Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
THE JEWEL OF MEDINA
Penulis: Sherry Jones
Penerbit: Beaufort Books
Jumlah halaman: 359
Tahun terbit: Agustus 2008, cetakan I
AISYAH binti Abu Bakar memiliki hampir segalanya. Pipi merah tomat yang membuatnya dipanggil dengan sebutan sayang ”Humaira”. Kecerdasan dan keberanian yang mencengangkan untuk ukuran perempuan abad ketujuh serta kehidupan sebagai pengantin Rasulullah.
Dialah satu-satunya perempuan yang dinikahi Rasulullah tatkala masih perawan dan kepadanyalah Muhammad mendiskusikan banyak hal. Sejarah juga mencatat, anak perempuan Abu Bakar as-Shiddiq—sahabat Rasul—ini merupakan sumber dari hampir seperempat hukum Islam, termasuk fikih wanita, dan perawi tidak kurang dari 2.000 hadis. Selain ketajaman daya ingatnya yang sukar ditandingi, kesucian dan kesalehannya membuat Aisyah berjulukan Ummul Muslimin: Ibu Kaum Muslimin.
Ya, Sherry Jones, penulis buku The Jewel of Medina, sangat mengagumi sosok yang satu ini. Tapi wartawan kantor berita Bureau of National Affairs yang berdiam di Washington, Amerika Serikat, itu dalam bukunya ini lebih sibuk memotret Aisyah dari sisi yang dramatis dan romantis. Berpuluh halaman prolog ia dedikasikan untuk ”merekonstruksi” drama di balik tudingan bahwa Aisyah telah bermesraan dengan laki-laki lain, Shafwan bin Mu’athtahl.
Ketika itu Aisyah baru berusia sekitar 14 tahun dan terpaksa berbohong. ”Kuucapkan berkali-kali perasaan cintaku kepadanya bahwa ia adalah satu-satunya laki-laki dalam hidupku… berharap kata-kataku ini akan termakan oleh pikirannya yang galau. Berharap getar dusta dalam suaraku tidak tertangkap olehnya. Aku hanya menginginkan rasa aman,” katanya.
Peristiwa yang membekas dalam di hati Rasulullah serta para sahabatnya dan menjadi penyebab turunnya surat An-Nur itu sebenarnya sudah dijelaskan dengan gamblang dalam banyak riwayat. Imam Bukhari bahkan pernah menjelaskan dalam sahihnya. Ketika itu Aisyah yang mengikuti Rasul bepergian tertinggal dari rombongannya karena perutnya mulas. Sudah menjadi tradisi bagi Muhammad untuk mengundi para istrinya jika hendak mengajak mereka bepergian. Saat terbaring menahan sakit itulah Shafwan, sahabat Rasul, melihat dan menuntun unta Aisyah kembali ke Madinah.
Dan Jones—dengan kemampuan narasinya yang memukau—menggambarkan bagian ini layaknya scene romantis sebuah novel percintaan.
Aisyah yang jatuh hati kepada Shafwan, yang mengaum bak singa betina jika hak-haknya dilanggar, yang seakan menyimpan semangat seorang feminis zaman itu, atau yang lumayan berterus terang tentang pengalaman seksualnya—semua itu menjadi satu dalam The Jewel of Medina. Untuk yang terakhir ini, tampaknya kita menjumpai seorang perempuan tak dalam latar abad ketujuh, melainkan kini—layaknya Carry Brandshaw dalam serial Sex & the City.
Kelemahan utama Jones dalam menggarap karakter tokohnya adalah ketidaktaatannya menggambarkan sang tokoh. Muhammad, lewat pujian dan penggambaran Aisyah, hendak ia gambarkan sebagai tokoh moderat yang melindungi dan mengakomodasi hak-hak perempuan, di samping sebagai sosok ”haus perempuan” serta otoriter karena mengurung para istrinya di rumah.
Entah apa yang didapat dari penelitian sepanjang lima tahun yang dilakukan Jones, yang jelas sisi ”fiksi” buku ini—bukan ”fiksi sejarah”—cukup terasa. Apalagi akurasi menjadi masalah cukup serius. Jones, misalnya melafalkan Allah menjadi al-Lah dan inilah yang membuat Denise A. Spellberg, pakar Islam asal Amerika, berang bukan kepalang. Spellberg, yang semula diminta membubuhkan komentar pada kulit buku ini, kemudian berbalik dan menentang rencana penerbitannya. Sosok yang belasan tahun meneliti perihal Aisyah itu menyebut karya perdana Jones ini sebagai ”lucah”, ”tidak layak disebut novel sejarah”, dan ”menghina.”
Menghadapi kecaman dan tuduhan penghinaan terhadap Islam, Jones bergeming dan berkukuh karyanya sebagai bentuk kekaguman dan sahih karena ditulis bersandarkan tumpukan literatur (salah satu sumbernya Seribu Satu Malam). Jones keliru besar soal itu. Tapi sensor lewat kekerasan dan ancaman tidak selayaknya dilancarkan umat yang marah karena antusiasme salah kaprah dan bombastis Jones. Sikap bijak untuk mencari pembanding yang akurat tentu lebih baik. Orang Arab bilang, al sim fil ‘asal. Madu yang amat manis bisa berubah menjadi racun. Cerita yang terlampau bombastis tidak ada harganya.
Angela Dewi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo