Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

’Dongeng-dongeng’ Jumaadi

Sederet lukisan karya Jumaadi di Galeri ArtSpace 1 membawa kita ke sebuah dunia subconsciousness.

27 Januari 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bercerita tapi tidak ilustratif. Mendongeng tapi tidak naratif. Begitulah kita menangkap serangkaian lukisan relief Jumaadi yang dipajang di dinding Galeri ArtSpace 1 di bilangan Kemayoran, Jakarta Pusat. Ada sosok anak terbang di atas bulan. Ada dua laki-laki mengusung tangga. Di deretan satu sama lain lukisan itu tak memunculkan logika sebab-akibat.

Anehnya, "relasi" itu menggugah. Seakan-akan menampilkan serpihan "dunia dalam". Hal yang sama pada lukisan besar dan kecil yang dipasang tunggal. Setengah bercerita, setengah tidak.

Itu kekuatan pameran ini. Menyeret kita ke dunia subconsciousness, dunia bawah sadar. Jumaadi menampilkan goresan, bergaya anak-anak yang mendongeng. Ada kura-kura bersayap dan berkaki kuda. Ada orang memikul pesawat terbang. Namun visinya bukan mengembalikan alam pikir khayal anak-anak yang naif. Lukisannya seolah-olah menyajikan kenangan yang bertumpuk-tumpuk. Residu pengalaman sedih masa lalu yang teredam dan lalu muncul samar-samar, sekelebat-sekelebat.

Dunia lukis kita tak asing dengan citra halusinatif. Sebut saja Ugo Untoro, S. Teddy, dan Tony Voluntero. Mereka sering menyuguhkan lukisan bergaya anak-anak yang baru belajar menggambar dengan simbol erotisme dan kekerasan. Menampilkan visi tentang dunia yang penuh konflik, kekacauan, dan chaos. Namun lukisan mereka segera dapat dibaca dengan perspektif Freudian.

Sedangkan pada Jumaadi tidak. Pada banyak lukisannya yang menggambarkan orang menggotong binatang, kita misalnya tak bisa mencoba-coba menafsirkan itu sebagai jenazah korban kekerasan. Kita juga tak bisa langsung menginterpretasi Kekasih dan Malam: dua orang tidur dalam satu selimut, memandang jendela yang gelap sebagai pemberontakan terhadap tabu seksual. Melihat lukisan Jumaadi, kita bagai pernah mendengar sebuah cerita tragis tapi lupa adegan detailnya—hanya teringat rasa: pengkhianatan, kehilangan, dan kesedihan. Gambar-gambar Jumaadi memantulkan: kesepian akut.

Bila kita amati, ada simbol yang sering digunakan Jumaadi dalam berbagai variasi. Antara lain mendung, binatang setengah babi atau sapi, bukit, hujan, dan langit. Unsur-unsur itu dibolak-balik menghasilkan efek tak terduga. Ada kalanya seorang bersayap terbang di atas mendung. Ada kalanya seorang tergelincir di bukit dengan mendung menjuntai seperti gaun pengantin. Mendung agaknya menjadi favorit Jumaadi. "Saya pernah dengar cerita, Nabi Muhammad kalau berjalan diikuti mendung, agar tidak kepanasan. Itu luar biasa," katanya.

Juga hewan yang ia sajikan bukan citra­ binatang baku dari mitologi tertentu yang sudah kita kenal. "Saya ingin menyajikan makhluk mitologi ciptaan saya sendiri," ujar seniman yang mengagumi Joseph Campbell, ahli mitologi asal Amerika Serikat penulis The Masks of God, ini. Yang paling berhasil adalah gambar seorang lelaki meringkuk di punggung binatang campuran babi dan sapi. Hujan tumpah ke punuknya. Di kanvas itu tertera sebuah petilan sajak T.S. Elliot, The Waste Land. So let us go then you and I....

Tentu ungkapan demikian menimbulkan "romantic agony" tersendiri. Jumaadi bekerja delapan bulan di Yogya. Selama ini ia tinggal di Australia. Di Yogya, ia tiap hari melukis, berusaha melahirkan dongeng yang tak bercerita. Dan itu proses yang "menyakitkan". Sebab, menurut dia, visual selalu berisiko. "Misalnya gambar lelaki-perempuan telanjang di tengahnya ada pohon apel. Walaupun tanpa judul, semua yang melihat pasti tahu itu Adam-Hawa."

Pada titik ini, latihan-latihan rutin saat ia kuliah di National Art School Sydney sangat membantunya. Kampus Jumaadi dikenal sangat bermazhab abstrak. Di sini ia digembleng agar mampu memburu sari realitas. Ia juga digembleng tak menjadi seorang surealis. "Saya tak ingin lukisan saya ke arah surealis. Surealis itu mementingkan absurditas. Menampilkan hal-hal yang sengaja dibuat aneh," katanya. Ia ingat guru-gurunya sering mengutip kata-kata Clement Greenberg, kritikus yang menteoretisasi karya-karya Jacson Pollock: "Surface is surface, painting is painting". Bahwa kanvas itu bukan media "tipu-tipuan" gambar.

Di samping menampilkan lukisan, Jumaadi menyajikan puluhan patung di lantai pertama galeri. Ia mencoba mentigadimensikan sosok yang dilukisnya. Sosok laki-laki memanggul rumah, menggotong perahu, menyunggi kepala anjing, membopong gajah, memikul lemari, semua diwujudkan dalam bentuk patung. Terasa lelaki itu menahan beban berat sampai punggungnya bongkok, kakinya terseret, bila selangkah lagi berjalan pasti ambruk.

Patung yang rata-rata berwarna hijau dan digarap dengan permukaan kasar itu cukup menarik. Namun ada yang hilang dibanding lukisan-lukisannya. Rasa "bawah sadar" itu. Rasa "endapan kepedihan" itu. Patung-patung Jumaadi, meski anatominya digarap dengan penuh distorsi, masih cenderung lahiriah dan fisikal. Masih lebih berhasil karya-karya aluminiumnya yang berupa potongan-potongan (dua dimensi) kepala, tangan, kaki, dan pohon yang dipajang penuh di satu dinding. Pada karya itu, masih hadir kelebatan-kelebatan perasaan dunia dalam. Di situ masih tampak jejak seorang Jumaadi yang memiliki dunia kesunyian sendiri.

Seno Joko Suyono, Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus