Salut kepada wartawan TEMPO Karni Ilyas yang telah berhasil bertemu muka dan mewawancarai Ny. Kartika Thahir di Jenewa, Swiss, (TEMPO, 22 Februari 1992). Salah satu jawaban Kartika Thahir kepada TEMPO menyebutkan bahwa suaminya tidak mungkin menjadi perunding karena tidak bisa berbahasa Inggris. Bahkan, untuk memesan makanan di restauran saja suaminya tidak bisa. Ia sebagai asisten direktur utama hanya disuruh Ibnu untuk mendampingi Nur Usman dalam negosiasi. Saya percaya kepada jawaban Kartika Thahir di atas, sebab saya tahu H. Thahir adalah pribadi yang lugu, sedikit bicara, bahkan kalau orang lain menegurnya terkadang tak pernah dijawabnya. Keluguan H. Thahir itu sudah dikenal di lingkungan karyawan Pertamina. Saya bertemu dengan H. Thahir pada tahun 1971 di Hotel Orchard Singapura, tempat ia menginap. Pagi itu, saya bersama dua pegawai tinggi Pertamina bertemu dengan H. Thahir yang baru keluar dari kamarnya diiringi pembantunya, Robin Loh. Kedua orang karyawan Pertamina itu tampaknya seperti mau menghindar agar tidak bertemu dengan H. Thahir karena sifat lugunya yang jarang menyambut teguran orang lain kepadanya. Akhirnya sayalah yang menyapa H. Thahir dengan suara keras. Ia hanya mengangguk-angguk saja. Saya dengan cepat memperkenalkan diri, "Masih ingatkah U kepada saya yang pernah menjadi saksi dalam pernikahan U dengan Sonya di Kwitang tahun 1951," Haji Thahir sedikit terkejut, ia dengan cepat menjawab "oh, ya". Hanya itu yang keluar dari mulutnya, lalu berjalan menuju ke mobilnya. HAJI G. MALIKMASS Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini