Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ENTAH kenapa burak selalu menjadi salah satu obyek populer lukisan kaca. Bersama Petruk, Gareng, Bagong, kesatria-kesatria wayang, dan Putri Campa, burak kerap menjadi obyek favorit para perajin lukisan kaca di Cirebon, Jawa Barat; Yogyakarta; ataupun Madura, Jawa Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Makhluk yang dikendarai Nabi Muhammad dalam peristiwa Isra Mikraj menuju langit ketujuh atau Sidratul Muntaha itu sering digambarkan sebagai seorang perempuan berparas elok, bermahkota, dan bertubuh seekor kuda dengan sayap. Sayapnya mengembang cantik berwarna-warni. Sosok burak itu kerap dilukiskan tunggal hampir memenuhi bidang. Mata burak sering terlihat syahdu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di antara lebih dari seratus lukisan kaca yang disajikan di Dia.Lo.Gue Artspace, Kemang, Jakarta Selatan, dalam pameran bertajuk “Cerita Kaca: Perjalanan Seni Lukis Indonesia”, bisa kita saksikan kurang-lebih sepuluh lukisan burak. Ukurannya terbilang kecil. Betapapun demikian, anatomi burak ditampilkan beragam.
Bentuk dan detail sayapnya berbeda. Posisi kaki kudanya antara melayang dan berlari serta ekornya besar seperti daun mekar. Yang jelas, perhiasannya mewah. Burak digambarkan memiliki lingkaran kalung di leher, mengenakan mahkota ratu dengan sebagian rambut tertutup selendang, dan memakai pelana sutra. Sebuah lukisan yang memperlihatkan burak melintasi Masjid As-Syuhada di Madura terasa imajinatif.
Semua materi pameran adalah milik kolektor, dari koleksi Museum Pangeran Cakrabuwana di Cirebon sampai koleksi pribadi, seperti milik perupa A.D. Pirous dan desainer Edward Hutabarat. Pameran ini menarik karena kita bisa merenungkan dunia imaji lukisan kaca.
Tak melulu menampilkan fantasi magis burak atau kisah kepahlawanan agama, seperti Sayidina Ali bin Abi Thalib menyerang Dajal atau kirab pasukan Ottoman, yang diangkat dalam lukisan kaca, ada pula tema yang jenaka. Katakanlah polah Petruk dan Gareng dalam kehidupan urban. Para punakawan itu ugal-ugalan di atas sepeda motor, mengenakan jas sambil berkaraoke dangdutan, dan melakukan kegiatan “berandal” lain. Jenis lukisan kaca demikian sering kita lihat di Yogyakarta.
Karya lukis yang berjudul Putri Tiongkok & Putri Campa di Dia.Lo.Gue Artspace, Jakarta, 17 Februari 2024. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Tema Putri Campa lain lagi. Kisah Putri Campa yang datang dari Campa (Vietnam) untuk berdakwah dan kemudian dipersunting Pangeran Majapahit atau ulama kita menjadi folklor yang dicintai masyarakat. Di Jawa sampai ada beberapa situs makam Putri Campa, yaitu di Gresik, Jawa Timur; Lasem (dekat Pasujudan Sunan Bonang), Rembang, Jawa Tengah; Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur; dan Solo, Jawa Tengah. Dalam lukisan kaca, sosok Putri Campa sering diberi ornamen stilistik tinggi.
Tapi, sebagaimana ditampilkan di Dia.Lo.Gue Artspace, kisah wayanglah yang mendominasi lukisan kaca, seperti dalam Begawan Ciptaning, Sutasoma, Semar Mbarang Jantur, Hanuman Duta, dan Batara Kala. Pada titik ini, secara khusus bisa dibicarakan karya mendiang Rastika dari Cirebon. Rastika tersohor menampilkan sosok wayang tapi wanda (wajah dan tubuhnya) dibangun dari kaligrafi. Ia melakukan terobosan akulturasi Jawa dan Islam. Dalam pameran ini, beberapa karya Rastika ditampilkan. Ada Semar yang tubuhnya terbuat dari kalimat syahadat dan Ayat Kursi.
Beberapa seniman, seperti mendiang Danarto, banyak terinspirasi akulturasi visual Kejawen-Islam karya Rastika ini. Bahkan visual poster pementasan Teater Kecil, Orkes Madun, yang disutradarai Arifin C. Noer pada 1974 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, bergambar Semar dengan garis tubuh dari kalimat Al-Quran.
Pementasan Arifin saat itu, yang seharusnya berlangsung satu minggu, dihentikan Pusat Kesenian Jakarta lantaran dikhawatirkan ada protes berkelanjutan dari seorang ulama. Pada malam keenam, pementasan akhirnya dihentikan. Sampai sekarang karya akulturasi Rastika memikat beberapa seniman. Di Studio Mendut, Magelang, Jawa Tengah, milik budayawan Tanto Mendut, kita bisa melihat banyak koleksi lukisan kaca Rastika. Bahkan koleksi itu pernah dipamerkan di Bandung.
•••
RASTIKA wafat pada Agustus 2014. Di Cirebon, Kusdono Rastika, 42 tahun, putra Rastika, meneruskan keahlian melukis ayahnya. Tempo mengunjungi rumahnya di Desa Gegesik Kidul, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon. Pada minggu kedua Februari 2024, ia mengaku sudah beberapa hari tak melukis karena kehabisan tinta. “Baru tiga hari dikerjakan, tintanya sudah habis. Jadi sudah saya biarkan tujuh hari ini,” tutur Kusdono.
Ia menunjukkan lukisan kaca yang berobyek wayang Kresna. Ia sudah berusaha mencari tinta ke berbagai tempat di Cirebon hingga di toko daring, tapi belum ada hasil. Praktis selama seminggu ini Kusdono hanya memperbaiki lukisan sang ayah, yang ironisnya dibelinya dari orang lain. Ia mengganti sisi belakang lukisan yang sebelumnya dari kardus menjadi tripleks, memperbaiki cat yang sudah mengelupas, dan melakukan perbaikan kecil lain.
Kusdono bercerita, sebelumnya ia memiliki sebelas lukisan ayahnya yang juga ia beli dari seorang kolektor. Waktu itu si kolektor datang ke rumah Kusdono dan memintanya memperbaiki lukisan itu. Namun akhirnya kolektor tersebut kemudian menjualnya kepada Kusdono.
Lukisan ayahnya berobyek wayang dengan tokoh Semar, Arjuna, dan Kresna. “Lukisan itu memiliki karisma,” ujar Kusdono. Tapi Kusdono kini tak lagi menyimpan sebelas lukisan ayahnya tersebut. Sebelas lukisan itu sudah dijual untuk biaya pengobatan istrinya yang mengalami kecelakaan. Untuk biaya hidup sehari-hari, Kusdono masih mengandalkan lukisan yang dibuatnya sendiri. Namun lukisannya belum semahal milik ayahnya yang bisa dihargai Rp 20-30 juta.
Kusdono Rastika menunjukkan salah satu lukisan kaca dengan karakter Semar di kediamannya di Cirebon, Jawa Barat, 12 Februari 2024. Tempo/Ivansyah
Sejak berusia 13 tahun, Kusdono yang memiliki keterbatasan fisik belajar melukis dari Rastika. Dimulai dari mencampur warna-warna, Kusdono belia akhirnya memiliki pengetahuan mengenai pencampuran warna. Selanjutnya Kusdono belajar membuat sketsa di kertas. Setelah bisa, ia pun melanjutkan membuat sketsa di atas kaca. “Tapi bapak saya dulu yang bikin. Saya tinggal melanjutkan,” ucap Kusdono.
Saat berumur sekitar 20 tahun, barulah Kusdono mulai mahir membuat sketsa di atas kaca. Untuk sketsa lukisan kaca, Kusdono mengikuti gaya lukisan bapaknya, yaitu pewayangan, sekalipun lebih modern dengan tambahan sejumlah ornamen tertentu. “Pesan Bapak juga gitu, jangan lepas dari gaya Bapak. Nanti enggak laku,” ujarnya. Selain itu, pewayangan pun memiliki banyak filosofi yang bisa dijadikan panduan hidup manusia.
Untuk membuat lukisan kaca berukuran 20 x 30 sentimeter, Kusdono mengaku bisa menyelesaikannya dalam sehari. Namun ada pula lukisan kaca pesanan seseorang yang tidak mampu diselesaikannya dalam waktu sebulan. “Dia meminta digambarkan Kresna. Sebulan saya berusaha bikin, tapi enggak jadi juga.
Lalu saya minta diganti dengan tokoh yang lebih cocok. Akhirnya selesai juga,” kata Kusdono, yang tidak pernah lepas dari puasa sunah Senin dan Kamis. Kini Kusdono berupaya menurunkan kemampuan melukis kaca kepada anak semata wayangnya yang masih duduk di kelas IX. “Tapi anak saya lebih tertarik pada tari dan karate,” tutur Kusdono.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Ivansyah dari Cirebon berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Burak, Putri Campa, Semar, dll"