Lakon: RANG GNI
Naskah: Ikranegara
Sutradara: Ikranegara
Produksi: Teater Saja
PEMENTASAN Teater Saja -- dengan naskah dan sutradara Ikranegara
yang berjudul Rang Gni -- 18 sampai 22 Oktober lalu di Teater
Arena tidak dimuati oleh protessosial sebanyak dalam
pementasannya yang terdahulu (Para Narator, Gusti, Agung). Kali
ini lebih banyakmengisahkan "nafsu", baik bernama cinta maupun
keinginan seksuil yang secara umum berada dalam diri manusia.
Dengan terang-terangan Ikra mencoba menekan pertunjukannya kini
ke arah kontemplasi, introspeksi dan mengajak penonton
berfilsafat. Banyak puisi dilepas lewat beberapa orang. Alur
ceritanya tak begitu jelas, orang hanya menangkap bentuk-bentuk
dan ekspresi yang sifatnya jasmaniah dalam bentuk ketawa,
teriakan-teriakan dan juga posepose tubuh yang tegang. Ikra
tidak lagi sesederhana waktu Narator dengan memanfaatkan segala
kekurangan pemainnya -- tetapi langsung memperkecil jumlah
pemain dan mencoba mengekspresikan pengalaman batinnya yang
privat.
Mengerang
Di lantai arena, beberapa buah level disusun dengan sebuah
lubang di tengah Ditutup dengan kain yang berwarna hijau. Layar
belakang dimajukan beberapa meter, kemudian ada sebuah bidang
putih yang transparan yang lalu dipakai untuk mempertunjukkan
silhuet adegan sanggama. Cahaya yang melayani arena
remang-remang, mungkin dimaksudkan untuk menangkap suasana
dramatik di samping untuk memperkecil ruangan -- karena yang
dipakai hanya sebagian kecil dari arena. Di antara level-level
terdapat banyak sekali kertas yang dipakai oleh pemain untuk
bersembunyi.
Adegan pertama seperti melihat proses kelahiran atau perkenalan
dengan tokoh Rang dan Gni pria dan wanita yang saling
membutuhkan. Lampu senter yang sudah digemari Ikra sejak
mementaskan Teroris kembali dimanfaatkan untuk memberikan
tekanan suasana remang-remang yang menggelut tubuh
pemain-pemainnya. Para pemain saling berkenalan satu sama lain
dengan rilex. Ikra hampir berhasil menyampaikan suasana santai
di sini, kalau saja emosinya untuk muncrat-muncrat dapat
terkendali. Karena tak lama kemudian gerak dan suara yang
mengerang-ngerang mendominir suasana, membuat arena itu menjadi
gelisah untuk seterusnya.
Pementasan ini segera menjadi lebih cenderung pada tontonan yang
ekspresip daripada kisah. Akibatnya adalah bahwa beberapa dialog
yang penting dan diberikan penonjolan bisa menjadi mengagetkan.
Tak urung ini dapat membuat penonton yang tak sempat memasuki
suasana merasa bingung, atau menganggap segala sesuatunya
berlebihan. Tapi yang menarik adalah bahwa Ikra seperti tidak
mempedulikan hal ini untuk menyuguhkan dirinya secara tuntas. Ia
biarkan terus pertunjukannya menyusun harmoni sendiri.
Rencana Positip
Sebagai hasil final dari suatu proses penulisan naskah -- naskah
ini ditulis bersama-sama dengan saat latihan mungkin naskah ini
belum sempat menggali kemungkinan-kemungkinan yang bisa keluar
dari diri pemain masing-masing. Ia masih merupakan pengalaman
pribadi Ikra. Akibatnya adalah bahwa warna yang seharusnya bisa
keluar lebih banyak dalam setiap adegan, terpaksa diseragamkan
dalam satu kemungkinan untuk berekspresi, yakni: mengerang.
Pementasan ini mempergunakan beberapa menit untuk istirahat.
Pada akhir pementasan, sesudah Gni menginjak-injak tokoh Banas,
pembawa acara mengumumkan bahwa pertunjukan boleh dianggap
selesai tetapi boleh juga belum. Bagi mereka yang merasa belum
disediakan sebuah adegan yang mungkin bisa dipakai sebagai
penyelesaian. Tapi kalau itupun baru kemungkinan, ditawarkan
pula kemungkinan bahwa penyelesaian bisa terjadi antara gabungan
kemungkinan penyelesaian pertama dan kemungkinan penyelesaian
kedua. Ini pada dasarnya hanya untuk memberikan satu pernyataan,
bahwa segalanya adalah nisbi. Dan bahwa segalanya tergantung
dari diri penonton sendiri.
Dalam adegan tambahan muncullah seorang anak kecil yang berlagak
seperti dokter mengobati seorang lelaki yang ter perosok dalam
lubang level. Anak itu kemudian berlagak seperti orang tua,
memberi nasehat, memberikan dongeng agar lelaki itu beristirahat
dan tidur. Lelaki itu mendengarkan dengan patuh. Dia bayangkan
dirinya akan melihat Rang dan Gni bagai sepasang calon pengantin
yang mengucurkan darah dari langit, tapi bumi menolaknya karena
sudah jenuh pada darah.
Barangkali di sini Ikra ingin mengatakan bahwa segala
ketidakbahagiaan masih saja akan datang, betapa pun telah banyak
ketidakbahagiaan yang telah terjadi. Bahwa perang,
ketidak-adilan, kekerasan dan sebagainya masih terus terjadi.
Adegan ini komunikatip dan aktraktip, karena adanya tokoh anak-
anak (bergantian tiap malam dimainkan oleh Ino dan Bulan) dan
boleh dianggap sebagai adegan yang paling bagus dari seluruh
pertunjukan, sebagaimana adegan "rencana positip" dalam
pertunjukan Ikra terdahulu -- Agung.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini