Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mendengar ravi shankar

Ravi shankar, pemusik, pencipta lagu, pemain sitar dari india, mengadakan pergelaran musik di teater arena tim. sitar instrumen khas tercipta 700 tahun lalu. memainkan 5 lagu dengan gaya tradisional.

6 November 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA bagaikan sebuah mata uang dengan dua muka yang berbeda". kata Ravi Shankar kepada TEMPO, di depan jendela Hotel Sari Pacific yang menghadap ke jalan Thamrin. Siang itu ia tampak gembira, sederhana dan banyak keinginan untuk menjelaskan segala sesuatu dengan akrab. Ditemani oleh Nyonya Louise Ranardja yang menjadi tuan rumahnya di Indonesia, selanjutnya ia menerangkan bahwadi satu fihak ia dikenal sebagai pemain sitar yang memainkan musik India tradisionil. Tetapi di fihak lain, sebagai komponis ia telah mengerjakan banyak hal, bekerja sama dengan banyak orang, mencoba berbagai kemungkinan di luar hal-hal yang sifatnya tradisionil. Pernah banyak orang tidak suka kepadanya. "Mereka menganggap saya menjadi komersiil. Tapi separuhnya lagi ada yang melakukan itu karena iri. Tapi syukur dua tahun yang terakhir ini, segalanya itu tidak pernah ada lagi", kata pemain sitar yang termasyhur itu. Film India Ia terkejut sekali mendengar di bumi ini banyak berkeliaran film-film India populer. "Saya tahu apa yang harus saya kerjakan sekarang", katanya dengan gembira, "mengapa mereka tidak mencoba memasarkan rekaman-rekaman saya di sini?" Kemudian dia menanyakan apakah film India yang tersohor dan memperoleh penghargaan internasional -- Dunia Apu -- pernah diputar. Lalu dengan bangga ia berkata "Film itu, saya yang membuat ilustrasinya". Ia menerangkan selanjutnya bahwa ia hanya memainkan sitar, permainan yang banyak menitik-beratkan pada improvisasi. Tetapi musik ini berbeda dengan improvisasi di dalam jazz, karena ia terikat pada apa yang disebut raga yang jenisnya ribuan. Kemudian ia menyesalkan anak-anak muda yang menggandrungi sitar karena alasan yang salah. "Banyak di antara mereka tidak benar-benar tertarik pada musik sitar, akan tetapi pada suasana di mana mereka dapat saling berpelukan, minum ganja dan bisa fly -- alasan-alasan yang tidak saya sukai -- selama mereka mendengarkan suara sitar". Ini salah satu alasannya mengapa ia tidak mencoba lagi bergabung dengan konsert-konsert musik rok -- sebagaimana pernah dilakukannya pada tahun 1974 dengan George Harisson -- ex anggota Beatles. "Musik adalah hidup saya", kata Ravi. Ia ingin agar orang benar-benar mendengarkan musiknya. Tak segan-segan ia langsung berbicara sebelum memulai main sitar agar orang lebih memperhatikan musiknya daripada kesibukan-kesibukan lain. Tetapi itu bukan sebab mengapa ia memilih Teater Arena TIM dengan kapasitas tidak lebih dari 400 tempat duduk untuk mempertontonkan kebolehannya. "Dia akan senang sekali bermain di depan 2000 orang, akan tetapi fihak TIM menolak, mungkin takut kalau-kalau tidak banyak yang tahu siapa Ravi Shankar", ucap nyonya Louis Rahardja yang menyunting anggrek di rambutnya. Pernyataan ini benar-benar lucu, karena beberapa hari sebelum pertunjukan -- tanggal 23 Oktober -- karcis sudah amblas. Tak salah lagi juru sitar ini sudah memiliki penggemar di Indonesia. Jeprat-jepret Di depan Teater Arena pada malam pertunjukan, banyak sekali orang berkumpul dengan harapan bisa membeli karcis duduk di lantai. Sementara di dalamnya telah tersedia permadani, panggung kecil yang terbuat dari susunan level. Penonton mulai merembes masuk sejak pintu mulai dibuka sampai nada pertunjukan tengah berlangsung. Tampak tidak hanya orang-orang muda, tetapi juga orang-orang tua, orang-orang asing serta orang-orang India sendiri, termasuk Ahboob Achmad, Dutabesar India itu. Pembawa acara berkali-kali memperingatkan penonton agar duduk lebih merapat, agar menghentikan kegiatan merokok serta tidak mengganggu pertunjukan nantinya dengan jeprat-jepret kamera. Udara pun semakin gerah, akan tetapi semuanya menanti dengan sabar. Tiba-tiba muncul tiga buah hiu yang mengepulkan asap dari pintu belakang, disusul oleh kepala Ravi Shankar dan pembantunya Alla Rakha yang memegang tabla serta Kamala Chakarawarti yang memainkan tampoura. Para penonton spontan menyambut dengan keplok tangan. Lalu tiba-tiba Teater Arena itu berubah menjadi semacam ruang pertemuan yang intim. Ravi Shankar dengan muka yang kemerah-merahan karena tatarias tampak berseri-seri, cahaya muka seorang "super star" yang percaya pada kebolehannya menghadapi publik tergurat di sana. $ 300 Mereka duduk berjajar, Ravi di tengah Kamala yang sedikit gembrot di sebelah kirinya, sedang di kanan Alla Rakha dengan muka yang pendiam dan polos siap memukul tabla. Seorang penonton berkata: "Ini untuk pertama kali dan barangkali terakhir kita bisa melihat tukang sitar ini". Sebagaimana diketahui Ravi Shankar hanya kebetulan lewat dalam perjalanan berliburnya ke Bali. Satu kali main biasanya ia dibayar tidak kurang dari $ 10 ribu. Tapi untuk TIM ia berkenan menerima $ 300 saja. Kesempatan yang benar-benar jarang. Ada 5 buah lagu yang dirnainkan oleh Ravi dengan satu kali masa jedah. Setiap kali hendak mulai ia memerlukan memperbaiki stelan sitarnya. Alat itu rupanya tak pernah lepas dari tangannya. Di pesawat terbangpun ia tak sudi melepas. Instrumen khas yang sejarahnya tercatat sejak 700 tahun yang lalu ini, terbuat dari kayu jati dengan bagian menggembung pada perut dan kepalanya yang terbuat dari semacam buah labu. Ia memiliki 26 buah senar. Ia dapat memproduksi dua jenis bunyi yang berbeda karakternya, yang tegas dan yang meliuk-liuk sesuai dengan cara memetiknya. Kombinasi ini membuat sitar dapat merangkaikan suasana yang menghimbau dan meratap dengan suasana yang menyentak-nyentak. Dengan ditolong oleh suara tabla --seperti ketipung -- yang kental sekali pukulannya, serta suara tampoura sebagai latar belakang, terciptalah suasana seperti dalam mimpi seperti dalam dongeng. Suara-suara gemerincing yang menyalir tak putus-putus, berliku dalam kelokan-kelokan emosi yang tak terduga-duga mempunyai daya pukau untuk membuat orang tergelincir. Lupa pada sekitarnya atau tertidur pulas. Banyak anak-anak muda menundukkan kepalanya, memejamkan mata mengikuti suara-suara itu. Separuhnya lagi ternganga melihat bagaimana Ravi mengangguk-angguk dan menggeleng-geleng mengikuti tangannya. "Kalau kami mengangguk itu tanda kami mulai, tapi kalau kami menggeleng itu tanda kami saling memberi isyarat satu sama lain, jangan salah sangka", ujar Ravi. Musikus Slamet Abdul Syukur menolong Ravi menterjemahkan segala penjelasan ke dalam bahasa Indonesia, sebelum sebuah nomor dilepaskan. Raga Marubihag sebagai santapan pertama dimulai, dengan permainan sitar Ravi yang kemudian diteruskan dengan sebuah tema yang dimainkan dengan tabla. Raga ini (raga adalah sejenis irama yang khas India dan ribuan jenisnya) merupakan Raga Sore dengan pukulan 3-2-2. Selanjutnya dicobakan Raga Keerwani yang merupakan Raga Pagi yang terbagi atas dua bagian, yang lambat dan yang cepat. Yang pertama memakai pukulan 4444 selebihnya 44-2-2. Kedua nomor itu berlangsung cukup panjang, sehingga memerlukan istirahat. Semua penonton masih dengan tekunnya mendengarkan suara-suara itu, bahkan kelihatannya bertambah banyak lagi hendak masuk sehabis istirahat, sehingga petugas pintu cukup repot. Keplok yang gemuruh kemudian tertuju pada Alla Rakha untuk permainan tabla solonya dengan mengambil Raga Japtal. Kemudian Ravi meneruskannya dengan permainan sitar solo dalam gaya tradisionil. Lalu berakhir dalam sebuah nomor yang unik dan bebas yang memberikan kesempatan pada tabla dan sitar untuk bersahut-sahutan seakan-akan sedang bercakap-cakap. Rendra Sementara itu penonton sudah siap berdiri dan menyambut akhir pertunjukan dengan keplok yang seru. Tak sempat untuk minta tambah sebagaimana biasanya. Ravi Shankar berdiri pula sambil memegang sitarnya. Ia telah menjadi bagian dari sejarah TIM kini, yang berusaha untuk memperkenalkan orang-orang tersohor dari Mancanegara pada publik pribumi. Ia akan berangkat melintasi Yogya di mana direncanakan ia akan bertemu dengan Rendra dan main di rumah Bagong Kussudiardja. Tapi yang lebih penting lagi, dia akan mengunjungi Bali. "Saya pernah melihat I Mario menari, saya sudah mendengar musik Bali sejak lama, sekarang saya akan menyaksikan sendiri di tempatnya", kata Ravi pada TEMPO.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus