SAYA bagaikan sebuah mata uang dengan dua muka yang berbeda".
kata Ravi Shankar kepada TEMPO, di depan jendela Hotel Sari
Pacific yang menghadap ke jalan Thamrin.
Siang itu ia tampak gembira, sederhana dan banyak keinginan
untuk menjelaskan segala sesuatu dengan akrab. Ditemani oleh
Nyonya Louise Ranardja yang menjadi tuan rumahnya di Indonesia,
selanjutnya ia menerangkan bahwadi satu fihak ia dikenal sebagai
pemain sitar yang memainkan musik India tradisionil. Tetapi di
fihak lain, sebagai komponis ia telah mengerjakan banyak hal,
bekerja sama dengan banyak orang, mencoba berbagai kemungkinan
di luar hal-hal yang sifatnya tradisionil. Pernah banyak orang
tidak suka kepadanya. "Mereka menganggap saya menjadi komersiil.
Tapi separuhnya lagi ada yang melakukan itu karena iri. Tapi
syukur dua tahun yang terakhir ini, segalanya itu tidak pernah
ada lagi", kata pemain sitar yang termasyhur itu.
Film India
Ia terkejut sekali mendengar di bumi ini banyak berkeliaran
film-film India populer. "Saya tahu apa yang harus saya kerjakan
sekarang", katanya dengan gembira, "mengapa mereka tidak mencoba
memasarkan rekaman-rekaman saya di sini?" Kemudian dia
menanyakan apakah film India yang tersohor dan memperoleh
penghargaan internasional -- Dunia Apu -- pernah diputar. Lalu
dengan bangga ia berkata "Film itu, saya yang membuat
ilustrasinya".
Ia menerangkan selanjutnya bahwa ia hanya memainkan sitar,
permainan yang banyak menitik-beratkan pada improvisasi. Tetapi
musik ini berbeda dengan improvisasi di dalam jazz, karena ia
terikat pada apa yang disebut raga yang jenisnya ribuan.
Kemudian ia menyesalkan anak-anak muda yang menggandrungi sitar
karena alasan yang salah. "Banyak di antara mereka tidak
benar-benar tertarik pada musik sitar, akan tetapi pada suasana
di mana mereka dapat saling berpelukan, minum ganja dan bisa fly
-- alasan-alasan yang tidak saya sukai -- selama mereka
mendengarkan suara sitar". Ini salah satu alasannya mengapa ia
tidak mencoba lagi bergabung dengan konsert-konsert musik rok --
sebagaimana pernah dilakukannya pada tahun 1974 dengan George
Harisson -- ex anggota Beatles.
"Musik adalah hidup saya", kata Ravi. Ia ingin agar orang
benar-benar mendengarkan musiknya. Tak segan-segan ia langsung
berbicara sebelum memulai main sitar agar orang lebih
memperhatikan musiknya daripada kesibukan-kesibukan lain. Tetapi
itu bukan sebab mengapa ia memilih Teater Arena TIM dengan
kapasitas tidak lebih dari 400 tempat duduk untuk
mempertontonkan kebolehannya. "Dia akan senang sekali bermain di
depan 2000 orang, akan tetapi fihak TIM menolak, mungkin takut
kalau-kalau tidak banyak yang tahu siapa Ravi Shankar", ucap
nyonya Louis Rahardja yang menyunting anggrek di rambutnya.
Pernyataan ini benar-benar lucu, karena beberapa hari sebelum
pertunjukan -- tanggal 23 Oktober -- karcis sudah amblas. Tak
salah lagi juru sitar ini sudah memiliki penggemar di Indonesia.
Jeprat-jepret
Di depan Teater Arena pada malam pertunjukan, banyak sekali
orang berkumpul dengan harapan bisa membeli karcis duduk di
lantai. Sementara di dalamnya telah tersedia permadani, panggung
kecil yang terbuat dari susunan level. Penonton mulai merembes
masuk sejak pintu mulai dibuka sampai nada pertunjukan tengah
berlangsung. Tampak tidak hanya orang-orang muda, tetapi juga
orang-orang tua, orang-orang asing serta orang-orang India
sendiri, termasuk Ahboob Achmad, Dutabesar India itu. Pembawa
acara berkali-kali memperingatkan penonton agar duduk lebih
merapat, agar menghentikan kegiatan merokok serta tidak
mengganggu pertunjukan nantinya dengan jeprat-jepret kamera.
Udara pun semakin gerah, akan tetapi semuanya menanti dengan
sabar.
Tiba-tiba muncul tiga buah hiu yang mengepulkan asap dari pintu
belakang, disusul oleh kepala Ravi Shankar dan pembantunya Alla
Rakha yang memegang tabla serta Kamala Chakarawarti yang
memainkan tampoura. Para penonton spontan menyambut dengan
keplok tangan. Lalu tiba-tiba Teater Arena itu berubah menjadi
semacam ruang pertemuan yang intim. Ravi Shankar dengan muka
yang kemerah-merahan karena tatarias tampak berseri-seri, cahaya
muka seorang "super star" yang percaya pada kebolehannya
menghadapi publik tergurat di sana.
$ 300
Mereka duduk berjajar, Ravi di tengah Kamala yang sedikit
gembrot di sebelah kirinya, sedang di kanan Alla Rakha dengan
muka yang pendiam dan polos siap memukul tabla. Seorang penonton
berkata: "Ini untuk pertama kali dan barangkali terakhir kita
bisa melihat tukang sitar ini". Sebagaimana diketahui Ravi
Shankar hanya kebetulan lewat dalam perjalanan berliburnya ke
Bali. Satu kali main biasanya ia dibayar tidak kurang dari $ 10
ribu. Tapi untuk TIM ia berkenan menerima $ 300 saja. Kesempatan
yang benar-benar jarang.
Ada 5 buah lagu yang dirnainkan oleh Ravi dengan satu kali masa
jedah. Setiap kali hendak mulai ia memerlukan memperbaiki stelan
sitarnya. Alat itu rupanya tak pernah lepas dari tangannya. Di
pesawat terbangpun ia tak sudi melepas. Instrumen khas yang
sejarahnya tercatat sejak 700 tahun yang lalu ini, terbuat dari
kayu jati dengan bagian menggembung pada perut dan kepalanya
yang terbuat dari semacam buah labu. Ia memiliki 26 buah senar.
Ia dapat memproduksi dua jenis bunyi yang berbeda karakternya,
yang tegas dan yang meliuk-liuk sesuai dengan cara memetiknya.
Kombinasi ini membuat sitar dapat merangkaikan suasana yang
menghimbau dan meratap dengan suasana yang menyentak-nyentak.
Dengan ditolong oleh suara tabla --seperti ketipung -- yang
kental sekali pukulannya, serta suara tampoura sebagai latar
belakang, terciptalah suasana seperti dalam mimpi seperti dalam
dongeng. Suara-suara gemerincing yang menyalir tak putus-putus,
berliku dalam kelokan-kelokan emosi yang tak terduga-duga
mempunyai daya pukau untuk membuat orang tergelincir. Lupa pada
sekitarnya atau tertidur pulas.
Banyak anak-anak muda menundukkan kepalanya, memejamkan mata
mengikuti suara-suara itu. Separuhnya lagi ternganga melihat
bagaimana Ravi mengangguk-angguk dan menggeleng-geleng mengikuti
tangannya. "Kalau kami mengangguk itu tanda kami mulai, tapi
kalau kami menggeleng itu tanda kami saling memberi isyarat satu
sama lain, jangan salah sangka", ujar Ravi.
Musikus Slamet Abdul Syukur menolong Ravi menterjemahkan segala
penjelasan ke dalam bahasa Indonesia, sebelum sebuah nomor
dilepaskan. Raga Marubihag sebagai santapan pertama dimulai,
dengan permainan sitar Ravi yang kemudian diteruskan dengan
sebuah tema yang dimainkan dengan tabla. Raga ini (raga adalah
sejenis irama yang khas India dan ribuan jenisnya) merupakan
Raga Sore dengan pukulan 3-2-2. Selanjutnya dicobakan Raga
Keerwani yang merupakan Raga Pagi yang terbagi atas dua bagian,
yang lambat dan yang cepat. Yang pertama memakai pukulan 4444
selebihnya 44-2-2. Kedua nomor itu berlangsung cukup panjang,
sehingga memerlukan istirahat. Semua penonton masih dengan
tekunnya mendengarkan suara-suara itu, bahkan kelihatannya
bertambah banyak lagi hendak masuk sehabis istirahat, sehingga
petugas pintu cukup repot.
Keplok yang gemuruh kemudian tertuju pada Alla Rakha untuk
permainan tabla solonya dengan mengambil Raga Japtal. Kemudian
Ravi meneruskannya dengan permainan sitar solo dalam gaya
tradisionil. Lalu berakhir dalam sebuah nomor yang unik dan
bebas yang memberikan kesempatan pada tabla dan sitar untuk
bersahut-sahutan seakan-akan sedang bercakap-cakap.
Rendra
Sementara itu penonton sudah siap berdiri dan menyambut akhir
pertunjukan dengan keplok yang seru. Tak sempat untuk minta
tambah sebagaimana biasanya. Ravi Shankar berdiri pula sambil
memegang sitarnya. Ia telah menjadi bagian dari sejarah TIM
kini, yang berusaha untuk memperkenalkan orang-orang tersohor
dari Mancanegara pada publik pribumi. Ia akan berangkat
melintasi Yogya di mana direncanakan ia akan bertemu dengan
Rendra dan main di rumah Bagong Kussudiardja. Tapi yang lebih
penting lagi, dia akan mengunjungi Bali. "Saya pernah melihat I
Mario menari, saya sudah mendengar musik Bali sejak lama,
sekarang saya akan menyaksikan sendiri di tempatnya", kata Ravi
pada TEMPO.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini