Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Meletakkan Sidik Jari pada Peta Dunia

Dia menguasai seni masakan ala Barat dan Timur. Menginginkan Indonesia masuk peta penggemar makanan dunia.

27 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU siang di akhir Juli lalu. William Wongso, sang Raja Kuliner, tengah beraksi di depan kamera di Cooking School Ranch Market, Pondok Indah, Jakarta Selatan. Dia didampingi beberapa buah pinang, susu, sebuah blender, serta Olga Lydia.

Kali ini, William sedang mendemonstrasikan pembuatan jus buah pinang, minuman tradisional ala Melayu, untuk acara televisi bertajuk Cooking Adventure. ”Minuman ini dipercaya bisa mendongkrak keperkasaan pria,” katanya sembari terkekeh.

Nama William Wongso memang identik dengan seni kuliner di Indonesia. Menikmati makanan adalah seni, memasak makanan adalah menciptakan karya seni, dan William adalah orang yang selama ini mengusung kesenian ini dengan rajin dan konsisten. Pemilik beberapa restoran dan kafe eksklusif di Jakarta ini pada 1 September akan tampil bersama enam pakar dalam acara Master Cooking Class di Jakarta. Salah satu master itu adalah Executive Chef Hotel Shangri-La, Joris Rycken.

Dalam acara itu, aneka makanan tradisional akan dipermak dengan sentuhan global agar lebih sedap dipandang dan menggugah selera. Cabai merah iris halus yang biasa ditemukan dalam nasi jamblang Cirebon, misalnya, disajikan di atas sushi Jepang, dengan tambahan ikan jambal pancing. Atau salad kentang gaya Jerman yang diberi sentuhan cakalang fufu. Lalu di sampingnya disodorkan sambal rica-rica. Rasanya dijamin membuat lidah bergoyang.

Gebrakan William menjadi penting karena hingga saat ini Indonesia belum masuk peta penggemar makanan dunia alias Global Food. Bandingkan dengan Malaysia, yang sudah memiliki duta Chef Wan. ”Cita rasa Indonesia masih misteri bagi pelaku seni kuliner dunia,” ujar William.

Lahir di Malang, Jawa Timur, 12 April 1947, William Wongso adalah putra pasangan Soewadi Wongso alias Wong See Hwa dan Linda Wongso. Ia tergolong ”terlambat” berkecimpung dalam dunia kuliner. Ia baru mengenal romantika dapur ketika berusia 30-an tahun. Ia belajar seni kuliner secara otodidak. Saat itu tak ada panutan yang bisa dilirik. Maka ia memutuskan berguru: dari pemilik warung di pinggir jalan hingga penyaji makanan berkelas di restoran atau hotel berbintang.

Suatu hari di tahun 1977. William dan istrinya baru saja membeli toko roti setelah pindah dari Surabaya ke Jakarta. Dari direktur program sebuah stasiun radio di Surabaya, ia ”turun pangkat” menjadi manajer toko. Bosan cuma berhadapan dengan pembeli, beberapa tahun kemudian ia ikut terjun ke dapur membuat roti dan kue. Kelak kemampuan inilah yang membuat William dikenal sebagai pemilik Vineth Bakery yang terkemuka itu.

Tapi William adalah pencinta makanan Indonesia. Ia terus menikmati makan siang di warung pinggir jalan untuk mencicipi keunikan dan kelezatan makanan Indonesia. Dia belajar betapa pemilik warung memasak sendiri makanan yang dijualnya dan akrab dengan para tamunya. ”Mereka tak berpikir hal selain makanan,” katanya suatu kali.

Dalam menggali ilmu kuliner, William tak segan berkorban. Bila menu yang akan dipelajarinya berharga mahal, ”Saya rela makan sekali (sambil berdiskusi dengan sang chef), lalu tak makan sebulan,” ujar William.

Tak cukup hanya menjelajahi makanan Indonesia, William terbang belajar membuat aneka penganan sampai ke mancanegara. Perjalanan ke luar negeri akhirnya menjadi rutin. Ia gunakan kesempatan muhibah itu untuk menjelajahi cita rasa makanan berbagai bangsa, dari Timur sampai Barat.

Setelah 20 tahun, William menjelma menjadi raja kuliner Indonesia. Setiap pojok Jakarta memiliki sidik jari William. Dari pabrik dan kue Vineth, jasa katering, sampai berbagai kafe dan restoran. Tidak semuanya dimiliki 100 persen oleh William dan tak semuanya masih bertahan sampai kini. William’s Grill, misalnya, yang berdiri pada 1980-an. Menurut William, pemilik Gedung Tifa ingin salah satu bagian gedungnya dipakai untuk gerai makanan atau restoran. William diminta mengisinya. Bagi William, segalanya ”saat itu masih trial and error”. Dan restoran itu bertahan hingga awal 1990-an. Soal tolong-menolong teman juga menjadi bagian dari sidik jari William yang menyebar di mana-mana. Misalnya William’s Dining di Kemang yang tidak dimilikinya. ”Saya diminta membantu teman karena usaha itu tidak jalan.” Menurut William, dia hanya ikut membantu selama empat tahun dan setelah itu tak lagi ikut terlibat.

Pada 1987, William juga diminta sebuah grup investor untuk mengembangkan konsep restoran Hanamasa. Untuk waktu yang lama, William sempat menjadi salah satu pemegang saham restoran yang akhirnya memiliki cabang di mana-mana itu. ”Tapi, setelah itu, saya lepas,” katanya.

Salah satu sidik jari William yang masih melekat di peta kuliner Indonesia adalah restoran eksklusif yang diberi nama William Kafe Artistik di bilangan Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan. Kafe yang mulai beroperasi pada 1998 ini hanya dibuka bila ada pemesan. Tamunya dari beragam profesi: dari presiden, politikus, artis, seniman, hingga pengusaha. Selain menikmati jamuan dalam suasana yang sangat pribadi, para tamu bisa menikmati berbagai koleksi benda seni William yang berkaitan dengan makanan dan minuman.

Tak semua tamu beruntung mendapat sajian makanan hasil olahan tangannya. Namun, William menjamin, dirinya hadir atau tidak, cita rasa makanan di kafe itu akan tetap terjaga. Sentuhannya tetap melekat pada kreasi anak buahnya. ”Kalau saya harus berada di satu tempat saja, saya tak bisa menularkan ilmu saya kepada orang lain. Itu mubazir,” katanya.

Di William Kafe Artistik itu pula William membuka kursus memasak bagi pencinta kuliner. Kelas itu diadakan untuk membuka wawasan dan menumbuhkan kecintaan terhadap makanan dari berbagai penjuru dunia, baik bagi masyarakat umum, industri restoran, maupun media massa.

Selain menyantap hidangan, para tamu kafe bisa melakukan wine tasting. William memang dikenal mahir mengasosiasikan aroma, rasa, kompleksitas, umur, dan harga anggur.

Pada 1992, bersama rekannya, seorang ahli anggur asal Inggris, ia mendirikan Jakarta Wine Society. Sayang, sejak tiga tahun lalu, ia harus mengerem kegemarannya itu. Tubuhnya tak lagi bisa menerima banyak gelontoran wine. ”Mulai nggak nikmat, badan seperti mau sakit flu,” katanya. Kini ia cuma menyesap sedikit anggur sekadar untuk mencicipi.

Dengan cita rasa dan apresiasi pada seni kuliner yang sedemikian dalam, tak aneh William disebut-sebut sebagai Paul Bocuse-nya Indonesia—merujuk nama juru masak kenamaan asal Prancis. Ia memiliki pengetahuan luas tentang makanan, baik ala Barat maupun Timur, dan minuman anggur. Toh, ia tetap menjunjung resep warisan leluhur. ”Dia sangat peduli agar para kuliner Indonesia mempertahankan makanan khas milik sendiri,” kata konsultan food and beverage Muchtar Alamsjah. Bagi Wakil Presiden Asosiasi Chef Indonesia yang lebih dikenal dengan Chef Tatang itu, William adalah guru terbaik.

DI usia kepala enam, ritme hidup William tak berbeda dengan 20 tahun lalu. Jadwalnya tetap padat. Ia terus bepergian ke berbagai daerah atau ke luar negeri lantaran urusan kuliner. Entah berburu aneka resep makanan untuk diuji coba, mengajar, atau menjadi juri lomba masakan. Bukannya sedih atau nelangsa, William justru merasa sukacita. Ia teramat asyik dengan dunia masak-memasak.

Perjalanan ke berbagai daerah di Nusantara dan pelosok dunia membuatnya akrab dengan seribu satu jenis makanan. Aneka makanan yang tak lazim bagi sebagian orang, seperti ulat sagu, pernah dicicipinya. Mau tahu rasanya? ”Dua tekstur yang sangat kontras. Kulitnya kenyal seperti karet, tapi isinya seperti santan kental, bayangkan,” katanya. Ia percaya ulat jenis ini paling lezat, baik dimakan hidup-hidup maupun disate.

Namun jangan suruh William mengunyah dan menelan balut, makanan khas Filipina, berupa telur bebek yang sudah mau menetas kurang satu hari, lalu direbus. Makanan itu tak bisa melewati tenggorokannya.

Ia juga enggan mengkonsumsi ikan fugu, yang lezat sekaligus tersohor dengan racunnya. ”Saya tak mau mati karena itu. Racunnya kental banget, lebih cepat bekerja daripada arsenik,” katanya. Tak aneh, menurut William, koki di Jepang atau Cina yang akan mengolah ikan tersebut butuh waktu dua tahun untuk belajar memotong ikan agar racunnya tidak terbawa.

Apa tak khawatir tubuh melar dan kolesterol meningkat gara-gara rajin mencoba aneka penganan? Ada strateginya. Menurut William, dia sekadar merasakan aroma dan cita rasa makanan dalam jumlah sedikit untuk menambah wawasan soal selera. Perut tak perlu diisi penuh. ”Jadi saya tak takut gemuk,” katanya.

Mungkin lantaran tiap hari bergaul dengan aneka makanan canggih, di rumah, William lebih memilih makanan biasa saja. Ia menyukai soto madura, seperti yang dulu biasa dibuat ayahnya di Surabaya. Ketika bersama Tempo, saat jeda pengambilan gambar, ia cuma menyantap nasi dan ikan jambal pancing, makanan khas Cirebon, Jawa Barat. Porsinya pun tak banyak, hanya beberapa suap.

Urusan kuliner membuat William lupa dengan usia yang merambat tua dan rambut yang terus memutih. ”Terus terang, aku berusaha tak mikirin sudah umur berapa,” katanya santai. Dan jangan lupa, pada usia yang sudah senior ini, William masih bersemangat dengan cita-citanya. Dia menyodorkan resep agar makanan tradisional Indonesia bisa mendunia: para kuliner tak perlu takut keluar dari etika dan nalar tradisi. Dengan begitu, bahan-bahan yang ada bisa diolah dengan pola yang lebih sederhana. Jika tetap terkungkung tradisi, niscaya ”makanan tak ada yang jadi,” kata William, serius. Gerakan melestarikan dan mempromosikan makanan tradisional Indonesia disokong Chef Tatang, yang juga pernah aktif bersama William di Lembaga Kuliner Indonesia. Dengan semangat William melalui berbagai acara yang diselenggarakannya, niscaya suatu hari Indonesia masuk peta penggemar makanan dunia.

Dwi Wiyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus