Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Bunyi pada Teks Kita

27 Januari 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Roy Thaniago*

Simaklah kalimat ini: "Ajaklah dia membicarakan kasus yang mengacak-acak sektor keuangan negara. Maka suasana akan beralih lebih ,panas dan meriah,, mirip musik berirama staccato yang ­mengentak-entak."

Kalimat itu terdapat pada salah satu tulisan majalah ini halaman 124, edisi 27 Mei 2012, yang menampilkan wawancara dengan Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Mungkin sang penulis berupaya bersolek bahasa. Menggunakan metafor bebunyian untuk melukiskan suatu keadaan tentu sah saja. Penggunaan yang pas dan kreatif malah akan menambah daya imajinatif suatu tulisan. Tapi bila penggunaannya tidak pas, apalagi keliru, tentu akan mengaburkan realitas suasana yang sesungguhnya. Bukan hanya itu, praktek tersebut malah akan mencemari istilah atau bahasa teknis suatu disiplin ilmu tertentu.

Pada kalimat di atas, "suasana yang panas dan meriah" sedang disejajarkan dengan keadaan yang lain melalui istilah musik, yakni "musik berirama staccato yang ­mengentak-entak". Pertama, ­pembaca yang sebelumnya tak mengenal lema "staccato" tentu tak akan mendapatkan gambaran mengenai suasana yang dimaksud di dalam teks. Benar bahwa keterangan "yang mengentak-entak" mungkin akan segera menggugurkan pendapat tadi. Tapi "staccato" menjadi mubazir karena ia tak mampu menjelaskan dirinya.

Kedua, "staccato" bukanlah jenis suatu irama. Ia adalah sebuah artikulasi. Artinya, "staccato" adalah salah satu arahan tentang cara melafalkan suatu bunyi: bagaimana suatu kalimat musik dipenggal (frasa), di bagian mana diberi penekanan (aksen), atau kapan dua atau lebih nada dimainkan tanpa dipisah pengucapannya (slur). Sedangkan "irama" atau "rhythm" adalah pola ritmik tertentu yang dinyatakan dengan nama (Pono Banoe, 2003). Dangdut, waltz, kotekan, swing, keroncong, rumba, polka adalah segelintir nama dari macam-macam irama yang ada di dunia.

"Staccato", dan ini menjadi poin yang ketiga, juga bukanlah berarti bunyi yang mengentak-entak, tapi lebih kepada not atau bunyi yang dimainkan dengan artikulasi pendek-pendek atau patah-patah, berlawanan dengan legato yang bunyinya menyambung dan mengalun. Sedangkan untuk menggambarkan bunyi yang mengentak-entak sebetulnya lebih tepat menggunakan istilah marcato, accentuato, atau sforzando dengan kadar dan fungsinya masing-masing yang berbeda.

Kesalahkaprahan penggunaan istilah musik memang kerap terjadi dalam ranah bahasa. Ketatnya perbedaan arti antarterminologi musik tidak diikuti oleh penerapannya ketika digunakan dalam teks. Selain kasus "staccato", contoh lain bisa ditemui pada Tempo edisi 11 November 2012 pada halaman 74. Pada paragraf pertama artikel mengenai musikus Alfred Simanjuntak itu tertulis, "Nada bicaranya marcia seperti tempo dalam lagu ciptaannya." Apa yang keliru? Di sini "nada" disamakan dengan "tempo". Lagi pula "marcia" bukanlah nada.

Alam bahasa kita memang langganan kekisruhan. Serangkaian contoh di atas menunjukkan bahwa yang terjadi adalah kekisruhan dalam membunyikan teks. Tapi dengan satu lirikan bisa kita temui bahwa kekisruhan juga terjadi pada ranah sebaliknya, yakni pada upaya mentekskan bunyi. Jadi, dalam pembicaraan ihwal bahasa dan musik, kita tengah mengalami problem membunyikan teks dan ­problem mentekskan bunyi, dan inilah yang berujung pada kesalahkaprahan penggunaan istilah musik.

Menjelaskan bunyi melalui teks memang bukan perkara gampang. Sama tak gampangnya dengan membuat teks agar "berbunyi". Tapi mentekskan bunyi tentu datang lebih dulu ketimbang membunyikan teks. Dan keberhasilan yang pertama, biasanya, akan serta-merta di­ikuti keberhasilan yang kedua. Tentu, di sini kita mesti bersepakat untuk tak bersepakat bahwa bahasa mampu meringkus fenomena bunyi. Singkatnya: bahasa (teks) hanya mampu melukiskan peristiwa bunyi tak sampai setengah dari kondisi yang sebenarnya. Artinya, sebuah sikap perlu mengawalinya: kesadaran bahwa bahasa terbatas, sehingga ada potensi mereduksi makna.

Upaya mentekskan bunyi kerap kita dapati dari, misalnya, laporan jurnalistik atas suatu pementasan musik. Oleh si penulis, biasanya, peristiwa-peristiwa bunyi yang ada kompleksitasnya dilipat, kekhasannya diabaikan, dan digeneralisasi melalui istilah-istilah yang kadung lazim dipakai dalam penulisan, tak peduli seberapa tepat penggunaannya. Misalnya bahwa kata "rancak", "eksotik", atau "berirama" umum dipakai untuk menggambarkan suatu keadaan bunyi tertentu. Seolah-olah bahwa kata-kata tersebut seperti halnya aspirin, yang bisa mengatasi segala keadaan (bunyi).

Lantas apakah ini bentuk kemalasan mencari ungkapan lain yang lebih tepat? Atau malah ini semacam tirani mendefinisikan bunyi? Entahlah. Namun, kalau reduksi makna sudah terjadi pada upaya mentekskan bunyi, apa lagi yang diharapkan dari upaya membunyikan teks?

*) Redaktur majalah Bung!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus