Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Broken Dreams: Perlawanan Terhadap Junta Militer Myanmar

Broken Dreams adalah film omnibus dari Myanmar. Karya sineas melawan junta militer dan dampak kekejaman militer di negara itu.

18 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“JANGAN selamatkan saya, tubuhku saya donasikan untuk masyarakat,” Nway Oo, seorang mahasiswa kedokteran, menulis pesannya di kertas di balik kartu identitasnya. Gadis itu menghampiri ibunya, berpamitan dan meminta restu ikut berdemonstrasi. Sang ibu melepas dengan perasaan masygul ketika anak gadisnya itu berlari ke mobil yang telah menunggunya. “Pulanglah dengan selamat,” ujar si ibu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di layar segera saja ditampilkan hiruk-pikuk rakyat yang tengah berunjuk rasa menentang pengkhianatan militer. Lalu Nway Oo mengenakan helm proyek berlatar sebuah tembok kosong dengan lima gambar kecil bersimbol perlawanan dan kemudian membacakan esai. Baginya, tak ada jalan lain untuk bangkit meraih demokrasi buat masa depan bangsanya agar lebih cerah. Esainya belum selesai ia baca ketika butir peluru menerjangnya. Ia terkulai. Kertas esainya tentang rumah memerah oleh darah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua teman Nway Oo berlari kepada ibunda temannya itu dengan kertas yang penuh bercak darah. Pilu hati sang ibu, histeris tak bisa mendapatkan jasad putrinya. Ia lanjut membaca esai yang tak terucapkan putrinya dengan lantang sambil mengacungkan tiga jari—telunjuk, tengah, dan jari manis. Tak ada lagi air matanya. Ia membacakan esai Nway Oo di perkuburan, diiringi dua temannya yang tertunduk dan merasa kehilangan. Adegan dalam film berjudul Home karya sutradara Way ini liris dan mengiris hati.

Two Souls dalam Broken Dreams: Stories from Myanmar Coup. The Ninefold Mosaic

Film lain memperlihatkan sepasang laki-laki. Ada kerinduan dari bahasa tubuh mereka, tapi mereka menjaga jarak. Keduanya bertemu dalam ketakutan di perbatasan sebuah kota di Thailand. Mereka adalah pengungsi politik, aktivis pergerakan prodemokrasi yang terpisahkan oleh kudeta militer. Keduanya tak banyak bicara, seperti ada ketakutan bahwa tembok pun bakal mendengarkan mereka. Salah satu dari mereka cukup feminin, yang terkesiap ketika melihat punggung temannya, si kumis tipis, yang penuh luka saat tidur. Ia tidur seperti dalam mimpi buruk penuh ketakutan.

Sementara itu, pria yang feminin tersebut pun tak bisa menghindar dari pengalaman buruknya, ketika dia mengalami kekerasan seksual dari penyiksanya yang ia sembunyikan. Si lelaki berkumis merasa temannya itu sungguh beruntung, tak pernah mendapat penyiksaan—karena ia tak mendapati luka seperti di punggungnya. Ia tak tahu bahwa temannya mendapat penyiksaan yang lebih dalam.

Kepercayaan mereka satu sama lain tergerus. Keduanya kembali berpisah, melanjutkan perjuangan dan melanjutkan hidup bertani. Film karya M. Noe berjudul Two Souls ini menonjolkan pergulatan pikir dan dialog di antara sepasang laki-laki itu. Trauma dan ketakutan membungkus keduanya, terungkap dalam bahasa tubuh mereka. Masa lalu mengantarkan mereka ke situasi yang sulit untuk mengembalikan hubungan keduanya.

Dua film ini adalah bagian dari film omnibus Broken Dreams: Stories from Myanmar Coup karya para sutradara Myanmar yang melawan kudeta militer. Film ini diputar pada Selasa, 6 Februari 2024, di Kios Ojo Keos, Jakarta Selatan, oleh Gerakan Solidaritas Milktea Indonesia. Tempat ini dipenuhi penonton yang kebanyakan anak muda.

Berdurasi 2 jam 5 menit, film ini berisi sembilan film pendek yang memotret dampak kudeta militer 2021 di Myanmar. M. Noe dan Mehm Thet Win bertindak sebagai produser untuk delapan sutradara, yakni Bo Thet Htun, Nay Ni Hlaing Kha, L. Minpyae Mon, M. Noe, Rek, Way, Nay Chi Myat Noe Wint, dan Yit. Film ini diproduksi oleh The Ninefold Mosaic.

The Ninefold Mosaic adalah kelompok pembuat film Myanmar yang berjibaku memprotes junta militer. Kebanyakan sineas, pemeran, dan krunya berada di pengasingan untuk menghindari junta militer. Para sineas itu banyak merilis film berpengaruh secara individual, tapi di Broken Dreams mereka pertama kali berkolaborasi dengan nama ini. Beberapa anggota The Ninefold Mosaic adalah kekuatan kreatif di balik film pemenang Penghargaan Dokumenter Terbaik Berlinale 2022, Myanmar Diaries.

Para sutradara melibatkan sejumlah pengungsi untuk menceritakan kisah mereka. Krisis yang terjadi di Myanmar dan upaya menegakkan demokrasi yang masih berlangsung sejak pemberontakan militer pada 2021 digambarkan. Film ini tak hanya memperlihatkan ketahanan masyarakat Myanmar, tapi juga hancurnya jutaan mimpi. Film ini juga memperlihatkan siklus penindasan dan revolusi, gambaran dampak gangguan stres pasca-trauma, serta kisah perjuangan individu melawan penindasan. Selain itu, ada kisah pilu bekas luka dari pengalaman traumatis, keluarga yang terkoyak oleh penindasan militer, dampak generasi dari kekejaman diktator, dan nasib pengungsi etnis tertentu.

Dalam film karya Yit, penonton akan melihat gambaran kekejaman junta militer lewat dampak gangguan stres pasca-trauma yang dialami seorang perempuan. Pada waktu-waktu tertentu, langkah kaki dan ketukan pintu menjadi suara yang sangat menakutkan dan mengintimidasi. Di samping ranjang, perempuan itu menggigil ketakutan. Langkah penginterogasi yang menyiksanya seperti kembali di depan matanya. Suara-suara dan bayangan penyiksaan silih berganti memenuhi isi kepalanya.

Nyawanya selamat dari interogasi dengan penyiksaan yang kejam serta pelecehan dan kekerasan seksual, tapi pengalaman itu mengikuti sepanjang hidupnya. “Para perempuan menjadi target mereka. Kekerasan seksual yang paling menakutkan,” ujar salah seorang aktivis yang suara, wajah, dan sebagian tubuhnya disamarkan. Kisahnya diceritakan ulang dalam adegan dengan judul Dark Tangle.

Dictator’s Bathroom dalam bagian Broken Dreams: Stories from Myanmar Coup. The Ninefold Mosaic

Beberapa film lain terkadang disajikan seperti film yang absurd—menampilkan imajinasi yang silih berganti dengan realitas seperti dalam The Dictator’s Bathroom. Film ini bercerita tentang seorang penjelajah waktu yang mengunjungi seorang diktator yang tengah buang hajat di kamar mandi mewahnya setelah bertemu dengan seorang perempuan di waktu yang berbeda.

Atau kisah kakak-adik yang menjadi pengungsi untuk menghindari junta militer. Bersama warga desa, keduanya lari ke hutan meninggalkan kehidupan mapan mereka. “Tak ada lagi mesin cuci, tak ada lagi tempat tidur yang nyaman,” kata sang kakak. Ia hidup bersama suami dan adiknya dari suku Karen. Terinspirasi dari kisah nyata, diangkat dengan judul Dancing in the Dark, film ini dibintangi pengungsi dari kamp IDP. Sang kakak kehilangan adiknya saat ia mengambil air. Pencarian dimulai di tengah ketakutan disergap tentara. Setelah beberapa hari pencarian, ia pun menemukan jenazah adiknya tak jauh dari jasad seorang tentara. Film ini mengaduk emosi.

Sejak kudeta 1 Februari 2021, dari keterangan yang dihimpun aktivis Milktea, lebih dari 25 ribu tahanan politik ditangkap, lebih dari 19 ribu ditahan, dan lebih dari 4.000 orang dibunuh. Sekitar 400 warga dibakar dalam 18 bulan terakhir dan puluhan ribu rumah penduduk juga dibakar. Film ini menjadi gambaran yang dikisahkan oleh para sineas untuk meraih kembali kebebasan dan demokrasi di negara mereka.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Omnibus Melawan Junta"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus