IBU rumah di tempat indekost saya sering bepergian meninggalkan
rumah: menengok orangtuanya di Kebon Kacang, arisan bersama
ibu-ibu lain minggu pertama setiap bulan, menjaga suami yang
sakit syaraf di rumah sakit Jakarta dan karena banyak sebab yang
lain. Teman-teman di rumah -- semua karyawan -- tak ada yang
terdengar mengeluh.
Dan memang tak ada alasan untuk kurang puas. Makan pagi selalu
siap jam 6.30. Makan siang bisa dimulai pada pukul 14.00. Malam
hari meja sudah rapi kembali pada jam 19.00. Hanya karena
acara-acara TV, banyak dari antara kami baru akan makan malam
pada pukul 21.00 atau pukul 22.00 kalau kebetulan nonton atau
acara keluar. Cucian selalu bisa diambil berselang dua hari.
Yang agak menimbulkan protes hanyalah lampu yang sering padam.
Apalagi kalau sedang asyik membaca koran Kompas halaman IV. Juga
air untuk mandi harus dipompa sendiri. Tetapi selebihnya
rata-rata menyenangkan. Semua nampak betah, dengan atau tanpa
ibu rumah.
Setelah lebaran bulan kemarin, pembantu-pembantu rumah -- para
bediende -- memerlukan mudik. Setelah setahun bekerja di kota,
semua mereka ingin kembali ke rumah: menyampaikan hormat hari
raya kepada ayahbunda, menengok kakak dan adik, dan mungkin
paling utama -- membawa oleh-oleh dari kota, beberapa potong
kain baju yang dibeli dengan simpanan setahun berupa gajian
mereka Rp 3000 per bulan.
Yang menjadi tidak bahagia justru anak-anak kost. Makan pagi
menjadi amat terlambat, sehingga beberapa orang memutuskan
membeli saja roti atau bakso di kantor. Cucian boleh ditunggu
seminggu. Kamar harus dibersihkan sendiri. Salah seorang bahkan
menghadap kontan: "Bu, apa sarung bantal saya kena larangan pak
Gubernur untuk diganti?" Tentu saja merah padam ibu rumah.
"Itulah kalau Isa dan Nia kembali ke Jawa. Semuanya berantakan
begini", keluhnya membela diri.
***
Di kantor sebuah Departemen, seorang asisten menteri nampak
kehilangan akal. Jam 10.00 hari Kamis yang naas itu dia harus
mengadakan pertemuan dengan seorang dari kedutaan Polandia.
Urusan extra-penting. Mungkin pembicaraan tentang kerjasama
untuk sebuah penelitian di Sulawesi Selatan atau di Lombok
Barat. Diteleponnya resepsionis:
- Siapkan terima tamu yang akan ke sini!.
- Tamu siapa pak?
- Periksa Agenda, tolol.
- Hari ini bapak ceraman pukul 12.00 pada Symposium di
Trisakti.
- Jam 10 .00 maksudku . he . . .
- Tidak ada yang istimewa. Rutin saja.
- Appointmerlt dengan kedutaan Polandia?
- Belum dimasukkan .
- Ayo, panggil Linda !
- Tidak masuk hari ini. Linda sakit.
- Hopeloos....
Boss itu terhempas ke kursinya. "Selalu begini. Sekretarese
tidak masuk, semuanya berantakan".
Penyair Rendra rupanya sejak lama maklum benar hahwa kelompok
grass-root -- atau barisan akar-rumput -- yang sering
disepelekan, mempunyai kemampuan luarbiasa untuk menghasilkan
atau menggagalkan sesuatu. Sebabnya mudah diduga. Kelompok ini
merupakan faset yang paling konkrit dari sebuah rencana. Kalau
bukan oleh mereka, maka pada merekalah ditentukan terwujudnya
sebuah ide yang besar. Ibarat telapak kaki atau bokong,
merekalah yang langsung menentukan entah seorang akan dapat
berdiri, berjalan atau duduk, dan tidak ngambang di udara (yang
juga tidak mungkin).
Pembelaan Rendra yang plastis terhadap para pelacur kelompok
manusia yang resminya ditolak tetapi tak resmi paling diterima
-- diungkapkannya dalam sajak Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota
Jakarta. Hendak ditunjukkannya bahwa pelacur harus mengembalikan
harga dirinya. Mereka sanggup berbuat sesuatu yang kecil tetapi
gawat akibatnya. Tidak patut mereka mendengar penghinaan
terus-menerus. Penolakan terhadap mereka hanyalah suatu
penampikan abstrak yang sekedar diharuskan oleh kaidah. Karena
bukankah pelacuran dikutuk dari atas mimbar dan diprotes di
ruang sidang, tetapi pelacur dinantikan dengan gemas dan rindu
di ruang yang lain? Mereka ternyata punya kekuatan, tetapi
dibohongi terus-menerus oleh kemunafikan orang-orang yang
memanfaatkan mereka.
Rendra pun tampil sebagai pembela: naikkan tarif beberapa kali,
mogok 'main'. Dan nanti bisa segera dilihat akibatnya yang nyata
dan konkrit: para pembesar hilang semangat dan puyeng, para
suami akan kelabakan tujuh hari.
***
Nampaknya suatu yang abstrak dapat dengan mudah menarik
perhatian, juga kalau dia ditampilkan dalam bentuknya yang
paling klise: membela perikemanusiaan, membahas kemiskinan
penduduk negara-negara Afrika Selatan (untuk sesudah itu makan
besar di hotel Hilton), mempertahankan moral dan identitas (yang
minta ampun di hadapan amplop atau Lockheed). Tetapi semua
keadaan tetap biasa, dengan atau tanpa omongan muluk.
Suatu yang konkrit jarang menarik perhatian dan sulit disadari
begitu saja: sekretarese mana yang dapat tanda-penghargaan,
bediende mana yang pernah jadi berita di koran? Akan tetapi dia
segera kentara dan mengejutkan kesadaran bila tidak
dilaksanakan: anak-anak kost tidak makan pagi karena para
pembantu cuti, asisten menteri kehilangan akal karena
sekretarese jatuh sakit.
***
Seorang teman tiap bulan menyempatkan menitip Rp 5000 dari
gajiannya untuk adiknya di daerah. Tahu bahwa dia tidak banyak
berkelebihan duit, saya memberanikan diri bertanya entah tak ada
sanak saudara di daerah yang dapat membiayai sekolah adiknyadi
SMP? "Bukan begitu . . . Tetapi to keep in touch with the
grass-root". "Apa artinya?" masih ingin saya memburu. "Ala! Biar
perikemanusiaan itu masih punya kaki dan tidak melangit melulu.
Setinggi-tinggi terbang elang, hinggapnya ke dahan juga.
Setinggi-tinggi tumbuh dahan, hinggapnya ke akar juga".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini