Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Tak Sekadar Belajar Ilmu Perang

Program Magister Studi Pertahanan dan Ketahanan ITB, serta kajian serupa di UI dan UGM, sepi peminat. Kuno dan berbau Orde Baru.

27 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK kenal maka tak sayang. Itulah yang dirasakan Anton Aliabbas terhadap tempat dia menimba ilmu: Program Magister Studi Pertahanan di Institut Teknologi Bandung (ITB). Dua tahun lalu Anton, yang sudah bergelar S2 dari Universitas Indonesia untuk hubungan internasional, hanya coba-coba masuk studi pertahanan ini.

Laki-laki 26 tahun ini sebenarnya ingin melanjutkan studi S3. Namun, karena ”lowongan” untuk jurnalis di program tersebut belum terisi, wartawan Detikcom ini pun mendaftar. Dia diterima, dapat beasiswa pula. ”Bukan gratisnya, tapi pengalaman kuliah di situ tak bisa didapat di tempat lain,” kata Anton, yang kemudian memutuskan keluar dari pekerjaan yang disukainya sebagai wartawan.

Anton semula mengira, Program Magister Studi Pertahanan ITB tak berbeda dengan mata kuliah kajian strategi dan keamanan yang dipelajarinya semasa S2 di UI. Namun semuanya berubah ketika Anton melihat materi dan merasakan suasana kuliah. Mata kuliah yang disesuaikan dengan kondisi terkini—tak sekadar berbicara tentang militer dan seni perang—dengan pengantar berbahasa Inggris, membuat Anton kian terpikat. Apalagi sering ada diskusi tentang topik aktual seperti fenomena terorisme. ”Saya tidak salah pilih,” kata Anton.

Sayangnya, tidak banyak yang melihat daya tarik program magister yang baru memasuki tahun ketiga ini. Peminat studi yang baru memulai perkuliahan angkatan ketiganya, Senin pekan lalu, makin merosot. Angkatan pertama—sudah menyelesaikan masa kuliah tiga tahun—yang diwisuda pada akhir Juli lalu berjumlah 27 orang. Yang kedua menjadi 26 orang, dan tahun ini tinggal 19 mahasiswa saja.

Padahal, untuk kurikulum dan pengajarnya, Studi Pertahanan ITB ini bekerja sama dengan Universitas Cranfield, satu dari lima perguruan tinggi terbaik di Inggris. ”Mahasiswa terpilih juga bisa ikut summer course di Universitas Giessen, Jerman, selama tiga minggu untuk melihat bagaimana perilaku tentara dalam proses demokrasi,” ujar Ketua Program Magister Studi Pertahanan ITB, Bambang Kismono Hadi.

Ternyata ITB tidak sendirian. Studi pertahanan yang sudah lebih dahulu berjalan di UI Jakarta sejak 1983, dan UGM Yogyakarta dari 1993, bernasib serupa. Mahasiswa di UI umumnya terdiri dari tentara yang ditugaskan belajar, dosen yang akan mengajar mata kuliah kewiraan, atau pegawai negeri sipil yang sekadar mencari gelar S2. ”Untuk mahasiswa yang militer, malah banyak yang berhenti karena pindah tugas,” kata Ichlasul Amal, mantan Rektor UGM yang juga pendiri program studi ketahanan nasional.

Apa yang membuat kajian keamanan tak populer di Indonesia? Karena mata kuliah program ini, seperti yang diterapkan di UI dan UGM, dianggap tidak mengikuti perkembangan dan terlalu berbau Orde Baru. Wajar jika Wan Usman, Ketua Program Studi Ketahanan Nasional UI, dan Ichlasul pesimistis dengan program ini jika tidak ada pembaruan. UI, misalnya, baru mendapat 10 mahasiswa untuk tahun ajaran 2007. Padahal, agar ”operasional” kelas S2 ini lancar dibutuhkan 30 mahasiswa. ”Terpaksa kami naikkan uang kuliah dari Rp 5 juta menjadi Rp 10 juta per semester,” ujar Usman.

Penyebab lainnya, citra militer masih relatif buruk di Indonesia. Sehingga, segala sesuatu yang berbau pertahanan langsung dikaitkan dengan ilmu militer. Ini terbukti dari alotnya pendirian Program Magister Studi Pertahanan ITB. Meski sudah dirintis sejak 1990, program ini baru terealisasi 15 tahun kemudian. Banyak pihak di ITB berpendapat, perguruan tinggi ini tak perlu cawe-cawe membuat program berbau militer. Baru pada 2002, Rektor ITB Wiranto Arismunandar memberikan angin untuk pendirian program itu. ”Namun kontroversi kadang masih ada sampai sekarang,” kata Bambang.

Sebenarnya program studi pertahanan yang diselenggarakan di UI, UGM, dan ITB itu merupakan bagian dari rencana pengembangan studi ketahanan dan pertahanan yang sudah dirintis Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) dan Departemen Pertahanan selama 20 tahun. ”Kalau Lemhannas kan hanya bentuk kursus dan lebih indoktrinatif,” kata Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Nah, kerja sama dengan perguruan tinggi, selain dimaksudkan membuat pendidikan bergelar sarjana, juga untuk menarik masyarakat sipil ikut mempelajari ilmu pertahanan. Beasiswa bahkan ditawarkan kepada aktivis lembaga swadaya masyarakat atau wartawan seperti Anton. Menurut Bambang, tujuan pencampuran mahasiswa sipil dan militer ini untuk membuka jalan agar kedua kelompok ini makin saling memahami. ”Perbedaan persepsi tentang status NKRI, misalnya, sangat tajam. Tapi makin lama mereka saling memahami,” kata Bambang.

Pilihan untuk ”mencangkokkan” studi pertahanan ke UI, UGM, dan ITB adalah untuk membagi fokus studi ini sesuai dengan karakter tiga perguruan tinggi itu. ”UI lebih pada kajian strategis nasional dari aspek manajemen ekonomi dan politik, sementara UGM lebih pada sosial budaya, termasuk soal resolusi konflik di daerah-daerah,” ujar Ichlasul. Di ITB, yang dikedepankan adalah unsur ”teknis”, seperti manajemen dan strategi pertahanan, teknologi dan strategi perang, serta manajemen teknologi pertahanan.

Saat ini Program Magister Studi Pertahanan ITB masih menjadi bagian dari Magister Studi Pembangunan pada Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan. Tahun depan, rencananya program ini menjadi mandiri. ”Kami berharap menjadi cikal bakal defense academy ala Indonesia,” ujar Bambang. Sedangkan Juwono menargetkan, program di ITB ini dapat digunakan sebagai dasar membangun kembali industri pertahanan dalam negeri. ”Agar kita tak bergantung pada teknologi pihak luar,” katanya.

Indonesia memang sebaiknya lebih serius dalam mengembangkan studi pertahanan di negara sendiri. Sebab, bila dilihat di negara-negara lain, defense study menjadi perhatian serius dunia akademis dan pemerintah negara. Jenjang hingga S3 atau PhD, bahkan sudah ditawarkan di banyak perguruan tinggi dunia, seperti Australian National University di Canberra, Australia, National Defense University, Chicago, Amerika Serikat, hingga Nanyang Technology University (NTU) Singapura dengan Institute of Defense and Strategis Studies (IDSS).

Menurut Juwono, melihat peta perubahan situasi global yang begitu cepat, pengembangan studi pertahanan adalah hal yang mendesak. Apalagi ancaman pertahanan tak lagi bersifat tradisional seperti perang konvensional, tapi juga non-tradisional seperti krisis pangan, krisis sumber energi, dan rendahnya kualitas sumber daya manusia. ”Ini menjadi bagian penentu masa depan satu negara,” katanya. Lagipula, katanya, studi pertahanan bukan monopoli TNI. Sayangnya, tak banyak pengambil keputusan di sektor publik menyadari masalah ini.

Widiarsi Agustina, Ahmad Fikri (Bandung), dan Syaiful Amin (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus