Ini festival Tari Ramayana dengan empat gaya di Panggung Candi Prambanan. Ternyata, belum ada perkembangan baru. ADA monyet jadi duta. Itu terjadi di Prambanan, Yogya. Dalam festival tari Ramayana selama empat hari yang berakhir pekan lalu, monyet putih Anoman itu tampil sebagai penyelamat dalam cerita Anoman Obong, alias Anoman Duta. Ia diutus Rama menyerahkan cincin kepada Sinta, istrinya, yang diculik Rahwana. Malang, ia tertangkap oleh pasukan Kerajaan Alengka, lalu dibakar. Namun, karena sang monyet sakti, kobaran api yang dipersiapkan oleh raksasa Cakil tak mampu membakarnya. Ia bahkan berubah jadi empat Anoman, membawa api, dan mengamuk ke seluruh penjuru istana. Alengka pun disulapnya menjadi lautan api. Itulah klimaks cerita Anoman Obong sajian para mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Solo di pentas terbuka Taman Wisata Candi Prambanan pada malam kedua. Tarian gaya Surakarta yang dibawakan oleh 100 pemain garapan koreografer Sunarno itu akhirnya oleh tim juri dinyatakan sebagai penyaji terbaik. Sepanjang pengamatan wartawan TEMPO Sri Wahyuni, yang menonton setiap malam, gaya Solo ini memang secara utuh menampilkan gesture yang komunikatif. Adegan-adegannya, juga sentuhan-sentuhan emosionalnya, dengan mudah bisa dinikmati oleh penonton yang paling awam sekalipun. Alur ceritanya pun mulus. Menurut Prof. Dr. R.M. Soedarsono, Pembantu Rektor I Institut Seni Indonesia Yogya yang menjadi salah seorang peserta dalan rembukan evaluasi terhadap festival, gaya klasik romantik yang dibawakan kelompok itu "memungkinkan mereka berekspresi secara lebih leluasa, menampilkan ending yang bagus." Suguhan ending dalam Anoman Obong memang terasa hidup. Penonton seakan larut dalam adegan di tengah tingkah gamelan, gerak, dan gegap-gempita para raksasa yang mempersiapkan kobaran api sebelum membakar Anoman. Yang mengejutkan: kobaran api yang membakar istana ternyata api sungguhan. Festival ini menampilkan empat gaya. Gaya Yogya (Hilangnya Dewi Shinta, oleh ISI Yogya, garapan Y. Surodjo) yang dinilai sebagai gaya klasik gaya Surakarta (Anoman Duta, STSI Solo, garapan Sunarno) yang dianggap gaya klasik romantik. Lalu gaya Prambanan (Kumbokarno Gugur, Yayasan Roro Jonggrang, garapan Supardi) yang juga disebut gaya klasik romantik. Gaya ini yang paling muda, paduan gaya Solo dan Yogya, diperkenalkan sejak 1962. Yang terakhir gaya Bali (Shinta Obong), ISI Yogya, garapan Anak Agung Putra Negara yang dianggap ekspresif. Akhirnya, terpilihlah pemeran wanita dan pria serta penata iringan terbaik. Lili Chandrawati Sukmaningsih (pemeran Shinta gaya Bali) sebagai pemeran wanita terbaik Suharsono (pemeran Rahwana gaya Solo) dan Tedjo Sulistyo (pemeran Rama gaya Prambanan) sebagai pemeran pria terbaik, sedang gelar penata iringan terbaik digondol oleh ISI Yogya. Penampilan berbagai gaya itu sesungguhnya bukanlah barang baru karena sejak semula ketika epos Ramayana dipertunjukkan di panggung terbuka Prambanan pertama kali pada tahun 1970-an, festival itu bahkan sudah menyuguhkan lebih dari hanya empat gaya. Malah juga pernah ada gaya Muangthai. Namun, penampilan keempat gaya tersebut memang disengaja karena gaya itulah yang dianggap paling mantap. Shinta Obong yang gaya Bali itu, misalnya, dinilai sebagai penampilan yang baru karena merupakan perpaduan antara tari cak dan gamelan. Hanya sayang, 51 penarinya bukan orang Bali, sehingga "roh tari cak" kurang dihayati. Grup Roro Jonggrang menampilkan 250 pemain, dua grup lainnya masing-masing 100 orang. Tak heran ketika grup ini tampil, pentas yang luasnya 30 m X 20 m itu terasa penuh sesak. Misalnya ketika pasukan monyet yang terdiri 50 penari bersiap-siap menyeberang lautan. Bermaksud jadi profesional, grup yang menyajikan lakon Kumbokarno Gugur ini tampil kurang berhasil. Gerak tarinya memang komunikatif tapi visualisasinya kurang kena. Lihat misalnya ketika dua ekor Yuyu Kangkang menghadang pasukan monyet pimpinan Sugriwa yang berusaha membelah samudera. Cara penggambaran ular dan gelombang lautan juga kurang meyakinkan, sementara alur ceritanya -- meski bisa dipahami secara jelas oleh penonton awam -- terkesan lamban dan dipanjang-panjangkan. Belum lagi busananya yang tampak rada usang karena terlalu sering dipakai. Meski begitu, setidaknya festival ini merupakan upaya mawas diri, meneliti kekurangan dan melihat kelebihan masing-masing. Setiap peserta Festival Ramayana Jawa-Bali 1991 ini memang diimbau meningkatkan mutu. Hasilnya, paling tidak, Yayasan Roro Jonggrang akan mengadopsi adegan dan visualisasi mega mengangkat Jatayu ke nirwana. Namun, semua itu tak berarti sudah ada perkembangan baru. Setidaknya itu pendapat Sardono W. Kusumo, koreografer yang mengawali debutnya sebagai penari tokoh Rahwana di Prambanan hampir 30 tahun silam. Padahal, beberapa kekurangan "balet Ramayana" itu pernah didiskusikan pada 1962. Misalnya soal pola gerak: sejumlah raksasa menari dengan gerak yang sama. Konsep tari masal seperti itu belum dikembangkan dengan baik. Selain itu, sebagai akibat dari ukuran pang- gung yang besar, tarian kehilangan detil. Maka, gerak tangan dan mata, misalnya, tidak tampak oteh penonton. Lalu Sardono mengunci komentarnya, "Lebih dari itu, tarian itu kekurangan daya kontemplatif. Kekurangan-kekurangan itulah, menurut saya, sampai sekarang belum terjawab. Malah yang terjadi salah kaprah, belum ada perkembangan secara kualitatif dalam konsep." Budiman S. Hartoyo, Sandra Hamid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini