Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEREKA perupa muda Bandung. Belakangan nama mereka makin kerap muncul di sejumlah pameran. Boleh dikatakan, mereka mewakili generasi terbaru perupa kontemporer, khususnya dari lingkungan pendidikan tinggi seni rupa di Bandung. Pameran Bandung Art Now di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, awal tahun ini, misalnya, antara lain meneguhkan kemunculan para perupa baru muda usia itu dalam tiga tahun terakhir ini.
Tommy Aditama Putra, 26 tahun, baru lulus dari Program Studi Seni Grafis Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung tahun lalu. Ia mula-mula memperhatikan, lalu mengagumi sepak terjang para perupa muda, koleganya yang rata-rata sedang naik daun itu. Entah bagian mana dari sepak terjang khas mereka yang menarik perhatian, ia memutuskan membuat seri potret para sejawat itu dengan kondisi kesakitan seperti dialami para pecundang: wajah mereka lebam dan memar.
Pameran tunggalnya yang pertama, Kick!, di Langgeng Icon Gallery, Jakarta, 29 April-29 Mei 2009, menunjukkan pendekatan subyektif yang segar terhadap langgam seni rupa potret, idiom yang masih digandrungi oleh para perupa kontemporer, baik di Yogya maupun di Bandung. Rifky Effendi, kurator pameran ini, menyebutkan hubungan antara Tommy dan para temannya di lingkungan seni rupa itu bersifat mendua: benci tapi rindu. Pertanyaannya: apakah karya Tommy yang meng-kick para perupa itu memang mencerminkan relasi psikologis tertentu atau strategi memposisikan diri di antara para perupa sejawat?
”Meng-kick para perupa muda yang saya kenal dan berada di lingkaran luas saya sendiri atas dasar alasan menyukai mereka secara pribadi, dari segi karya-karyanya, attitude-nya, sepak terjangnya, prestasinya, dan sebagainya, dapat menjadi alasan subyektif saya untuk kemudian mengangkat mereka sebagai obyek karya,” ujar Tommy.
Ia menggambar 16 raut para perupa muda itu penuh dengan lebam. Gambar-gambar itu bertarikh 2009, dan semua berukuran sama, 75 x 50 sentimeter. Potret itu dijejer-jejer rapat, nyaris menutup dinding. Seandainya terpasang di tempat umum, gambar-gambar itu akan mengesankan sebuah peringatan pada publik atau ancaman yang sungguh-sungguh bagi para pembangkang. Pada seri inilah Tommy menggambar dengan arang dan pensil grafit di atas kertas, medium langka yang kini mulai digemari di kalangan perupa muda. Seri ini menghasilkan himpunan gambar hitam-putih yang cukup mencekam. Wajah para perupa itu runyam, seolah-olah bercerita baru saja mengalami tindak kekerasan yang brutal. Tapi manakah musuh para seniman itu?
Teknik gambar Tommy tak terlampau rinci, tapi goresannya cukup jitu dan mengena. Identitas baru para perupa muda yang boyak itu bisa ditampilkan. Ya, andaikan tanpa dibubuhi ”tumpahan kopi” atau besutan hitam lebam dan memar pun, potret-potret itu akan tetap cukup kuat sebagai karya gambar. Kemampuan yang langka di kalangan perupa muda di Bandung.
Lewat olahan peranti lunak pada komputer, citra lebam, seakan bekas tendangan dan gamparan, menyatu secara artistik dengan subyek foto yang dibuat Tommy. Citra hiper-riil yang tak ada sangkut-pautnya dengan subyek riil yang digambar itulah yang kemudian dipindahkan ke kertas gambar atau kanvas. Lihatlah misalnya Kick Andry, Kick Yusuf, Kick Akbar, Kick Keni, Kick Tinton, dan Kick Tisa, yang menunjukkan dramatisnya lebam hitam pada wajah. Ya, ketika para perupa di sekitarnya gandrung dengan kecenderungan mengapropriasi karya seniman terkenal, Tommy lebih memilih jalan mengangkat potret sejawat dengan tematika berbeda yang cukup mengejutkan. Bukankah tema ini terasa lebih sederhana sekaligus lebih memiliki kaitan dengan isu setempat?
Gambar-gambarnya seakan merujuk pada foto dokumentasi para pecundang atau tawanan yang disiksa dalam ruang tahanan. Apakah ini lebih merupakan representasi dari sublimasi ego perupanya sendiri atau bentuk kenakalan dari praktek simulasi di zaman posmo? Pada representasi, obyek masih berfungsi sebagai tanda. Sedangkan pada aras simulasi, obyek tak lagi menjadi tanda karena sesungguhnya rujukan bagi obyek itu tak ada. Begitulah dikatakan, obyek-obyek simulasi tak lain merupakan ”facsimile”, yakni kembaran dari petanda yang fiktif itu.
Namun apakah seri gambar ini merupakan proyeksi sublim dari ego perupa atau sebuah permainan simulatif, lebam dan memar pada gambar-gambar Tommy memang tak punya kaitan apa pun dengan riwayat personal dari subyek yang digambar ataupun kecenderungan karya mereka. Dalam hal ini, seakan Tommy memang hanya ingin kembali ke sifat gambar, setelah begitu rupa mengolah foto-foto wajah perupa itu, yakni bahwa gambar adalah sesuatu yang lebih subyektif ketimbang obyektif. Tapi inilah juga masa yang disebut sebagai pascafotografi, ketika foto dan gambar dengan cepat bertukar posisi antara kedua kutub itu.
Di luar seri potret yang berjumlah 16 itu, Tommy menampilkan raut para sejawat dengan pose tubuh tertentu. Tentu ini ada kaitannya dengan upaya untuk mengesankan kehadiran subyek yang lebih ”riil”. Ada delapan karya Tommy pada seri ini. Semuanya dikerjakan di atas kanvas dan dibuat pada tahun ini. Kick Yusuf Ismail menampilkan sosok yang terpojok, dengan dengkul dan betis bonyok. Kick Wiyoga Muhardanto menampilkan sang perupa terduduk dengan wajah, leher, sampai lengan tampak memar, sedangkan Kick Radi Arwinda ditandai tubuh yang subur penuh lebam, tampak tertunduk loyo.
Memang, terasa Tommy memasuki watak tiap subyek gambarnya, hingga masing-masing potret hitam-putihnya memiliki kekuatan berbeda, meski ”stempel”-nya mirip atau bahkan sama. Karena itu, sejauh tampak dalam pameran ini, seri potret Kick-nya tak tampak seperti pengulangan, namun sebuah himpunan yang beragam. Lebam dan memar itu memang sebuah fiksi tentang potret, tapi bukankah sebuah fiksi (yang baik) memang tak perlu bersitentang dengan kenyataan, namun justru membayangkan kemungkinan terjauh dari fakta yang nyata itu sendiri?
Pada pameran Bandung Art Now awal tahun ini, nama Tommy tak masuk hitungan. Tapi, dengan seri Kick ini, agaknya, ia boleh diperhitungkan dalam jajaran perupa baru yang menjanjikan. Ya, setelah Bandung menemukan nama-nama Ariadhitya Pramuhendra, Wiyoga Muhardanto, Albert Setyawan, Beatrix, dan Tisa Granicia.
Hendro Wiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo