Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MERAH ITU CINTA Sutradara/Ide Cerita: Rako Prijanto Skenario: Nova Riyanti Yusuf Pemain: Marsha Timothy, Gary Iskak, Yama Carlos Produksi: Rapi Films, 2007
DUA porsi makan malam itu dingin tak tersentuh. Api lilin sudah lama padam. Perempuan berambut merah yang mulanya penuh semangat menyiapkan makanan itu kini terlelap di sofa, terlalu lelah menunggu. Lalu telepon di dinding berdering. Terkantuk-kantuk, si rambut merah bernama Raisa (Marsha Timothy) berjalan membelah hening. Ia terpaku mendengar kabar yang tak pernah ditunggu: pria yang dinantinya sepenuh hati tak akan pernah kembali lagi. Sebuah kecelakaan di jalan tol membuat nyawa Rama (Yama Carlos), sang tunangan, terpisah dari tubuhnya untuk selamanya.
Sebuah pembukaan yang tak terlalu istimewa, meski menjanjikan. Pertama karena film ini dibesut sutradara berbakat Rako Prijanto (Ungu Violet, D’Bijis). Kedua, karena ide cerita Rako ini dijadikan skenario oleh Nova Riyanti Yusuf, novelis-kolumnis yang memiliki latar belakang ilmu psikiatri. Akankah rasa kehilangan orang terkasih seperti ini dapat diolah sebagai kisah yang membuat penonton bisa merasakan perih yang merobohkan semangat Raisa?
Pulang dari kamar jenazah di rumah sakit, Raisa mengubah warna rambutnya. ”I see a red door and I want it painted black...,” gumamnya lirih mendendangkan secuil larik lagu The Rolling Stones. Merah adalah warna untuk Rama, yang kini akan dikenang selamanya.
Di rumah duka, Raisa mendapat informasi dari ibu Rama tentang sebuah foto kuno dua anak lelaki, Rama dan Aria, dua sahabat kental hingga mereka dewasa.
Beberapa hari kemudian, Aria (Gary Iskak) datang tiba-tiba ke rumah kontrakan Raisa yang sedang mencoba bunuh diri. Pola komunikasi mereka pun berkembang, canggung dan (di-)rumit(-rumitkan). Bahasa tubuh keduanya menunjukkan saling ketertarikan yang sedemikian rupa ditekan—tapi gagal. Selang beberapa hari setelah kematian Rama, dan kekikukan Raisa-Aria sudah meleleh setelah mengunjungi beberapa tempat wisata kesukaan Rama, dua tubuh yang asing satu sama lain itu akhirnya gagal menumpas berahi. (Akankah itu tetap terjadi jika rambut Raisa masih berwarna merah?)
Jika ”realitas” ini belum terasa absurd, bayangkanlah ini: di rumah supersempit yang ditempati Raisa tersebut (di depannya melintas rel kereta api), masih ada sebuah kamar rahasia dengan warna pintu seperti dinyanyikan Mick Jagger. Sebuah sangkar cinta Rama-Raisa yang mengundang rasa keingintahuan Aria.
Tapi ini bukan sebuah drama absurd. Yang membuat Merah itu Cinta terasa membebani penonton adalah dialog-dialog Nova Riyanti yang tidak mengeksplorasi lebih cermat ketika sebuah gerowong tercipta tiba-tiba di sudut hati. Penonton mendengar dialog, tapi tak mendapatkan emosi. Padahal duel akting yang diperagakan Marsha Timothy dan Gary Iskak tak bisa dibilang buruk. Shot-shot ”usil” Rako yang selalu ingin mengabarkan tubuh indah Marsha di banyak adegan juga lebih sering melelehkan emosi yang sedang dibangunnya sendiri. Sebuah twist yang disiapkan menjelang akhir film juga terbajak di tengah jalan, karena keinginan untuk bercerita yang terlalu melimpah ruah.
Dan, ngomong-ngomong, sejauh ini boleh jadi film ini merupakan film Indonesia yang paling serius mengeksplorasi kamar mandi sebagai ”pentas utama” dari jumlah adegan. Akan halnya dengan pintu kamar berwarna merah itu, Rako berbaik hati untuk menjadikan Mick Jagger sebagai cenayang yang melihat nujum syairnya terbukti di sebuah negeri yang jauh.
Akmal Nasery BasralDUA porsi makan malam itu dingin tak tersentuh. Api lilin sudah lama padam. Perempuan berambut merah yang mulanya penuh semangat menyiapkan makanan itu kini terlelap di sofa, terlalu lelah menunggu. Lalu telepon di dinding berdering. Terkantuk-kantuk, si rambut merah bernama Raisa (Marsha Timothy) berjalan membelah hening. Ia terpaku mendengar kabar yang tak pernah ditunggu: pria yang dinantinya sepenuh hati tak akan pernah kembali lagi. Sebuah kecelakaan di jalan tol membuat nyawa Rama (Yama Carlos), sang tunangan, terpisah dari tubuhnya untuk selamanya.
Sebuah pembukaan yang tak terlalu istimewa, meski menjanjikan. Pertama karena film ini dibesut sutradara berbakat Rako Prijanto (Ungu Violet, D’Bijis). Kedua, karena ide cerita Rako ini dijadikan skenario oleh Nova Riyanti Yusuf, novelis-kolumnis yang memiliki latar belakang ilmu psikiatri. Akankah rasa kehilangan orang terkasih seperti ini dapat diolah sebagai kisah yang membuat penonton bisa merasakan perih yang merobohkan semangat Raisa?
Pulang dari kamar jenazah di rumah sakit, Raisa mengubah warna rambutnya. ”I see a red door and I want it painted black...,” gumamnya lirih mendendangkan secuil larik lagu The Rolling Stones. Merah adalah warna untuk Rama, yang kini akan dikenang selamanya.
Di rumah duka, Raisa mendapat informasi dari ibu Rama tentang sebuah foto kuno dua anak lelaki, Rama dan Aria, dua sahabat kental hingga mereka dewasa.
Beberapa hari kemudian, Aria (Gary Iskak) datang tiba-tiba ke rumah kontrakan Raisa yang sedang mencoba bunuh diri. Pola komunikasi mereka pun berkembang, canggung dan (di-)rumit(-rumitkan). Bahasa tubuh keduanya menunjukkan saling ketertarikan yang sedemikian rupa ditekan—tapi gagal. Selang beberapa hari setelah kematian Rama, dan kekikukan Raisa-Aria sudah meleleh setelah mengunjungi beberapa tempat wisata kesukaan Rama, dua tubuh yang asing satu sama lain itu akhirnya gagal menumpas berahi. (Akankah itu tetap terjadi jika rambut Raisa masih berwarna merah?)
Jika ”realitas” ini belum terasa absurd, bayangkanlah ini: di rumah supersempit yang ditempati Raisa tersebut (di depannya melintas rel kereta api), masih ada sebuah kamar rahasia dengan warna pintu seperti dinyanyikan Mick Jagger. Sebuah sangkar cinta Rama-Raisa yang mengundang rasa keingintahuan Aria.
Tapi ini bukan sebuah drama absurd. Yang membuat Merah itu Cinta terasa membebani penonton adalah dialog-dialog Nova Riyanti yang tidak mengeksplorasi lebih cermat ketika sebuah gerowong tercipta tiba-tiba di sudut hati. Penonton mendengar dialog, tapi tak mendapatkan emosi. Padahal duel akting yang diperagakan Marsha Timothy dan Gary Iskak tak bisa dibilang buruk. Shot-shot ”usil” Rako yang selalu ingin mengabarkan tubuh indah Marsha di banyak adegan juga lebih sering melelehkan emosi yang sedang dibangunnya sendiri. Sebuah twist yang disiapkan menjelang akhir film juga terbajak di tengah jalan, karena keinginan untuk bercerita yang terlalu melimpah ruah.
Dan, ngomong-ngomong, sejauh ini boleh jadi film ini merupakan film Indonesia yang paling serius mengeksplorasi kamar mandi sebagai ”pentas utama” dari jumlah adegan. Akan halnya dengan pintu kamar berwarna merah itu, Rako berbaik hati untuk menjadikan Mick Jagger sebagai cenayang yang melihat nujum syairnya terbukti di sebuah negeri yang jauh.
Akmal Nasery Basral
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo