Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Dari Lorong Kumuh ke Layar Perak

Sebuah karya klasik legendaris yang sudah diadaptasi dalam berbagai format. Berhasilkah Hooper membuat sebuah film musikal?

27 Januari 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LES MISRABLES
Sutradara: Tom Hooper
Skenario: William Nicholson, Alain Boublil, Claude-Michel Schnberg, Herbert Kretzmer, berdasarkan pertunjukan panggung musikal Les Miserables oleh Alain Boublil dan Claude-Michel Schnberg yang diadaptasi dari novel karya Victor Hugo
Pemain: Hugh Jackman, Anne Hathaway, Russell Crowe, Amanda Seyfried, Eddie Redmayne, Samantha Barks, Helena Bonham Carter, Sacha Baron Cohen

ADA alasan mengapa genre musikal disebut musikal. Ada alasan pula mengapa seorang sineas seperti Tom Hooper ingin mengangkat karya legendaris Victor Hugo yang sudah berpuluh kali diadaptasi dalam berbagai bentuk. Apa pun alasannya, Hooper sudah memilih bentuk musikal. Artinya, para pemain akan menyampaikan sebagian besar dialog dalam bentuk menyanyi solo atau duet atau chorus. Seluruhnya sudah dibentang oleh Alain Boublil dan Jean-Marc Natel dengan libretto versi bahasa Inggris yang bagus oleh Herbert Kretzmer dengan tambahan nomor baru khusus untuk film ini.

Hooper dengan matanya yang tajam sudah memilih Anne Hathaway dan Amanda Seyfried, yang dianugerahi begitu banyak bakat: seni peran dan seni suara. Pemilihan Hugh Jackman sebagai Jean Valjean, petani yang dipenjara 19 tahun, kabur dari penjara, dan terus-menerus diburu Inspektur Javert, ternyata menjadi problem besar.

Untuk mereka yang belum tahu sinopsis novel setebal lebih dari 1.200 halaman ini, ringkasnya begini. Inilah kisah tentang Jean Valjean, seorang wali kota yang di masa lalunya adalah narapidana nomor 20641. Dia kabur dari penjara sebelum masa pengurungannya selesai. Inspektur Javert dengan obsesif mengejar Valjean seolah-olah seluruh hidup dan napasnya hanya didedikasikan untuk melempar Valjean ke penjara. Di antara perburuan kucing-tikus itu, Valjean tentu saja digambarkan sebagai lelaki yang sudah bertobat karena pertolongan seorang pastor. Valjean kemudian menolong Fantine, bekas buruh pabriknya yang terpaksa menjadi pelacur untuk menghidupi bayinya, Cosette. Sebelum Fantine wafat, Valjean berjanji akan merawat Cosette seperti anaknya sendiri.

Hooper, yang menghadirkan The King,s Speech, yang berhasil memenangi Academy Awards (2010) sebagai Film Terbaik, adalah sutradara yang biasa memfokuskan pada hal penuh keintiman; tentang persoalan pribadi yang kemudian bisa menjadi masalah nasional jika tidak diatasi. The King,s Speech berhasil karena Hooper menggambarkan perkembangan psikologi sang raja yang semula gagap hingga akhirnya berhasil berpidato dengan mulus. Semua perkembangan cerita dan karakter memenuhi drama tiga babak yang sangat terperinci, teliti, sekaligus intim dan menyentuh itu.

Les Miserables adalah novel gigantik yang sudah diadaptasi ke atas panggung, yang juga gigantik. Tapi Alain Boublil, Claude-Michel Schnberg, dan Herbert Kretzmer berhasil menciptakan serangkaian lagu, libretto untuk tiga babak yang berhasil mengambil sumsum dari novel itu. Apakah Tom Hooper mampu dan timnya mengadaptasi serta menuangkan kembali ke skenario film? Apakah dia berhasil menerjemahkan naskah ini menjadi sebuah film "musikal", genre yang sangat sulit itu?

Hooper memilih menggunakan aktor dan aktris, bukan penyanyi. Itu sah-sah saja. Bukankah banyak aktor-aktris yang ternyata bersuara bagus, seperti Nicole Kidman dan Meryl Streep? Jadi, saat dia mengumumkan nama-nama besar itu, para calon penonton memberi permakluman. Ini sebuah film, kita ingin melihat emosi dan seni peran, jadi bukan sekadar penyanyi yang mangap-mangap dengan suara bagus tanpa kemampuan akting. Tapi, ingat, film ini disebut musikal. Jadi, jika Jean Valjean, sang peran utama, yang sejak awal hingga akhir film bernyanyi saat berdialog, tentu saja kita berharap Hugh Jackman tak terlalu kebanyakan nyasar keluar dari tangga nada. Nyatanya, dia nyasar melulu. Permakluman sudah diperlebar sebanyak mungkin: demi Hugh Jackman, seorang aktor yang bagus dan ganteng. Tapi sejauh apa kita memberi permakluman jika dia selalu saja lebih seperti berteriak daripada mengalunkan nomor solo (oh, terasa begitu panjang dan menyakitkan telinga).

Terlebih saat Valjean berhadapan dengan Inspektur Javert (Russell Crowe), di mana keduanya menyanyi dengan lirik penuh argumen yang tak lagi membawa kita pada Paris abad ke-19, yang penuh kemiskinan dan derita. Mereka lebih mirip dua petinju yang sedang meraung.

Untung Fantine diperankan (dan dinyanyikan) oleh Anne Hathaway dengan baik sekali. Tak mengherankan jika satu nomor solo terkemuka, I Dreamed a Dream, yang disajikan dengan pedih sembari terisak dijadikan trailer kebanggaan produksi ini. Mereka mengklaim inilah film musikal pertama yang syuting lagunya langsung direkam secara live (pada film musikal umumnya, adegan musik biasanya direkam di studio sebelumnya). Tentu mereka lupa, atau pura-pura lupa, bahwa film Across the Universe (Julie Taymor, 2007) sudah mendahului teknik berani ini. Dan Taymor jauh lebih berhasil menjaga para aktornya tidak keluar dari nada seperti terjadi pada film musikal Hooper ini.

Cosette dewasa diperankan dengan anggun oleh Amanda Seyfried dan Marius diperankan Eddie Redmayne adalah generasi baru di masa Prancis menggelegar menginginkan perubahan. Meski barikade yang sebetulnya digambarkan besar dan kompleks dalam novel ataupun panggung, Hooper memilih barikade yang "simbolis", cukup seuprit hingga kita membayangkan para pemuda revolusioner itu dengan gampang bisa dilipat sampai mampus.

Apa pun keluhan penonton, toh film ini adalah sebuah film yang kebal kritik. Penonton penggemar versi panggung akan memeluknya dengan erat karena nilai kenangan dan musik yang sudah tertera di benak. Adapun penonton yang tak mengenal versi panggung akan tetap mengaguminya karena, terlepas dari suara sumbang kedua aktor itu, pemain lain tampil baik.

Leila S. Chudori


Saat Victor Hugo Melahirkan Valjean

Paris, 1841.

Di sebuah lorong kecil di Paris, Victor Hugo menyaksikan peristiwa yang kelak diabadikan dalam sastra dunia. Seorang pelacur muda ditahan polisi karena dia menabok seorang lelaki. Sambil digelandang, perempuan muda itu berteriak meronta dengan galak karena dia merasa tak bersalah. Hugo lantas menghampiri polisi itu dan meminta si perempuan muda dibebaskan.

Dialog antara polisi dan Hugo itu kemudian diabadikan di antara 1.270 halaman novel Les Miserables, yang kelak menjadi salah satu adegan penting yang menandai pertemuan antara tokoh utama Jean Valjean dan Fantine.

Tokoh Jean Valjean pun diinspirasikan oleh pengusaha terkemuka bernama Eugene Franois Vidocq. Sebelum dikenal sebagai pengusaha, Vidocq adalah narapidana. Untuk keperluan riset novel, Vidocq tak keberatan bercerita kepada Hugo tentang banyak hal, termasuk bagaimana dia pernah menolong seorang buruh di pabrik kertas miliknya yang keberatan mengangkat barang di bahunya.

Soal pencurian roti? Itu juga peristiwa nyata lain yang disaksikan Hugo. Pada 22 Februari 1846, Hugo sudah mulai membangun kerangka Les Miserables. Sekali lagi, dia menyaksikan seorang lelaki ditangkap polisi karena mencuri sepotong roti, sementara seorang putri bangsawan dan anaknya melihat peristiwa itu dari kereta tanpa ekspresi apa-apa.

Peristiwa-peristiwa nyata ini berkembang dalam benak Hugo, yang kemudian kita kenal wujudnya sebagai novel klasik yang lahir pada 1862. Novel dengan latar belakang sejarah ini ternyata hidup terus menembus ruang dan lorong waktu berabad-abad kemudian. Dengan ilustrasi karya Emile Bayard, yang menggambarkan tokoh Cosette kecil tengah menyapu dengan batang sapu yang lebih tinggi daripada tubuhnya, kini Cosette kecil menjadi ikon. Dua abad kemudian, wajah Cosette kecil inilah yang menjadi poster Les Miserables musikal (dan film) dengan superimposed bendera Prancis.

Di abad modern, kita mengenal sosok Jean Valjean, petani yang baru keluar dari penjara karena mencuri sepotong roti, yang terus dikejar Javert, polisi yang di masa lalunya adalah opsir penjara dalam berbagai bentuk, antara lain film (sutradara Richard Boleslawski, 1935) dan adaptasi radio (Orson Welles, 1937). Tapi yang membuat cerita ini melekat pada benak generasi muda justru format pertunjukan panggung musikal.

Adalah komponis Prancis, Alain Boublil, yang tengah menyaksikan pertunjukan musikal Oliver di London puluhan tahun silam. Menurut Boublil, begitu melihat sosok Artful Dodger meluncur ke atas panggung, langsung saja ia membayangkan tokoh Gavroce (sosok anak lelaki temperamental dan bergairah mengikuti gerakan anak-anak muda Prancis dalam Les Miserables). Perlu diingat, Charles Dickens dan Victor Hugo sama-sama sastrawan abad ke-19. Persamaan mereka bukan sekadar menulis ketika revolusi industri meledak, melainkan persoalan perbedaan kelas yang menjadi kritik utama dalam karya-karya mereka. Maka persamaan aura itulah yang diperoleh Boublil ketika dia mulai bisa membayangkan Valjean, Javert, Gavroce, Cosette, Marius, Epopine, dan Fantine meluncur ke atas panggung dan menyanyikan penderitaan serta cinta. Boublil mengajak komponis Claude Michel-Schnberg, dan mereka merancang sinopsis untuk "menyeleksi" tokoh-tokoh penting yang perlu ditampilkan serta tokoh yang disunting (ingat, novel ini lebih dari 1.200 halaman yang melibatkan puluhan tokoh!).

Schnberg membuat komposisi musik bersama Boublil dan, September 1980, pertunjukan musikal Les Miserables pertama dalam bahasa Prancis disaksikan 500 ribu penonton di Palais de Sports, Paris, dengan sutradara film Prancis terkemuka, Robert Hossein. Pertunjukan ini menampilkan Maurice Barrier sebagai Jean Valjean dan Rose Laurens sebagai Fantine.

Pertunjukan Les Miserables yang fenomenal, musik yang mudah melekat di benak, dan libretto yang berhasil menangkap jiwa novel Hugo itu kemudian segera saja diadaptasi dengan lirik yang diterjemahkan dan diadaptasi oleh Herbert Kretzmer dengan beberapa tambahan untuk penonton internasional, yang tak semuanya memahami revolusi Prancis. Produksi musikal berbahasa Inggris pertama disutradarai Trevor Nunn dan John Caird, yang diselenggarakan di Barbican Arts Centre, London, pada 1985 dengan Colm Wilkinson sebagai Jean Valjean. Di dalam film yang sekarang sedang beredar, Wilkinson memerankan Bishop Myriel.

Selebihnya, Broadway! Pertunjukan musikal Les Miserables menjadi sejarah. Ini menjadi pertunjukan paling laku, paling meledak, dan terpanjang nomor tiga dalam sejarah.

Pada 1998, sutradara Bille August memasang Liam Neeson sebagai Jean Valjean, Geoffrey Rush sebagai Inspektur Javert, Uma Thurman sebagai Fantine, dan Claire Danes sebagai Cosette dalam adaptasi film Les Miserables. Enam tahun kemudian, muncul versi mini seri, yang menampilkan Gerard Depardieu.

Tapi baru versi Tom Hooper yang mengadaptasi naskah musikal panggung menjadi film, yang kemudian kembali merenggut perhatian pemirsa dunia. Ia tak hanya berhasil meraih penghargaan Golden Globe dalam kategori film musikal terbaik, tapi juga mendapatkan delapan nominasi Academy Award tahun ini.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus