Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RELIGI dijadikan politik, dan mereka mempecundangi rakyat yang lapar," kata sastrawan Ahmad Tohari di antara guguran salju dan jalanan licin di pelataran Teater Spui, Den Haag, Belanda, Sabtu dua pekan lalu.
Hari itu pengarang novel Ronggeng Dukuh Paruk ini membuka festival sastra internasional Writers Unlimited Winternachten, yang berlangsung dari Kamis hingga Ahad dua pekan lalu. Dia membukanya bersama Amos Oz dari Israel dan Alberto Manguel dari Argentina, dua sastrawan yang disebut-sebut sebagai calon penerima Hadiah Nobel bidang sastra.
Pada hari yang sama, Tohari juga meluncurkan trilogi lengkap Het dansmeisje uit mijn dorp, Ronggeng Dukuh Paruk edisi bahasa Belanda. "Saya harus menunggu selama 15 tahun sampai buku ini terbit utuh," katanya. Buku pertama dari trilogi itu terbit pada 1992 dan buku kedua pada 1996. Peluncuran itu disertai diskusi santai bersama Tohari; penulis Belanda, Adrian van Dis; dan koresponden harian Volkskrant di Jakarta, Michel Maas.
Perubahan dalam penerbitan terakhir ini berada pada buku ketiga, Jantera Bianglala. "Edisi ini pernah saya tawarkan kepada penerbit, tapi mereka mengatakan supaya saya menunggu sampai waktunya tepat. Setelah Soeharto jatuh, barulah ini terlaksana," ujar Tohari. Bagian ini, antara lain, menggambarkan kondisi sebuah penjara perempuan pada 1966, tak lama setelah Partai Komunis Indonesia diberangus.
Ketika rezim Soeharto berkuasa, ada tabu untuk menyinggung-nyinggung tentang pembantaian massal dalam tragedi 1965. "Ketika menulis trilogi ini, saya sangat hati-hati karena yang saya hadapi adalah kaum militer dan agama. Ketika menulis, saya merasa ada pistol di tengkuk," katanya.
Menurut Tohari, banyak korban tragedi 1965 di desanya di daerah Banyumas adalah orang yang tidak sepenuhnya mengerti politik. Umumnya mereka bergabung dengan PKI setelah kampanye partai itu tentang "tanah untuk petani", yang memicu perpecahan antara pemilik tanah dan orang yang tidak memiliki tanah. "Bahkan perempuan dan anak-anak pun dihabisi. Saya benar-benar sedih dan tak membayangkan ada kekejaman semacam itu," ucapnya.
Mencermati keberhasilan film The Act of Killing karya Joshua Oppenheimer, yang menurut Michel Maas telah membukakan mata banyak orang di kalangan muda dan dunia internasional tentang tragedi 1965, Tohari mengatakan saat ini adalah waktu yang tepat untuk melakukan rekonsiliasi. "Hal pertama yang harus diingat bahwa kita semua adalah korban. Jadi janganlah membuka luka lama. Kita semua harus membuka hati dan waras. Rekonsiliasi menjadi penting, daripada dibiarkan mengambang seperti ini."
Maya Sutedja-Liemdan dan Monique Sardjono-Soesman, yang menggarap seluruh penerjemahan karya Tohari, mengatakan lega dengan terbitnya trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. "Bagaimanapun, ada perasaan lain ketika kami menerjemahkan dengan leluasa," kata Maya. Suasana pembicaraan siang itu berlangsung hangat dan santai. Walaupun tampak lelah oleh perjalanan panjang, penyakit asam urat, dan suhu udara di Belanda yang tiba-tiba anjlok hingga minus 9 derajat Celsius, Tohari tampak ringan dan tersenyum.
Lea Pamungkas (Den Haag)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo