Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Rezeki yang Tak Terduga

Cerpen Rezeki yang Tak Terduga karya Kedung Darma Romansha

18 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rezeki yang Tak Terduga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kedung Darma Romansha

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Berapa honor baca puisi?"

Penyair I tersenyum sambil menatapku dengan tatapan ganjil. Kau tahu, tatapan semacam itu benar-benar merendahkan. Aku tidak tahu apakah ia merendahkanku atau merendahkan pertanyaan konyolku. Ia mengambil bungkus rokok yang ada di sampingnya dan melolosnya satu, lalu membakarnya. Sebatang pohon angsana doyong ke arah kami dengan kayu yang nyaris lapuk. Sebuah spanduk besar bergambar Chairil dengan rokok yang menempel di mulutnya terpancang di pohon itu. Masih berserakan botol minuman, plastik makanan, dan tiga botol anggur kosong di parkiran depan kami yang lengang dan tidak bertenaga. Sebagian mahasiswa, lebih tepatnya panitia peringatan "Haul Chairil Anwar", masih berkumpul di ruangan tempat acara berlangsung.

"Belum menjadi penyair saja sudah tanya honor baca puisi. Menulis saja yang benar. Dari awal aku sudah bilang, kalau mau kaya, jangan jadi penyair. Kecuali kau rela menjadi miskin."

"Tapi penyair yang kaya juga banyak, kan?"

Penyair I tertawa.

"Siapa?"

Dia menatapku lama.

"Memang benar ada penyair yang kaya. Tapi persentasenya lebih banyak yang kaya apa tidak dari jumlah penyair di negeri +62 ini? Aku tidak mau kau berharap kekayaan dari puisi, malah bisa-bisa kau frustrasi kalau kau tidak mendapatkan itu. Puisi sekarang mirip fashion show, cuma buat pajangan, barang dagangan. Cuma dinikmati kecanggihan berbahasanya, bukan isinya. Pikirkan dari sekarang, jadi pengusaha atau penyair? Kalau kau jadi pengusaha, kau bisa bayar si penyair fashion show itu," ia berkelakar sambil tertawa sinis. "Kalau penyair, puisimu hanya dibaca oleh rekan sesama penyair atau sastrawan. Lalu kau mendapat penghargaan, tepuk tangan, pujian, selesai. Itu juga kalau kau dapat penghargaan dan terkenal. Kalau tidak? Matilah kau dibunuh khayalanmu itu. Jangan halu, Bro."

"Aku bisa menulis puisi-puisi kritik sosial seperti Rendra dan Wiji Thukul, Mas."

"Memang kau tahu siapa Rendra?" Ia kembali menatapku dengan sorot mata yang tajam. Aku hanya bergeming. "Sekarang kutanya, di mana Wiji Thukul? Bahkan setan pun tidak tahu di mana jasadnya." Aku diam. Ia menjentikkan abu rokoknya ke halaman, lalu mengisapnya dalam-dalam. "Zaman sekarang, puisi semacam itu tidak laku di pasaran. Tidak ada gula-gulanya. Sebab, bukan penyair salon yang duduk di kafe sambil membayangkan hidup dari segelas wine. Kukasih tahu kau, puisi semacam itu zaman sekarang akan dianggap usang dan ketinggalan zaman dan memang wacana semacam itu dibentuk agar menempel di pikiran bawah sadar anak muda zaman sekarang. Kau tahu penyair-penyair kita juga terpengaruh gaya penyair barat yang hampir satu abad usianya. Misalnya puisi Ezra Pound yang imajis itu atau yang agak kekinian si berandal Bukowski yang ngehe. Tapi pandangan publik kan lain kalau kau niru Barat. Karena memang opini publik diarahkan ke situ. Kau mesti pelajari hal-hal yang kusebutkan tadi."

Aku terkejut mendengar penyair I mengatakan itu.

"Memang kita tidak boleh belajar dari Barat?"

"Kalimat mana yang mengatakan aku melarang kau belajar dari Barat? Aku sendiri belajar dari Barat. Aku bilang meniru, bukan belajar."

"Aku tidak mengerti, Mas. Apa menjadi penyair serumit itu?"

"Kau itu membayangkan menjadi penyair hanya dengan menulis puisi? Lalu dimuat di media, jadi buku, kemudian buku puisimu mendapat penghargaan, lalu kau diundang ke mana-mana untuk mengisi seminar atau membacakan puisimu. Kau menjadi terkenal, dikagumi banyak orang, banyak perempuan, begitu? Kau tahu, cara berpikirmu itu sudah tersesat."

Ia menatapku, bola matanya seperti mau meloncat ke mataku. "Enak sekali kalau begitu jadi penyair. Pikir pakai akalmu, kalau ribuan penyair di negeri ini ingin seperti itu. Setiap orang bisa menulis puisi, tapi tidak setiap orang bisa menjadi penyair."

"Tapi aku suka menulis puisi, Mas."

"Tidak ada seorang pun melarang menulis puisi. Seorang pengusaha pun boleh menulis puisi. Jadi, menulislah!"

"Maksudnya?"

"Kau kan cuma ingin menulis puisi, jadi tulis saja. Tidak ada larangan di dunia yang bangsat ini orang menulis puisi. Siapa pun dan apa pun profesinya. Jangan konyol."

"Tapi aku ingin menjadi penyair, Mas."

Ia membuka bungkus rokok. Kosong. "Aku minta rokokmu?"

"Habis, Mas."

"Itu!" Ia menunjuk ke arah kaos yang kupakai. Aku tertawa ketika menyadari bahwa ia menunjuk gambar Chairil yang legendaris itu.

"Sayang rokok itu tak bisa kuambil," ia tertawa kecil. "Ya, sudah, beli rokok dulu, sekalian cari makan. Aku lapar."

Kami berjalan ke arah parkiran kampus. "Tadi puisi yang dibacakan bagus, Mas."

"Tapi bacanya tak bagus, ya?" Aku hanya tersenyum. Aku menstarter sepeda motorku, disusul kemudian penyair I membonceng di belakangku. Harus kuakui penyair I memang kurang pandai membaca puisi. Ia termasuk orang yang tak suka membaca puisi dengan cara yang aneh-aneh. Baginya, membaca puisi itu sederhana. Baca saja dengan khusyuk, selesai. Bahkan ia tak peduli penonton suka atau tidak. "Kau pikir aku badut disuruh baca puisi dengan berteriak-teriak!"

"Apa, Mas? Sori, kurang dengar, Mas."

"Kau pikir aku badut disuruh baca puisi dengan berteriak-teriak!"

"Kurang keras, Mas."

"Makanya kaca helm kau buka dulu, bangsat!" katanya sambil menepuk helmku dan membukanya.

"Oke, Mas. Sekarang sudah bisa dengar dengan jelas."

"Kau pikir aku badut disuruh baca puisi sambil berteriak-teriak, lalu minum bir dengan berguling-guling, lalu salto begitu?"

Aku tertawa.

"Ya, tidak begitu juga, dong, Mas. Kan ada seninya."

"Seni air kencing! Berkali-kali aku jadi juri baca puisi, semua berteriak-teriak kalau baca puisi. Tak jarang aku berselisih dengan juri yang lain. Kau pikir seni baca puisi itu hanya berteriak-teriak? Aih, siapa pula yang mengajarkan begitu."

"Mungkin itulah yang diajarkan guru bahasa Indonesia mereka, Mas. Atau pelatih teater mereka. Tidak usah jauh-jauh, Mas. Di kampus ini juga kalau baca puisi hampir seragam, kayak kelompok paduan suara. Sangat menyedihkan."

"Itu yang diajarkan pelatih teater kau?"

Aku diam saja. Motor kami singgah sebentar di pom bensin. "Aku ke toilet dulu." Penyair I melenggang menuju toilet. Setelah mengisi bensin, aku memarkir sepeda motorku di depan toilet. Kulihat penyair I baru saja masuk toilet. Ngantri rupanya. Terpaksa aku juga mesti ngantri. Terus terang aku masih memikirkan apa yang dikatakan penyair I. Apa dengan menjadi penyair aku tidak bisa kaya? Terus terang aku mulai ragu untuk menjadi penyair.

"Kebelet juga?" Penyair I menepuk pundakku lalu melengos keluar. Ia duduk di muka toilet.

Di dalam toilet, aku masih bimbang dengan pilihanku. Kadang aku menepis apa yang kupikirkan mengenai penyair. Aku takut nanti jika istri dan anakku tak cukup hidup dari puisi. Tapi jiwaku memilih puisi. Kupikir rezeki adalah hak prerogatif Tuhan, barangkali. Jadi, aku tetap dengan pilihanku: menjadi penyair. Ketika keluar dari toilet, aku akan langsung menemui penyair I dan mengatakan kepadanya bahwa aku tetap memilih menjadi penyair.

Di muka pintu toilet, aku lihat penyair I sedang menghitung uang ribuan bercampur dengan uang koin. Dan yang membuatku terkejut, setiap orang yang keluar dari toilet, memberikan uang kepadanya. Padahal toilet di pom bensin itu gratis. Tapi masih saja orang kita ini berpikir untuk membayar. Barangkali karena memang semua di negeri ini dimulai dengan membayar. Mereka pikir penyair I sedang memungut biaya buang air. Lucu, tapi juga mengharukan. "Lumayan buat makan," katanya sambil memperlihatkan uang di tangannya.

"Memangnya tadi tidak dikasih uang transport, Mas?"

"Tidak, cuma cendera mata. Aku paham mereka tidak ada dana. Aku juga pernah mengalami waktu kuliah dulu. Tak apa."

Aku tertegun sejenak. Penyair I masih tersenyum dengan uang di tangannya, uang yang didapat dari orang-orang yang buang air. "Kau tahu, rezeki itu datangnya tak terduga. Seperti ini!" katanya kemudian. Aku tersenyum ke arahnya. Tapi hatiku getir. Goyah. Aku mulai bimbang dan kembali mempertimbangkan pilihanku. "Heh, kenapa kau bengong begitu. Kau lihat uang ini! Aku jadi ingat puisi Kemerdekaan Wiji Thukul: Kemerdekaan adalah nasi/dimakan jadi tai." Penyair I tertawa. Aku hanya tersenyum tanggung ke arahnya.

-------------------------------------

Kedung Darma Romansha lahir di Indramayu, Jawa Barat. Ia bersama kawan-kawan muda Indramayu mendirikan komunitas "Jamaah Telembukiyah" yang bergerak di bidang sastra dan sosial. Novelnya yang berjudul Telembuk: Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat masuk lima besar Kusala Sastra Khatulistiwa dan buku rekomendasi Tempo 2017. Buku kumpulan cerpennya, Rab(b)I, masuk shortlist Kusala Sastra Khatulistiwa 2020. Sekarang ia mengelola komunitas Rumah Kami di Yogyakarta.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus