Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Free Culture: How Big Media Uses Technology and the Law to Lock Down Culture and Control Creativity Pengarang: Lawrence Lessig Penerbit: Penguin Press, New York, 2004 Tebal: 345 halaman + xvi
Tarzan melompat dari satu pohon ke lain pohon. Suaranya dahsyat, menggema di tiap-tiap pelosok hutan, dikenali para penghuninya, manusia dan binatang. Suara yang menggiurkan, sekaligus mencelakakan. Itulah perkembangan terakhir dunia tempat kita berpijak: meneriakkan suara orang hutan perkasa itu bisa tergolong pelanggaran intellectual property rights (IPR). Suara itu telah dipatenkan di Amerika Serikat, dan siapa saja yang berani menggemakannya niscaya terancam denda atau membayar royalty kepada si pemilik paten.
Penyanyi Amerika, Bette Midler, pun tak mau kalah. Timbre suara penyanyi yang istimewa kala melantunkan lagu From A Distance ini telah dipatenkan. Beberapa waktu lalu Midler menang di pengadilan. Hakim menyatakan orang yang hendak meniru suara Midler bersalah.
Ada sesuatu yang telah berjalan terlalu jauh, jauh melampaui batas-batas kewajaran di dunia yang diramaikan oleh IPRdiindonesiakan menjadi HAKI, hak atas kekayaan intelektual. Berbagai produk IPR di-copyright-kan, dipatenkan, dan akibatnya muncullah dunia yang rancu: produk-produk yang tadinya sudah masuk wilayah publik kini dijadikan sesuatu yang privat. Dan untuk menggunakannya, orang lain harus membayar sejumlah imbalan tertentu.
Ya, dunia publik boleh jadi semakin sempit, tapi para ekonom neoliberal banyak mendukung produk legal ini. Itulah kekuatan negara-negara berteknologi maju. Alasan utama mereka: penghargaan atas kreativitas seseorang. Tapi sebuah buku berjudul panjang, Free Culture: How Big Media Uses Technology and the Law to Lock Down Culture and Control Creativity, karya Lawrence Lessig, menunjukkan sebuah kontradiksi. Di mata Lessig, IPR justru membuat kreativitas mandek. Dengan IPR, perusahaan-perusahaan multinasional mengunci hasil produksi mereka sedemikian rupa sehingga malah mengancam kreativitas.
Lessig juga menunjukkan bahwa IPR produk a-historis, seraya menyebut bahwa Amerika Serikat awalnya juga negara "pembajak" karena ia tak mengakui hak cipta yang dimiliki oleh penulis di luar Amerika. Dan sejarah berbagai produk budaya populer di Amerika sebenarnya adalah sejarah pembajakan juga. Lalu, mengapa Amerika menjadi demikian puritan dalam hal membela kepentingan "rezim" IPR saat ini?
Memang dewasa ini kebudayaan massa telah banyak dikemas menjadi suatu produk yang mengandung keuntungan. Nilai yang terkandung di dalamnya bahkan bisa dilipatgandakan menjadi akumulasi modal tersendiri. Suatu film dibuat, diiringi musik soundtrack-nya, lalu dilanjutkan dengan munculnya video CD, DVD, T-shirt, buku, mug, boneka, tas mainan, dan lain-lain. Dan semua produk turunan ini bergerak menuju satu muara: uang.
Lessig seorang profesor hukum dari Universitas Stanford dan telah menulis dua buku yang senada lainnya. Ide utama buku-bukunya memperlihatkan bagaimana perkembangan perusahaan multinasional berikut teknologi komunikasi (misal, Internet) getol memprivatisasi produk-produknya, dan dengan itu mereka berusaha menangguk untung sebanyak-banyaknya.
Pikiran Lessig berangkat dari satu tesis: kebudayaan pada dasarnya haruslah bebas, dan tak perlu diproteksi, karena satu produk budaya akan menghasilkan produk budaya yang lain. Bersama dengan sejumlah temannya, Lessig, lulusan dari Yale University, mendirikan kelompok Creative Commons (http://creativecommons.org). Mereka membuka seluas-luasnya akses banyak orang terhadap pengetahuan yang ada.
Menurut Lessig, budaya bebas (free culture) yang dianjurkannya juga mendukung dan melindungi para penemu dan para inovator. Ia setuju perlindungan tersebut, tapi menolak model kontrol mereka yang kelewat besar. Dalam bayangan Lessig, budaya bebas itu suatu keseimbangan antara anarki dan kontrol.
Free Culture buku sederhana, penuh ilustrasi yang memikat. Walau ditulis oleh orang dari disiplin hukum, sang buku berbicara dalam bahasa orang non-hukum, bersih dari pasal-pasal perjanjian internasional atau undang-undang yang ada. Membaca buku ini, kita akan diingatkan tentang berbagai kelompok dan intelektual lain yang juga sama-sama bergerilya dalam jalur "copyleft, copywrongs" alias perlawanan terhadap copyrights.
Ignatius Haryanto, peneliti di LSPP, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo