TAK ada yang mengenal Mbok Alipah di Jakarta. Tapi Minggu malam pekan lalu, perempuan tua berusia 59 tahun itu tampil bagaikan primadona. Tanpa merasa risi atau kikuk, dengan luwes penari dari Desa Bakungan, Banyuwangi, itu melenggang di panggung Gedung Kesenian Jakarta di tengah beberapa penari lain. Pola gerakannya sederhana tapi ia tidak kehilangan irama. Itulah salah satu adegan tari Gandrung Salatun. Karya terbaru koreografer Deddy Luthan ini merupakan sebuah mosaik yang diangkat dari dua tarian tradisional Banyuwangi yang disebut gandrung dan hadrah. Pengajar jurusan tari pada Institut Kesenian Jakarta itu rupanya memang jatuh cinta pada berbagai tarian tradisional dari berbagai daerah di Indonesia. Mbok Alipah adalah penari gandrung sejak remaja, yang memperoleh keterampilan secara turun-temurun. Yang menari malam itu mestinya ibunya, Mbah Awiyah. Tapi ia keburu meninggal pada usia 85 tahun, sebelum sempat diboyong ke Jakarta. Deddy, yang sering melakukan studi lapangan di berbagai daerah, rupanya kagum pada "roh" kesenian yang begitu mantap terpatri di kalbu "seniman alam" seperti Mbah Awiyah. Deddy berkesimpulan bahwa seni tradisional ternyata bukan hanya sekadar olah fisik tapi juga ungkapan rasa dan naluri yang kemudian tampil sebagai "roh" dalam wujud tarian. Hal itu tercermin, misalnya, dari ungkapan si Mbah: "Aku hidup ini seperti mati, tak berarti apa-apa. Aku baru merasa hidup kembali dan menjadi berarti pada saat aku menari." Berangkat dari "roh yang hidup pada saat menari" itu, Deddy -- sudah mencipta belasan karya tari -- mengangkat tari tradisional Banyuwangi itu sebagai ungkapan artistik. Eksperimen ini dipoles dengan warna "kesenian bernapaskan Islam" yang memang pernah memberi warna budaya di sana. Tak puas dengan itu, Deddy juga memolesnya dengan puisi Kahlil Gibran. Meskipun penyair Libanon awal abad ke-20 itu sebenarnya beragama Kristen, karya-karyanya sangat universal sehingga ketika salah satu puisinya diperdengarkan di tengah alunan musik tradisional Banyuwangi, tidaklah terlalu mengganggu. Bahkan menurut koreografer Sardono W. Kusumo, pas dan sah sebagai salah satu unsur dalam karya tari yang berpenampilan mosaik. Ini merupakan karya ketiga Deddy yang bersumber dari gandrung. Dua karya lainnya: Kadhung Dadi Gandrung Wis, menceritakan awal terciptanya tari gandrung dan Iki Buru Gandrung yang mengungkapkan kehidupan penari gandrung. Berbeda dari Gandrung Salatun, dua karya terdahulu merupakan gandrung murni tanpa unsur tari yang lain. Mengapa Deddy mencoba memadukan dua jenis tari tradisional, gandrung dan hadrah? "Saya melihat adanya saling pengaruh antara keduanya. Banyak gerakan gandrung yang mempengaruhi hadrah," katanya. Sementara itu, puisi yang dibaca dalam kedua tari itu juga hampir sama, yaitu selawat pada Rasulullah. Dengan karya ini, Deddy tidak sekadar menyuguhkan sebuah ekspresi kesenian tetapi juga "sesuatu". Dan "sesuatu" itu ialah keberadaan manusia yang unik dan kompleks dengan karakter yang berbeda-beda, lengkap dengan unsur yang disebut hawa nafsu. "Saya mencoba menggambarkan manusia yang berusaha melepaskan diri dari jeratan hawa nafsu," katanya lagi. Seperti halnya Sardono W. Kusumo yang pernah memboyong penduduk Desa Teges, Bali, untuk menari dalam karyanya yang monumental, Dongeng dari Dirah, kali ini Deddy juga menggotong para penabuh dan penari dari Desa Bakungan, Cungking, Krasak, Olehsari, Kemiren, Pancoran, Kertosari, Wongsoporejo, semuanya di Banyuwangi. Termasuk Mbok Alipah itu. Rombongan itu ditambah dengan para penari dari IKJ dan grup wayang orang Bharata, Jakarta. Menurut Deddy, banyak pengalaman unik ketika mengamati dan melakukan latihan di desa-desa itu. "Setiap saat dapat dilakukan interaksi antara penari desa dan kota. Dan yang lebih penting ialah terciptanya proses penghayatan secara total di antara semua pemain," katanya. Bagi Sardono, pendekatan yang dilakukan Deddy dalam Gandrung Salatun bisa diumpamakan memajang ukiran Jepara dalam rumah yang berarsitektur modern. Antara lain, misalnya, tampilnya penari tua itu. Karena unsur tradisional itu sudah sangat kuat, keberadaannya dalam keseluruhan karya tari itu sah saja dan tidak mengganggu. Bahkan jadi bagus. Tapi, menurut Sardono lagi, sesungguhnya tidak ada yang baru dalam karya tari Deddy yang terdiri dari beberapa unsur tari dan dipoles dengan puisi Kahlil Gibran itu. Karya yang bersifat mosaik itu sudah merupakan hal yang biasa dalam "tradisi" kesenian modern. Di lain pihak, ada hal yang menarik: Deddy ingin menampilkan napas Islam yang hidup dalam tari tradisional itu. Menurut Deddy, yang berdarah Minang tapi lahir di Jakarta, budaya Islam bukan hanya memberi stimulans pada bentuk-bentuk fisik dalam perwujudan kesenian, tapi juga memberi napas ritual. Islam, katanya seperti berkhotbah, tidak hanya mengajarkan manusia agar beribadah dengan landasan iman dan takwa, tapi juga agar memelihara hubungan antara manusia dan manusia. "Hablum minallah, hablum minan nas, hubungan manusia dengan Allah dan manusia dengan manusia," kata Deddy. Hubungan antara manusia dan manusia itu, menurut Deddy, tercermin dalam gerakan tari yang serempak oleh 5 sampai 10 penari. Dalam hadrah polanya bersama, dengan kerampakan gerak, sementara dalam gandrung penonton ikut pula menari. Budiman S. Hartoyo, Siti Nurbaiti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini