Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Review Film 2nd Miracle in Cell No. 7: Duka, Kenangan, dan Perjuangan Anak Sepeninggal Ayahnya

2nd Miracle in Cell No. 7 mengisahkan perjalanan Kartika kehilangan ayahnya, yang dihukum mati atas tuduhan keji diwarnai haru, kenangan masa lalu.

25 Desember 2024 | 13.31 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Poster film 2nd Miracle in Cell No. 7. Foto: Falcon Pictures.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Film 2nd Miracle in Cell No. 7 dibuka dengan adegan yang menyentuh sekaligus mengundang senyum getir: perayaan ulang tahun Kartika di dalam penjara bersama para narapidana. Kehadiran karakter-karakter dari penghuni sel nomor 7—Japra, Zaki, Yunus, Atmo, dan Asrul—memberikan tawa sekaligus kegetiran di sel tersebut. Kartika juga menerima surat ulang tahun dari Dodo, tanpa menyadari bahwa sang bapak telah menjalani hukuman mati atas tuduhan pemerkosaan dan pembunuhan anak.

Review Film 2nd Miracle in Cell No. 7, Duka di Balik Tawa

Dalam 10 menit pertama, film ini menggiring penonton pada kompleksitas emosi yang beragam. Kilas balik tentang hari-hari terakhir Dodo di jeruji besi memperlihatkan bagaimana seorang penyandang disabilitas mental menghadapi ketidakadilan. Humor khas para penghuni sel nomor 7 juga seakan menyadarkan bahwa hidup, meskipun getir, selalu menyimpan ruang bagi tawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yang membuat film ini tetap relevan, memang terletak pada porsi humornya. Berbeda dari komedi slapstick, humor dalam 2nd Miracle in Cell No. 7 terasa sesuai dengan kenyataan hidup. Celetukan para narapidana yang mencoba berdamai dengan nasib atau gurauan ringan di tengah kegetiran terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Humor ini bukan sekadar hiburan, melainkan cara karakter-karakter ini bertahan hidup, seolah menyampaikan pesan bahwa tawa adalah cara terakhir melawan keputusasaan.

Plot Film Fokus pada Kehidupan Kartika dan Konflik Adopsi

Kedatangan sipir baru bernama Hengky, diperankan Muhadkly Acho, membawa ketegangan di Lapas Mahameru. Hengky mulai mempersoalkan penyelundupan Kartika di sel nomor 7, dan memicu beragam konflik baru di dalam penjara. Hubungan para narapidana dengan Kartika juga menjadi semakin sulit dipertahankan. Dua tahun setelah hukuman mati Dodo, Kartika tinggal bersama pasangan Hendro dan Linda. Konflik lainnya juga datang ketika upaya Hendro dan Linda mengadopsi Kartika ditolak oleh Dinas Sosial.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu adegan paling melankolis juga hadir ketika Hendro, yang diperankan Denny Sumargo mengajak Kartika mengunjungi rumah lamanya yang kini telah digusur. Rel kereta yang menggantikan rumah itu menjadi metafora perjalanan hidup Dodo dan Kartika, ketika masa lalu hanya bisa dikenang. Kartika mulai menggali kembali memori bersama ayahnya, sebelum dunia mereka runtuh. Momen ini diramu dengan sinematografi yang mengandalkan komposisi sederhana: barang-barang lama, cahaya temaram, dan ekspresi kehilangan yang tak perlu dijelaskan dengan dialog panjang.

Adegan ini semakin menyayat hati ketika Kartika menemukan buku harian Juwita, diperankan Marsha Timothy yang merupakan mendiang ibunya. Buku tersebut membawa penonton menyelami kehidupan rumah tangga Dodo. Mulai dari pernikahannya, hingga menjadi ayah tunggal setelah istrinya meninggal saat melahirkan Kartika. Momen ini menyoroti perjuangan seorang ayah dengan keterbatasan, namun tetap berusaha memberikan yang terbaik untuk anaknya.

Akting yang Menghidupkan Luka

Vino G. Bastian kembali berperan sebagai Dodo dalam sekuel film ini, kemampuan aktingnya patut diapresiasi. Mulai dari gestur ragu, pasrah, tatapan kosong yang dipenuhi cinta, hingga jerit batin yang seolah ia ungkapkan lewat pesan pada teman-teman satu selnya. Tak mudah memerankan karakter yang penuh perasaan dan emosi yang kompleks seperti Dodo. 

Graciella Abigail sebagai Kartika juga menunjukkan kematangan akting yang jauh di atas anak-anak seusianya. Ia tidak sekadar menjadi anak kecil yang berakting menangis, marah, atau kecewa. Permainan peran yang ia lakukan seolah menjadi medium dari berbagai emosi kompleks—yang membuat penonton ikut merasa kehilangan sosok ayah sekaligus ibu bersama dirinya.

Sinematografi film ini menggunakan pendekatan natural, dengan palet warna lembut yang memperkuat suasana penuh kenangan. Kamera sering kali bergerak perlahan, seolah memberi ruang bagi penonton untuk merasakan tiap detail emosi. Lagu latar yang dibawakan Mahalini juga menyertai beberapa adegan sedih, dan ikut melengkapi suasana kehilangan.

Film dilanjutkan dengan perjuangan Linda, Hendro, dan para penghuni sel nomor 7 untuk mendapatkan hak asuh Kartika. Dengan durasi 2 jam 27 menit, 2nd Miracle in Cell No. 7 berhasil melanjutkan kisah film orisinalnya dengan penuh kehati-hatian. Film ini tidak sekadar melanjutkan jalan cerita atau menjual kesedihan, tapi juga membuat penonton ikut merenungkan arti keadilan, kasih sayang, dan keluarga. Film besutan Falcon Pictures ini dijadwalkan tayang mulai hari ini di bioskop Tanah Air. Sangat direkomendasikan menonton film ini bersama keluarga. 

Adinda Jasmine

Adinda Jasmine

Bergabung dengan Tempo sejak 2023. Lulusan jurusan Hubungan Internasional President University ini juga aktif membangun NGO untuk mendorong pendidikan anak di Manokwari, Papua Barat.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus