SULAWESI Tengah tahun 1975 surplus beras sebanyak 5.351,94 ton.
Tahun sebelumnya produksi beras hanya 110.510,84 ton naikmenjadi
128. 219,10 ton atau 28,73%. Surplus pertama kali ini -- atas
dasar perhitungan 120 kg kapita pertahun -- telah membuat
gembira banyak pejabat di daerah ini. Hampir setiap pidato
bertalian dengan kemajuan daerah tak pernah absen soal surplus
ini ditonjolkan. Malah drs B.L. Sallata, Sekwilda Sulteng, yang
mewakili gubernur dalam rapat bimas menamakan sebagai prestasi
hebat dan akan membawa nama baik pejabat di sini di mata pusat.
Sebab sampai tahun 1974 penyediaan pangan beras Sulteng masih
masuk kategori daerah minus. Kekurangan pangan dalam setahun
sejak 1969 rata-rata 26.000 ton lebih dan terakhir tanun 1974
masih kekurangan 9.161,08 ton. Untung waktu itu ada dropping
teratur dari Dolog dan supply pengusaha beras dari Ujungpandang,
bahkan dari Jawa Timur.
13 Hambatan
Apakah kenaikan ini karena bimas? Dinas pertanian dalam
laporannya yang berketiak ular dan penuh angka-angka tak
menyebut soal intensifikasi bimas ini sebagai penyebabnya.
Alasan satu-satunya karena areal penanaman naik yaitu dari
95.081,48 ha menjadi 109.261,33 ha. Menilik laporan yang masuk
dari daeran-daerah pelaksanaan bimas banyak menemui kesulitan
ketimbang lancar. Sampai 23 orang staf teknis pertanian yang
menjajaki hambatan bimas itu mengungkap 13 macam hambatan.
Antara lain jumlah areal yang terjamin pengairannya sangat
terbatas. Begitupun bendungan air yang ada terlalu sering
mengalami kerusakan. Menurut sumber TEMPO, sawah yang dapat
dijamin pengairannya baru ada seluas 15.422 ha atau 23,43% dari
areal sawah yang ada. Paling gawat dalam laporan 13 hambatan itu
areal sawah yang dianggap memenuhi syarat sudah banyak terlibat
dalam tunggakan bimas. Akhirnya petugas bimas terpaksa mencari
areal sawah lain yang terkadang situasi dan kondisi lebih jelek
dari sawah penunggak. Dalam musim tanam (MT) 1970/1971 sampai
1975 telah dikeluarkan kredit oleh BRI sebesar Rp
122.063.192,48. Yang sempat terbayar kembali hanya Rp 9.723.
199,08. Dalam MT 1975/1976 sampai Maret lalu sudah didrop kredit
baru Rp 89.175.143, yang sempat tertagih hanya Rp 819.476.
Sebab kemacetan itu menurut ungkapan petugas lapangan tadi
karena kurang lancarnya komunikasi antar desa. Bahkan BRI dengan
tenaga dan waktu serta mobilitasnya yang terbatas tidak sanggup
melayani petani 2 atau 3 kali dalam satu musim tanam. Malah di
kabupaten Banggai seperti dituturkan oleh J.D. Lasiki ketua
badan pelaksana bimas di sana kepada TEMPO, setelah habis panen
malah camat dan kepala desa mendahulukan menarik pajak dan
ipeda. Karena dari penarikan kredit bimas pejabat desa ini tidak
mendapat apa-apa dibanding pemungutan pajak dan ipeda yang
disediakan komisi.
Kurang Areal & Tenaga
Husni Alatas dari TEMPO yang baru kembali dari kabupaten itu
juga mencatat adanya sistim pengadaan pengairan tidak
berorientasi pada jumlah banyaknya areal sawah dan jumlah
penduduk. Banyak lokasi bimas tidak cukup air. Sementara di
tempat lain mempunyai irigasi baik tapi kekurangan areal sawah
dan tenaga manusia untuk membuka sawah baru . Di kecamatan
Pagimana Selatan (dalam kabupaten itu) baru saja selesai
dibangun pengairan Siuna dengan biaya APBN Rp 111.470. 695,85
terpaksa tak berfungsi karena penduduk hanya ada 40 KK dengan
areal sawah kurang lebih 100 ha. Padahal pengairan sederhana ini
siap mengairi sawah untuk 600 ha. Ajaibnya lagi justru
penempatan transmigrasi selalu luput untuk daerah ini dan malah
dipilih lokasi yallg harus diusahakan pengairan baru. Hebatnya
lagi kredit bimas tahun ini sebagian belum dapat dicairkan
karena BRI kehabisan formulir model 89 B. Begitupun kredit sapi
bajak yang ikut menentukan tercapainya target belum dicairkan
sampai saat ini.
Lebih gawat juga turut diungkap oleh 23 petugas teknis pertanian
itu adalah dropping sarana produksi ke lokasi bimas sering tidak
tepat waktu dan jumlah serta bentuknya. Ditambah lagi kurangnya
alat-alat pemberantasan hama dan penyakit. Kalaupun sudah ada
banyak yang rusak. Bahkan pentrapan teknis penggunaan pupuk di
bawah 75% dari rekomendasi dan penggunaan pestisida kurang dari
I liter tiap hektar. Juga penggunaan bibit kerap kurang baik
ditambah benih unggul selalu lambat tiba pada petani. Ungkapan
ini tentu saja tidak mengada-ada karena dihimpun setelah
mengamati langsung di lapangan dan telah pula dilempar dalam
rapat bimas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini