa ini sebagaimana ia sewenang-wenang terhadap bahasa Indonesia.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x100

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x600
    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    close

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x100
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus