Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Surplus Di Mata Pusat

Produksi beras Sulawesi Tengah 5352 ton, luas areal 14.000 ha. sawah berpengairan baik 23,4%. kemacetan kredit bimas karena kesulitan komunikasi. pengairan tidak melihat luas areal dan penduduk. (dh)

6 November 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SULAWESI Tengah tahun 1975 surplus beras sebanyak 5.351,94 ton. Tahun sebelumnya produksi beras hanya 110.510,84 ton naikmenjadi 128. 219,10 ton atau 28,73%. Surplus pertama kali ini -- atas dasar perhitungan 120 kg kapita pertahun -- telah membuat gembira banyak pejabat di daerah ini. Hampir setiap pidato bertalian dengan kemajuan daerah tak pernah absen soal surplus ini ditonjolkan. Malah drs B.L. Sallata, Sekwilda Sulteng, yang mewakili gubernur dalam rapat bimas menamakan sebagai prestasi hebat dan akan membawa nama baik pejabat di sini di mata pusat. Sebab sampai tahun 1974 penyediaan pangan beras Sulteng masih masuk kategori daerah minus. Kekurangan pangan dalam setahun sejak 1969 rata-rata 26.000 ton lebih dan terakhir tanun 1974 masih kekurangan 9.161,08 ton. Untung waktu itu ada dropping teratur dari Dolog dan supply pengusaha beras dari Ujungpandang, bahkan dari Jawa Timur. 13 Hambatan Apakah kenaikan ini karena bimas? Dinas pertanian dalam laporannya yang berketiak ular dan penuh angka-angka tak menyebut soal intensifikasi bimas ini sebagai penyebabnya. Alasan satu-satunya karena areal penanaman naik yaitu dari 95.081,48 ha menjadi 109.261,33 ha. Menilik laporan yang masuk dari daeran-daerah pelaksanaan bimas banyak menemui kesulitan ketimbang lancar. Sampai 23 orang staf teknis pertanian yang menjajaki hambatan bimas itu mengungkap 13 macam hambatan. Antara lain jumlah areal yang terjamin pengairannya sangat terbatas. Begitupun bendungan air yang ada terlalu sering mengalami kerusakan. Menurut sumber TEMPO, sawah yang dapat dijamin pengairannya baru ada seluas 15.422 ha atau 23,43% dari areal sawah yang ada. Paling gawat dalam laporan 13 hambatan itu areal sawah yang dianggap memenuhi syarat sudah banyak terlibat dalam tunggakan bimas. Akhirnya petugas bimas terpaksa mencari areal sawah lain yang terkadang situasi dan kondisi lebih jelek dari sawah penunggak. Dalam musim tanam (MT) 1970/1971 sampai 1975 telah dikeluarkan kredit oleh BRI sebesar Rp 122.063.192,48. Yang sempat terbayar kembali hanya Rp 9.723. 199,08. Dalam MT 1975/1976 sampai Maret lalu sudah didrop kredit baru Rp 89.175.143, yang sempat tertagih hanya Rp 819.476. Sebab kemacetan itu menurut ungkapan petugas lapangan tadi karena kurang lancarnya komunikasi antar desa. Bahkan BRI dengan tenaga dan waktu serta mobilitasnya yang terbatas tidak sanggup melayani petani 2 atau 3 kali dalam satu musim tanam. Malah di kabupaten Banggai seperti dituturkan oleh J.D. Lasiki ketua badan pelaksana bimas di sana kepada TEMPO, setelah habis panen malah camat dan kepala desa mendahulukan menarik pajak dan ipeda. Karena dari penarikan kredit bimas pejabat desa ini tidak mendapat apa-apa dibanding pemungutan pajak dan ipeda yang disediakan komisi. Kurang Areal & Tenaga Husni Alatas dari TEMPO yang baru kembali dari kabupaten itu juga mencatat adanya sistim pengadaan pengairan tidak berorientasi pada jumlah banyaknya areal sawah dan jumlah penduduk. Banyak lokasi bimas tidak cukup air. Sementara di tempat lain mempunyai irigasi baik tapi kekurangan areal sawah dan tenaga manusia untuk membuka sawah baru . Di kecamatan Pagimana Selatan (dalam kabupaten itu) baru saja selesai dibangun pengairan Siuna dengan biaya APBN Rp 111.470. 695,85 terpaksa tak berfungsi karena penduduk hanya ada 40 KK dengan areal sawah kurang lebih 100 ha. Padahal pengairan sederhana ini siap mengairi sawah untuk 600 ha. Ajaibnya lagi justru penempatan transmigrasi selalu luput untuk daerah ini dan malah dipilih lokasi yallg harus diusahakan pengairan baru. Hebatnya lagi kredit bimas tahun ini sebagian belum dapat dicairkan karena BRI kehabisan formulir model 89 B. Begitupun kredit sapi bajak yang ikut menentukan tercapainya target belum dicairkan sampai saat ini. Lebih gawat juga turut diungkap oleh 23 petugas teknis pertanian itu adalah dropping sarana produksi ke lokasi bimas sering tidak tepat waktu dan jumlah serta bentuknya. Ditambah lagi kurangnya alat-alat pemberantasan hama dan penyakit. Kalaupun sudah ada banyak yang rusak. Bahkan pentrapan teknis penggunaan pupuk di bawah 75% dari rekomendasi dan penggunaan pestisida kurang dari I liter tiap hektar. Juga penggunaan bibit kerap kurang baik ditambah benih unggul selalu lambat tiba pada petani. Ungkapan ini tentu saja tidak mengada-ada karena dihimpun setelah mengamati langsung di lapangan dan telah pula dilempar dalam rapat bimas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus